The Grand Budapest Hotel (2014)

Judul film kedelapan dari Wes Anderson ini memang mengesankan sesuatu yang benar-benar besar nan megah. Lalu melihat posternya kita akan diperlihatkan bentuk dari The Grand Budapest Hotel yang memang nampak begitu megah. Belum lagi melihat jajaran cast-nya yang terdiri dari begitu banyak nama besar mulai dari mereka yang sudah jadi langganan film-film Wes Anderson hingga yang gres pertama kali terlibat. Sebesar apa cast tersebut? Mari mulai berhitung. Disini ada nama-nama ibarat Ralph Fiennes, Adrien Brody, Willem Dafoe, Saoirse Ronan, Edward Norton, Jude Law, Harvey Keitel, Bill Murray, Tilda Swinton, Tom Wilkinso hingga Owen Wilson yang bermain dalam kiprah utama hingga sekedar cameo. Jajaran ensemble cast super besar, setting hotel raksasa, dongeng yang dituturkan dalam aneka macam rentang generasi, apakah ini memang film termegah dari Wes Anderson? Naskahnya ditulis oleh Wes Anderson sendiri yang terinspirasi dari tulisan-tulisan milik seorang penulis asal Austria berjulukan Stefan Zweig. Mereka yang pernah atau bahkan menyukai menonton film-film Wes Anderson niscaya tahu tontonan macam apa yang akan ia hadirkan disini. Ekspektasi tersebut tidak keliru, lantaran The Grand Budapest Hotel masih punya gambar-gambar penuh warna, set yang tertata begitu artistik, atmosfer yang quirky, hingga kekacauan yang terasa abstrak namun menyenangkan. Bedanya tentu saja film ini lebuh mewah.

Film ini berkisah wacana seorang penulis yang menceritakan kisahnya bertemu dengan seorang laki-laki yang menceritakan kisah masa lalunya pada sang penulis (yap, bahkan dari struktur ini saja Wes Anderson sudah memperlihatkan keabsurdannya). Pada tahun 1968 sang penulis tanpa nama (Jude Law) tengah menginap di Grand Budapest Hotel. Disana ia bertemu dengan Zero Mustafa (F. Murray Abraham), seorang laki-laki bau tanah pemilik hotel tersebut yang ternyata ialah penggemar tulisan-tulisannya. Mustafa pun bersedia menemui sang penulis ketika makan malam untuk menceritakan semua kisahnya dan bagaimana ia alhasil sanggup menjadi pemilik hotel megah tersebut yang sekarang telah begitu sepi dan dilupakan. Ceritanya mundur lagi ke tahun 1932 ketika Zero Mustafa muda (Tony Revolori) masih bekerja sebagai lobby boy pada masa keemasan Grand Budapest Hotel. Dia memiliki atasan berjulukan Monsieur Gustave (Ralph Fienne) yang flamboyan dan populer doyan menjalankan "tugas" untuk "melayani" perempuan bau tanah pirang kaya raya yang menjadi tamu di hotel tersebut. Salah satu perempuan tersebut ialah Madame Celine (Tilda Swinton) yang sebelum kepergiannya dari hotel mengaku ketakutan lantaran merasa tidak akan bertemu lagi dengan Gustave. Benar saja, tidak berapa usang Madame Celine tewas akhir alasannya ialah yang belum diketahui. Gustave dan Zero pun tiba ke rumah Madame Celine untuk mengucap bela sungkawa. Tapi tanpa disangka semuanya berujung kekacauan dimulai ketika Gustave mendapatkan warisan sebuah lukisan mahal dari Celine hingga alhasil justru ia yang dituduh sebagai pembunuh Celine.
Di balik narasi penghubungnya yang menampilkan "orang bercerita wacana orang sedang bercerita" serta aneka macam subplot wacana konspirasi dan pembunuhan bergotong-royong The Grand Budapest Hotel jauh dari kesan rumit yang dihadirkan oleh konsep tersebut. Semuanya begitu sederhana tanpa ada jalinan plot yang rumit di dalamnya. Hanya saja cara bertutur Wes Anderson yang quirky, absurd dan abstrak ini memang akan susah diterima oleh penonton yang gres pertama kali menikmati film sang sutradara. Saya sendiri butuh waktu beberapa menit untuk terbiasa dengan aneka macam istilah serta nama-nama yang sedikit susah untuk dihafalkan. Tapi disaat sudah terbiasa dengan ritmenya (yang tidak akan memakan waktu lama) maka film ini memperlihatkan jaminan kesenangan luar biasa yang tidak akan sanggup disamai oleh film lainnya. Karena memang Wes Anderson itu begitu unik dalam mengemas film ini. Wes Anderson memang selalu imajinatif dalam membuat dunia dalam film. Layaknya negeri-negeri dalam dongeng dongeng, begitulah dunia yang selalu ia tampilkan, tidak terkecuali dalam negara fiksi berjulukan Republik Zubrowka disini. Yang saya suka dari dunia ciptaan Wes Anderson ialah dunia tersebut tidak akan membuat kita teringat pada sebuah daerah tertentu yang nyata, tapi berhasil membuat kesan bahwa daerah itu memang benar-benar ada berkat segala detailnya yang digarap sempurna. Dalam hal ini tata artistik dan sinematografi yang bagus memegang peranan besar.

