The Kid Who Would Be King (2019)
Entah dengan bocah zaman sekarang, tapi jikalau menontonnya semasa SD, aku akan terobsesi dengan The Kid Who Would Be King, khususnya di penggalan klimaks, ketika si tokoh utama memimpin teman-temannya berperang melawan pasukan berkuda dengan badan membara dan penyihir berusia ribuan tahun yang tampak bagai naga berwajah Gollum, dengan menyulap seisi sekolah menjadi benteng pertahanan. Sejujurnya aku kerap melamunkan fantasi semacam itu sewaktu kecil dulu.
Melalui The Kid Who Would Be King, Joe Cornish (Attack the Block) mengubah dongeng Arthurian menjadi film keluarga bernuansa Amblin, yang bahkan mengandung cue musik serupa, serta pesan wacana kekuatan dalam diri dan cinta, sebagaimana banyak mahakarya Steven Spielberg pada kala 80-an.
Filmnya berlatar di dunia serupa dunia kita, di mana kekacauan terjadi akhir penyalahgunaan kekuasaan serta lenyapnya kemuliaan. Kondisi tersebut turut mensugesti proses tumbuh kembang protagonis kita, Alex Elliot (Louis Ashbourne), yang hidup berdua bersama sang ibu (Denise Gough) sembari terus merindukan sosok ayah yang telah usang hilang.
The Kid Who Would Be King membuka perjalanan Alex ketika ia menolong sahabatnya, Bedders (Dean Chaumoo), dari gangguan Lance (Tom Taylor) dan Kaye (Rhianna Doris). Tapi kebaikan Alex justru mendatangkan problem baru, dan menyerupai banyak individu zaman sekarang, ia mulai mencurigai esensi kebaikan. Tapi jangan khawatir, alasannya yakni film ini bisa menyentuh permasalahan serius tanpa harus membenamkan aksara anaknya dalam area yang terlampau gelap.
Tidak perlu juga bagi The Kid Who Would Be King berlama-lama di fase perenungan. Kita dengan cepat diajak menyaksikan keberhasilan Alex mencabut pedang Excalibur milik Raja Arthur, tanpa menyadari, bahwa secara bersamaan, Morgana (Rebecca Ferguson), saudari tiri Arthur, mulai berdiri dan bersiap membawa kegelapan bagi dunia sekaligus merebut Excalibur. Tentu Merlin (Angus Imrie) pun terlibat. Sang penyihir hadir dengan samaran sebagai pandai balig cukup akal aneh berjulukan Mertin. Sesekali ia mengatakan sosok tuanya, yang diperankan Patrick Stewart lewat kharisma “pria renta bijak” yang jamak kita jumpai di film-film setipe.
Merlin membimbing Alex memahami takdirnya sebagai pewaris Excalibur yang mesti menghentikan rencana Morgana. Untuk itu, selain Bedders, direkrut pula Lance dan Kaye. Sebab serupa Raja Arthur, Alex pun bisa mengubah lawan menjadi kawan. Bermodalkan budi berlatar semangat bersenang-senang, naskah buatan Cornish menyerap beberapa elemen legenda Arthurian, tanpa perlu mengekang kebebasan mengeksplorasi dongeng ke arah berbeda.
Karena sejatinya salah satu pesan utama film ini yakni soal “memilih arahmu sendiri”. Walau presentasinya sedikit inkonsisten (tepat sehabis pesan itu disampaikan, Cornish menciptakan karakternya kembali bergantung pada buku guna memecahkan masalah), elemen tersebut memang diharapkan oleh blockbuster masa kini. Masih segar di ingatan bagaimana Star Wars: The Last Jedi menerima setumpuk kebencian akhir enggan menimbulkan Rey keturunan sosok penting. The Kid Who Would Be King melontarkan pernyataan tegas jikalau golongan biasa pun mampu (dan berhak) menjadi figur luar biasa.
Absen menyutradarai selama bertahun-tahun tak menciptakan Cornish kehilangan sentuhan. Berpijak pada naskah penuh agresi di mana formasi langgar muncul tepat waktu demi menjaga momentum, Cornish berhasil melahirkan beberapa sekuen seru lengkap dengan napas fantasi. Namun kemenangan terbesarnya yakni kesuksesan memberi hati. Cornish memanfaatkan kalimat “Honor those you love” untuk membangun momen ibu-anak menyentuh, yang dibungkus memakai sensitivitas dalam pengadeganan, akting berpengaruh Denise Gough, serta timing sempurna.
Belum ada Komentar untuk "The Kid Who Would Be King (2019)"
Posting Komentar