Rashomon (1950)

Memang Rashomon yakni karya kedua belas seorang Akira Kurosawa, namun gres lewat film inilah namanya dikenal oleh dunia perfilman secara luas. Bahkan kalau berbicara lebih luas lagi, maka sanggup dibilang Rashomon yakni film yang membuat perfilman Jepang menjadi diperhitungkan. Filmnya sendiri meraih banyak penghargaan diluar negeri, mulai dari Golden Lion pada Venice Film Festival sampai Academy Honorary Award di ajang Oscar tahun 1952. Ironisnya, film ini tidak terlalu mendapat respon positif di Jepang sendiri dimana banyak kritikus yang menyampaikan bahwa film ini dipuji alasannya yakni kental unsur western di dalamnya dan dianggap tidak sesuai dengan kultur Jepang sama sekali. Suatu tanggapan yang dikritik balik oleh Kurosawa. Mengapa Rashomon begitu dipuja dan dianggap sebagai salah satu masterpiece seorang Akira Kurosawa disamping Seven Samurai maupun Kagemusha? Jawabannya yakni alasannya yakni Rashomon punya beberapa hal yang pada masa itu merupakan penemuan baru, dimaaa salah satunya ada pada narasinya yang menggambarkan perihal sebuah insiden dimana insiden itu diceritakan melalui sudut pandang beberapa orang dan mengambil contoh alur nonlinier.

Filmnya dibuka dengan perbincangan antara tiga orang, yaitu Si penebang pohon (Takashi Shimura), pendeta (Minoru Chiaki) dan seorang laki-laki lainnya atau dalam wikipedia berjulukan a commoner (Kichijiro Ueda). Ketiganya kebetulan sedang berteduh dibawah reruntuhan gerbang Rashomon dimana si penebang pohon dan pendeta terlihat tengah dibentuk takjub serta terkejut akan sebuah kisah yang mereka dengar. melihat hal tersebut a commoner tertarik untuk mendengarkan kisah macam apa itu. Sang penebang pohon pun mulai bercerita bahwa tiga hari yang kemudian ia gres saja menemukan sebuah jenazah yang terbunuh di tengah hutan. Kemudian ia pun harus bersaksi di pengadilan untuk membantu menemukan pembunuhnya. Sang pendeta yang kebetulan bertemu dengan sang korban dan istrinya juga turut bersaksi. Kemudian saksi-saksi yang lain mulai berbicara. Namun anehnya yakni kisah dari masing-masing saksi sangat berbeda satu dengan yang lain. Kita pun akan diajak terus berpikir mengenai kisah siapakah sesungguhnya yang merupakan kenyataan?

Mungkin gaya penceritaan yang digunakan oleh Rashomon kini bukan lagi barang baru, namun mau dilihat kapan pun, cara Akira Kurosawa dalam membalut plot nonlinier film ini akan selalu terasa unik dan spesial. Kurosawa sendiri mengadaptasi kisah dalam film ini dari dua buah kisah pendek. Untuk lokasi-lokasinya, Kurosawa mengambil dari kisah Rashomon sedangkan untuk dasar kisah dan alurnya diambil dari In a Grove dimana keduanya sama-sama ditulis oleh Ryunosuke Akutagawa. Bicara setting, apa yang terlihat di Rashomon memang begitu sederhana. Total hanya ada tiga lokasi, yakni hutan, pengadilan dan reruntuhan gerbang. Hutan yang digunakan tidaklah terlalu luas, sedangkan lokasi pengadilan hanya sebuah daerah outdoor yang dibelakangnya dibatasi tembok buatan seolah memperlihatkan pagar tinggi. Mungkin hanya setting gerbang Rashomon saja yang sedikit "mewah". Namun pembuatan set yang begitu sederhana itu hebatnya tetap sanggup terasa begitu efektif. Saya begitu menyukai bagaimana lokasi pengadilan yang begitu sederhana itu ditampilkan. Sangat praktis tapi sebuah sinematografi yang andal begitu terasa dimana kita akan dihadapkan pada para saksi yang menghadap sempurna di depan kamera sedangkan di sudut jauh terlihat sang penebang pohon dan pendeta sedang mendengarkan pengadilan. Entah kenapa saya begitu menyukai gambar yang tersaji pada adegan di pengadilan tersebut. Selain itu Kurosawa juga memasukkan cukup banyak unsur film bisu disini. Mulai dari warna hitam-putih sampai penggunaan musik yang mengalun glamor nyaris di semua adegan.
Bicara mengenai alurnya yang banyak dipuji tersebut, Rashomon memang bukti kehebatan Kurosawa mengemas ceritanya. Kisahnya yang selalu berpindah dari gerbang-pengadilan-hutan begitu seterusnya selalu berhasil mencengkeram rasa ingin tahu saya. Setiap kesaksian gres selalu memperlihatkan twist gres yang tidak terduga dan makin membuat saya berpikir siapakah bekerjsama yang memperlihatkan kejujuran. Uniknya saya pun akibatnya dibentuk tidak mempercayai satupun kesaksian dari mereka. Ini yakni permasalahan perspektif atau sudut pandang dari beberapa orang mengenai satu hal. Sebuah insiden sanggup mendapat sudut pandang yang berbeda dari banyak orang alasannya yakni selalu ada faktor yang menghipnotis perspektif seseorang. dalam film ini ada aksara yang kesaksiannya tidak saya percaya alasannya yakni efek emosi yang mereka rasakan khususnya rasa takut dan cemas. Tapi diluar itu masih ada banyak faktor lagi yang membuat saya tidak sanggup mempercayai 100% kesaksian masing-masing dari mereka. Tapi toh pada akibatnya konklusi dari film ini memperlihatkan bahwa siapa yang benar tidak masalah, alasannya yakni bukan itu poin utama dari film ini. 

Rashomon justru coba berkisah mengenai apa kebenaran itu sendiri. Kebenaran pada akibatnya benar-benar nampak sebagai sesuatu yang sifatnya begitu relatif. Kebenaran sanggup jadi bukanlah sesuatu yang nyatanya terjadi namun sesuatu yang diinginkan terjadi. Hal itulah yang pada akibatnya sanggup membuat banyak versi mengenai kenyataan. Selain itu, Rashomon juga menyinggung mengenai sisi kemanusiaan. Secara keseluruhan kisahnya pun mempertanyakan mengenai seberapa besar rasa kemanusiaan ada pada diri insan ketika ini? Pada akibatnya baik ditinjau dari konten apapun yang diangkat, Rashomon bukanlah sebuah sajian berisi tanggapan namun justru pertanyaan bagi mereka yang menonton. Pertanyaan macam apa itu tergantun bagaimana sudut pandang masing-masing penonton, sama menyerupai yang terjadi pada para saksi di film ini yang punya aneka macam macam sudut pandang. Untuk sudut pandang saya sendiri Rashomon mungkin belum sehebat Seven Samurai, tapi tetap sebuah sajian yang begitu baik dari salah satu sutradara terbaik yang pernah ada.

Belum ada Komentar untuk "Rashomon (1950)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel