Kalam-Kalam Langit (2016)

Beberapa kali saya katakan, hal paling mengesalkan dari film religi Indonesia yakni hobinya menasehati penonton, seolah merasa paling benar dan suci. Padahal kalau membicarakan subjeknya yaitu agama atau dalam hal ini Islam sebagai yang paling banyak diangkat, terdapat banyak keindahan untuk penonton kagumi. Makara kenapa tidak membicarakan kekaguman akan keindahan tersebut, contohnya pembacaan ayat Al Qur'an? Kalam-Kalam Langit garapan sutradara debutan Tarmizi Abka dengan naskah hasil goresan pena Faozan Rizal selaku pembiasaan novel berjudul sama karya Pipiet Senja ini yakni pola sedikit film religi tanah air tanpa intensi menggurui, sekedar penuturan indahnya lantunan kalam-kalam Illahi. Sebuah pencapaian tersendiri meski kualitasnya masih belum maksimal.

Jafar (Dimas Seto) sudah semenjak kecil ahli membaca Al Qur'an bahkan sempat memenangkan Musabaqah Tilawatil Alquran (MTQ). Walaupun mendiang ibunya (Henidar Amore) sangat mendukung, sang ayah (Mathias Muchus) selalu melarang alasannya yakni menganggap MTQ hanya sarana unjuk gigi serta pencarian profit memanfaatkan ayat-ayat suci. Ketika dewasa, Jafar merantau guna menuntut ilmu di pondok pesantren. Di pondok itu hatinya terpikat oleh Azizah (Meriza Febriani), puteri kiai setempat. Tapi di waktu bersamaan, Ustadz Syatori (Ibnu Jamil) juga menyukai Azizah. Selama bertahun-tahun, Syatori bermain kotor supaya selalu menjadi perwakilan pondok dalam MTQ demi merebut hati Azizah. Posisinya mulai terancam kala banyak orang mulai menyadari kemampuan Jafar membaca Al Qur'an.
Saya menyukai bagaimana film ini tak berlebihan memberikan pesannya. Tiada ada paksaan pesan moral wacana membaca Al Qur'an, hanya pernyataan bahwa pembacaan ayat suci yang baik merupakan salah satu media pembangkit minat masyarakat untuk mempelajarinya, bahwa indahnya lantunan kalam-kalam bisa menyejukkan hati pendengarnya. Filmnya sedikit berceramah, pribadi memperdengarkan pribadi abjad Jafar mengaji. Apakah anda suka, itu problem lain, terpenting Kalam-Kalam Langit tak sedikitpun memaksa penonton supaya satu suara. Masih muncul adegan seorang pemuka agama menuturkan kalimat-kalimat bijak, namun bukan ceramah menggurui, melainkan dituturkan secara halus. Film ini berusaha merangkul pelan, kasus saya terangkul atau tidak lagi-lagi itu problem lain yang konteksnya sangat personal.

Lebih jauh lagi, Kalam-Kalam Langit tak ragu menampilkan sisi gelap MTQ beserta para alim ulama, contohnya ketika Ustadz Syatori bersedia "main belakang" bahkan menyuap Jafar demi hasrat pribadinya merebut hati Azizah. Pondok pesantren pun tidak digambarkan sebagai daerah suci penuh kesempurnaan. Sayang, langkah-langkah bijak itu gagal diikuti oleh kedalaman naskah mumpuni, di mana aneka macam lubang menjadi bukti. Mengapa Ustadz Syaitori sanggup semudah itu mengontrol hasil seleksi? Dia bukan pemegang kekuasaan tertinggi, tak pernah dilihatkan juga ia menyuap panitia. Timbul pertanyaan pula kenapa pada awalnya Jafar diminta mengikuti seleksi MTQ jauh sebelum ada satu orang pun mendengar kemampuannya membaca Al Qur'an.
Kualitas penceritaan juga lemah, nihil daya tarik supaya saya terus terikat oleh untaian kisahnya. Fokus besarnya yakni persiapan MTQ, yang sebetulnya sanggup dimanfaatkan melalui eksplorasi intrik permainan kotor di baliknya. Sayang, film lebih banyak menghabiskan waktu memberikan Jafar mengaji disusul ekspresi (cringe worthy) kekaguman orang-orang di sekitarnya secara repetitif. Sewaktu alhasil alur datang pada momen perlombaan, penyajiannya anti-klimaks, minim intensitas, terasa lewat begitu saja sesudah penggambaran jatuh bangun prosesnya. Hasil MTQ pertama pun nampak dipaksakan biar membuka kisahnya berjalan menuju paruh kedua. Di samping itu, sentuhan romansa turut bernasib serupa. Hubungan antara Jafar dan Azizah begitu dangkal, malah teramat jarang keduanya berinteraksi langsung. Alhasil, sulit rasanya percaya apalagi terikat akan percintaan mereka. 

Untungnya Tarmizi Abka cukup cermat meng-handle momen dramatis. Adegan menyerupai ini acapkali jadi problem lain suguhan religi tatkala filmnya berusaha terlampau keras menggetarkan hati penonton. Tarmizi Abka menyikapi adegan dramatis dengan sederhana dan membumi, minim banjir deras air mata. Bahkan kematian ibu Jafar dibentuk off-screen meski berpotensi menggiring emosi. Seolah ada pemahaman dari sang sutradara bahwa terlalu sering mengeksploitasi perasaan penonton secara berlebihan justru menjatuhkan kualitas film. Dimas Seto sendiri cukup baik ketika diharuskan mencurahkan emosi berintensitas tinggi, menciptakan luapan rasa Jafar tetap believable. Serupa, keseluruhan Kalam-Kalam Langit masihlah manusiawi, tanpa hasrat membawa diri selaku pembawa pesan agama paling suci. Walau harus diakui terdapat banyak kekurangan khususnya pada naskah. 


Ticket Powered by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Kalam-Kalam Langit (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel