Matt & Mou (2019)
Tidak semua film perlu dongeng kompleks atau mengusung konflik berat. Terkadang, kesederhanaan dan sentuhan ringan justru opsi terbaik. Semua tergantung kebutuhan. Matt & Mou adalah referensi terkini perihal bagaimana kegagalan menyadari itu berujung melemahkan filmnya, yang bekerjsama merupakan romansa cukup umur ceria nan menyenangkan, andai tak dibarengi hasrat “melakukan lebih”.
Di antara Matt (Maxime Bouttier) dan Mou (Prilly Latuconsina) terjalin korelasi “kakak-adik” yang bersemi semenjak keduanya bertemu semasa kecil. Matt dan Mou tinggal bersebelahan, dalam dua rumah yang—sama semaraknya dengan pertemanan mereka—dikelilingi warna-warni pastel juga motif bunga-bunga menghiasi dinding. Sebuah sentuhan artistik apik yang tepat mewakili korelasi dua tokoh utamanya.
Bentuk interaksi mereka pun menggemaskan, dari memanggil diri sendiri menggunakan nama hingga bicara melalui telepon kaleng yang menghubungkan kedua kamar. Mereka begitu dekat, hingga Mou membutuhkan persetujuan Matt perihal siapa lelaki yang pantas menjadi kekasihnya. Matt sendiri belum pernah berpacaran, dan kita tahu niscaya alasan yang dia pilih untuk pendam.
Sampai suatu hari, Mou benar-benar jatuh hati kepada Reza (Irsyadillah), penyanyi cafe yang dikenalnya lewat Instagram. Tentu Matt enggan semudah itu memberi Reza jalan. Syarat-syarat berat dia olok-olokan sebelum merestui Reza dan Mou berpacaran. Di sinilah Matt & Mou semestinya “berhenti”. Di situlah sebaiknya naskah buatan Alim Sudio (Kuntilanak, Chrisye, Ayat-Ayat Cinta 2), yang mengadaptasi novel berjudul sama Wulanfadi, meletakkan fokus alih-alih melangkah menuju rangkaian problematika kelam.
Mou berasal dari keluarga yang jauh dari kata harmonis. Elemen ini bukanlah permasalahan, selama bertujuan menguatkan serta memperdalam penokohan. Bahkan eksistensi Matt bisa saja menjadi lebih bermakna alasannya ialah elemen tersebut. Tapi sayangnya tidak demikian. Matt & Mou menentukan memperluas cakupan begitu mencapai sebuah titik balik berupa twist. Sejak itu, alur bukan lagi mengetengahkan korelasi dua protagonis, yang jadinya melemahkan intimasi yang semestinya merupakan sajian utama.
Titik balik itu pun terlalu kelam, memberi distraksi dan inkonsistensi tone bila disandingkan rasa bagus yang dijadikan jualan utama filmnya, walau paling tidak, berkat aspek tersebut, kita berkesempatan melihat performa solid Marthino Lio sebagai sang antagonis. Tidak terang apa yang coba diraih twist-nya selain untuk menciptakan penonton tercengang. Jika tujuan jadinya ialah menggambarkan kuatnya perasaan Matt, maka momen ketika dia merestui korelasi sahabatnya (selama Reza berjanji bakal terus menjaga Mou) justru lebih efektif.
Perubahan jalur filmnya pun tak memfasilitasi performa bertenaga Prilly, yang berjasa menjadi mesin penggagas Matt & Mou. Sewatu Maxime masih belum juga bisa memberi penampilan natural yang nyaman disaksikan (terlebih caranya bicara), Prilly berhasil menghidupkan sosok lovable, yang termasuk salah satu alasan mengapa karir layar lebarnya pantas dihargai lebih dari sekadar “That lead actress from ‘Danur’ movie series”.
Konklusi milik Matt & Mou berusaha membawa kembali atmosfer jenaka nan menggemaskan sebagaimana di paruh awal. Hasilnya memuaskan. Matt & Mou sukses ditutup dengan manis, bahkan berpotensi mengharukan bagi sebagian penonton. Penyutradaraan Monty Tiwa pun masih menunjukkan kehandalan merangkai momen romantis emosional bermodalkan situasi sederhana. Meski di ketika bersamaan, mengembalikan "rasa cotton candy” menciptakan tonal jump pasca titik balik di babak keduanya semakin kentara.
Belum ada Komentar untuk "Matt & Mou (2019)"
Posting Komentar