Surat Dari Praha (2016): Lantunan Cinta Era Lalu
" Di sana daerah lahir beta, Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua, Sampai simpulan menutup mata "
"Surat dari Praha" sempat menyisipkan lagu "Tanah Air Beta" dalam salah satu adegannya, memunculkan ironi dikala para putera bangsa dengan rasa cinta begitu besar terhadap Indonesia justru tak menerima dukungan dari tanah air mereka dan harus menyingsing masa bau tanah di negeri orang. Hal itu sebagai dampak terjadinya gejolak politik tatkala kepemimpinan Soekarno lengser, digantikan oleh rezim orde gres Soeharto. Beberapa mahasiswa yang menyatakan diri anti terhadap orde gres pun kehilangan kewarganegaraan mereka, dicap sebagai komunis serta pengkhianat bangsa. Alhasil, mereka tak bisa kembali pulang ke tanah air. Penciptaan "Surat dari Praha" sendiri didasari oleh empat lagu ciptaan Glenn Fredly yang kemudian diterjemahkan kedalam bahasa visual film.
Demi memenuhi wasiat sang ibu, Sulastri (Widayawati), Larasati (Julie Estelle) terpaksa harus pergi ke Praha guna mengantarkan sebuah kotak dan sepucuk surat. Setibanya di alamat tujuan, bertemulah Larasati dengan Jaya (Tio Pakusadewo) yang ternyata ialah mantan kekasih Sulastri. Jaya sendiri terpaksa harus tinggal di Praha, alasannya keputusannya menentang Soeharto pada tahun 1965. Awalnya, Larasati hanya berniat meminta tanda tangan sebagai bukti penerimaan kotak dan surat tersebut, tapi penolakan dari Jaya serta beberapa kejadian tak terduga memaksanya tinggal lebih usang di Praha. Berawal dari situ, Larasati perlahan mempelajari masa kemudian antara Jaya dan Sulastri lewat lagu-lagu juga surat hasil goresan pena Jaya sesudah puluhan tahun menghilang.
Menengok beberapa filmografi terakhir Angga Dwimas Sasongko, sanggup ditarik kesimpulan bahwa sutradara satu ini punya kepekaan lebih dalam menarik esensi suatu kisah. "Cahaya dari Timur: Beta Maluku" penuh semangat perjuangan, sedangkan "Filosofi Kopi" dituturkan sebagai bromance hangat. Teruntuk "Surat dari Praha", transformasi bahasa lagu milik Glenn Fredly menjadi sinematik ialah kuncinya. Angga berhasil mengemas film ini layaknya suatu ballad yang berjalan lambat, tidak megah, namun berpengaruh secara emosi. Mengalun indah, tanpa sadar saya telah dibentuk jatuh cinta hingga menitikkan air mata hanya oleh momen-momen sederhana. Lagu bukan semata-mata pemanis, melainkan kerangka penting pembangun keseluruhan film.
Sensitifitas Angga terlihat pula pada penghantaran emosi suatu adegan. Sekali lagi, "Surat dari Praha" ialah balada, bukan orkestrasi megah berisi banyak "ledakan" rasa. Selain berjalan lambat, seringkali sunyi dan minim letupan. Tapi Angga tahu bahwa kekuatan intensitas emosi bukan sekedar ditentukan oleh besar-kecilnya ekspresi, melainkan turut dipengaruhi oleh timing dan atmosfer. Beberapa kali saya dibentuk tercekat oleh momen "kecil" yang amat menusuk. Bagian terbaik ialah dikala Jaya mengetahui cinta sejatinya telah tiada, kemudian memeluk anjingnya, Bagong sambil berujar lirih, "Gong, Sulastri seda". Sisi visual pun turut menguatkan atmosfer, semisal kesendirian abjad Jaya dimunculkan dengan banyaknya ia duduk dalam ruangan bercahaya minim.
Naskah karya M. Irfan Ramli juga membawa semangat serupa. Tidak ada penemuan dalam alurnya. Dialognya pun tak pernah berusaha keras menjadi puitis. Namun kemampuannya mengeksplorasi abjad lewat hal-hal subtil sungguh luar biasa. Melalui rangkaian kalimatnya, penonton telah bisa mempelajari seluk beluk mendalam abjad Larasati, Jaya dan Sulastri. Sehingga tidak perlu memasukkan selipan flashback atau adegan on-screen guna menggali langsung serta relasi antara mereka. Tentu membutuhkan konsentrasi lebih bagi penonton agar tidak ada fakta terlewat, atau lebih tepatnya jangan hingga terlewat. Karena salah satu poin penting sekaligus paling emosional dalam relasi Larasati-Sulastri dipaparkan hanya lewat sepetik kalimat tanpa dramatisasi berlebih.
Di antara kesederhanaan pula kesubtilan film, tentu diharapkan akting mumpuni dimana seorang bintang film menyatu jiwa dan raga dengan karakternya. Tio Pakusadewo exactly did that. Bukan sekedar mimicking, tapi benar-benar mencicipi apa yang Jaya rasakan. Sehingga sang bintang film bisa memunculkan emosi secara faktual di mata penonton tanpa membutuhkan letupan atau gerak-gerak besar. Julie Estelle pun tidak kewalahan harus bersanding dengan Tio Pakusadewo. Dikala muncul pertengkaran antara Larasati dan Jaya, Julie menjadi "lawan sepadan", menciptakan pertukaran kalimat bukan sekedar teriakan kosong. Chemistry kuat di antara mereka juga memberi kehangatan tatkala Jaya dan Laras mengesampingkan amarah dan egoisme masa kemudian untuk saling mendapatkan satu sama lain. Sedangkan Widyawati dan Rio Dewanto bisa memanfaatkan porsi minim masing-masing, memberi nyawa dalam tiap kemunculan.
Film ini bukannya tanpa kelemahan. Saya cukup terganggu oleh product placement-nya, meski terlihat Angga sudah sebisa mungkin menciptakan kemunculan beberapa brand terlihat natural. Tidak hingga tercipta suasana awkward karena itu, tapi kuantitasnya terlampau banyak. Kekurangan kedua ialah simpulan yang agak terburu-buru, seolah dihantarkan hanya demi memenuhi "kewajiban" untuk mempunyai satu konflik lagi sebelum konklusi. Well, setidaknya scene terakhir masih terasa menyentuh, dan dua kekurangan ini tetap tidak bisa mengurangi rasa cinta saya terhadap "Surat dari Praha".
Cinta sejati. Entah terhadap negeri atau kepada satu orang setia melingkupi kehidupan karakternya. Dua rasa cinta itu nyatanya menjadi sumber kebahagiaan sekaligus kegetiran yang coba dipendam, dilupakan sebagai masa lalu. Bagaimana karakternya menghadapi masa kemudian kelam itu dan memaafkan segala hal termasuk kondisi dan diri sendiri menjadi fokus utama penceritaan. Naskahnya juga bisa membawakan tema (agak) politis secara ringan tanpa kehilangan kekuatan. Ditemani iringan lagu yang tak hanya terdengar indah, namun bersatu padu mencipta keselarasan, "Surat dari Praha" bagai balada yang mengalun perlahan menyentuh rasa, memunculkan haru dan cinta dengan begitu indah.
Belum ada Komentar untuk "Surat Dari Praha (2016): Lantunan Cinta Era Lalu"
Posting Komentar