American Graffiti (1973)
Pasca Perang Dunia II, lahirlah satu generasi gres yang dikenal dengan sebutan "Baby Boom". Saat itu perang telah berakhir, angka kelahiran meningkat, begitu pula tingkat perekonomian. Masyarakat dunia (khususnya Amerika) tengah menatap cita-cita gres penuh optimisme tinggi teruntuk kehidupan lebih baik sesudah cukup usang berkupang dalam tragisnya peperangan. Istilah "American Dream" bukan lagi mimpi di siang bolong ketika luasnya lapangan kerja berujung pada tingginya kesejahteraan masyarakat. Sedangkan bagi remaja, kondisi ini memuaskan rasa haus mereka akan kebebasan, selaras dengan aneka macam tren kultural kala itu ibarat cruising -menyetir kendaraan beroda empat di jalan tanpa arah tujuan pasti- juga rock 'n roll yang mulai merangsek ke puncak kejayaan.
"American Graffiti" sebagai hasil penyutradaraan kedua George Lucas (his only non-science fiction) ialah cerminan bagaimana rupa budaya dewasa pada awal 60-an. Ber-setting di Modesto, California -kota daerah Lucas menghabiskan masa remaja- film ini mengisahkan empat orang remaja: Curt (Richard Dreyfuss), Steve (Ron Howard), John (Paul Le Mat) dan Terry (Charles Martin Smith) kala mereka menghabiskan malam berhadapan dengan aneka macam life-changing event. Steve dan Curt berharap malam itu jadi malam indah, alasannya ialah keesokan pagi keduanya hendak pergi guna berkuliah di luar kota. Namun Curt sendiri masih ragu, apakah ia siap meninggalkan Modesto. Baginya, "untuk apa meninggalkan kehidupan dan mitra hanya untuk mencari kehidupan serta mitra baru".
Lucas merangkai alurnya dalam kepingan-kepingan vignette, melompat dari satu event ke event lain yang dialami oleh huruf berbeda. Curt berjalan menyusuri sudut kota untuk mencari dua hal: tanggapan apakah ia harus pergi dan seorang perempuan berambut pirang pengendara kendaraan beroda empat T-Bird yang telah memikat hatinya pada perjumpaan pertama. Steve mesti terlibat konflik dengan kekasihnya, Laurie (Cindy Williams) akhir keputusannya untuk berkuliah di kota lain. John sang juara drag race di Modestu justru harus "terjebak" berkeliling kota bersama seorang gadis di anak-anak berjulukan Carol (Mackenzie Phillips). Sedangkan Terry tengah kegirangan kala Steve meminjamkan Chevrolet Impala tahun 1958 miliknya, dan memanfaatkan itu untuk merebut hati Debbie (Candy Clark).
Meski naskahnya memang ditulis menurut masa remajanya sendiri, aku tak pernah menyangka Lucas punya sensibilitas sekuat yang ia tunjukkan dalam caranya bertutur disini. Lucas menangkap dengan tepat esensi coming-of-age berisi cinta, kegilaan, serta kontemplasi akan tujuan hidup dan dunia. Terdapat kehangatan tatkala film ini tak berisikan good versus evil atau hitam dan putih, alasannya ialah rangkaian konflik sebenarnya didasari oleh kepolosan karakternya sebagai seorang remaja. Sesederhana itu. Bahkan meski bertajuk "life changing event", pengalaman karakternya "hanyalah" momen-momen remeh yang erat kaitannya dengan cinta. Karena sebenarnya bencana kecil namun berkesan justru acapkali merubah hidup atau cara pandang seseorang, khususnya ketika berada dalam fase pencarian jati diri berjulukan "remaja".
Kehangatan dan keintiman menjadi kunci keberhasilan "American Graffiti" dalam mencuri hati dan membangun mood. Penonton tidak pernah diajak berpindah dari Modesto. Bahkan lokasinya pun jauh dari variatif (mobil, jalan raya, aula sekolah, restoran drive-in). Namun dari kesan monoton itu, tercipta rasa familiar yang serupa dengan perasaan kita kala menatap kampung halaman. Kentara sekali memori berisikan rasa sayang Lucas terhadap Modesto beserta segala isinya, dan rasa itu bisa ia tularkan. Saya terikat dengan alurnya alasannya ialah itu, merasa betah meski hanya diajak berkeliling. Bagi penonton yang bukan berasal dari generasi baby boom atau tidak mengalami aneka macam aspek kulturalnya pun bakal tetap merasa erat dengan kisahnya, alasannya ialah pengalaman karakternya tak lain ialah pengalaman setiap orang ketika menginjak usia dewasa penuh gejolak masa muda.
Kekuatan mood tadi turut dibantu pula oleh gugusan soundtrack-nya. Perasaan romantis hingga hingar bingar penuh semangat bisa diwakili oleh lagu-lagunya. Sehingga tanpa keberadaan scoring sekalipun, (bujet habis untuk membayar hak penggunaan lagu) filmnya tak terasa kosong. Bahkan bukan hal tidak mungkin bila banyak penonton tidak menyadari ketiadaan music score dalam film ini. Dari banyak nomor musik, tentu "Smoke Gets In Your Eyes" yang mengalun ketika Steve dan Laurie berdansa menjadi favorit saya. Adegan berisi pertengkaran sekaligus retrospeksi relasi pasangan kekasih ini pun jadi momen paling emosional dalam "American Graffiti". Sukar dipercaya adegan romantis tersebut dibentuk oleh orang yang sama dengan pencipta romansa cuek antara Anakin dan Padme pada trilogi prekuel "Star Wars". Selain pembangun mood, soundtrack berguna sebagai cerminan rock 'n roll sebagai wajah budaya terkenal masa itu (selain mobil).
Aktor-aktor yang pada masa perilisan film ini belum banyak dikenal nyatanya mampu memperlihatkan penampilan memikat, membaur sebagai huruf masing-masing dalam kesederhanaan, selaras dengan filmnya sendiri. Jalinan interaksi diantara mereka pun mengesankan. Saya tidak keberatan bila sepanjang film hanya melihat John dan Carol saling bertengkar di dalam mobil. Menarik pula mengamati bagaimana para pemeran "tanpa nama" ini telah menyiratkan pesonanya sedari dulu, semisal Harrison Ford sebagai sosok laki-laki cool empat tahun sebelum masa Han Solo. Tentu penulisan obrolan pada naskahnya turut ambil penggalan dalam penciptaan interaksi penuh nyawa itu. Dialognya "renyah", cukup sering pula memancing tawa, dengan line "your car's uglier than me" sebagai yang terbaik. Akhir kata, bila anda ingin melihat bagaimana karya George Lucas sebelum ia menjual jiwanya pada kuasa uang dan kehilangan kepekaan rasa, tontonlah "American Graffiti". It's sweet, it's charming, it's real.
Belum ada Komentar untuk "American Graffiti (1973)"
Posting Komentar