Begitu banyak warna-warni cerah yang begitu memanjakan mata dipadukan dengan tata artistik yang seolah memperlihatkan kesan bahwa tiap setting yang muncul meski hanya beberapa detik benar-benar digarap dan diperhatikan hingga ke tingakatan detail yang paling kecil. Moonrise Kingdom sudah melaksanakan hal serupa dua tahun lalu, tapi The Grand Budapest Hotel membawanya ke tingkatan yang lebih tinggi lewat set yang lebih luas dan jauh lebih beragam. Penempatan kameranya benar-benar mendukung tata artistik super detail dan bagus tersebut entah lewat sudut yang beragam, hingga tentnunya akan ada wide-shot ala Wes Anderson yang sanggup memperlihatkan kesan megah dalam tiap adegannya. Kebanyakan film dengan gambar bagus akan memperlihatkan tekanan yang maksimal pada beberapa adegan tertentu sehingga mungkin adegan-adegan minor yang hanya numpang lewat tidak hingga terlihat indah, tapi tidak dengan film ini. Entah itu hanya sekedar adegan berjalan atau momen sekecil apapun sanggup terlihat begitu bagus termasuk berkat koreografi gerak yang berpadu tepat membuat keselarasan mengagumkan dengan aspek-aspek diatas. Belum lagi ditambah iringan musik garapan Alexandre Desplat yang mengisi hampir tiap adegan tanpa harus menjadi sebuah distraksi yang akan mengganggu fokus utamanya. Disinilah hebatnya aspek teknis film ini. Dengan kuantitas melimpah yang sekilas terasa penuh sesak, semuanya sanggup dikawinkan menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
Tapi The Grand Budapest Hotel bukan hanya hiburan visual belaka lantaran dongeng yang dihadirkan juga begitu menarik, amat seru. Pada perjalanannya, aspek drama yang hadir mungkin tidaklah terlalu emosional, tapi begitu memasuki konklusi saya perlahan menyadari bahwa ceritanya terasa mendalam bahkan tragis. Mungkin pada ketika filmnya berakhir tidak salah untuk menyebutnya sebagai tragicomedy. Sepanjang film mungkin tidak akan terasa banyak tragedi. Semuanya lebih berfokus pada keseruan yang hadir dalam perjuangan Zero dan Gustave untuk menuntaskan semua persoalan yang ada dengan sentuhan-sentuhan komedi "aneh" yang membuat saya tertawa sambil menempuk jidat saking absurd dan absurdnya cara Wes Anderson melemparkan lelucon. Komedi banyak muncul dari interaksi antara Zero dan Gustave yang lagi-lagi sanggup dibilang aneh. Tapi ada juga sentuhan black comedy saat secara tidak terduga Wes Anderson menampilkan momen yang terasa sadis meski hanya sedikit tapi begitu mengena bahkan memancing tawa sehabis saya pulih dari keterkejutan gara-gara adegan tersebut. Seperti yang saya bilang tidak terasa unsur tragedi, bahkan karakternya tidak benar-benar mengundang simpati. Tapi begitu film mendekati konklusi saya tanpa sadar mencicipi sedikit kepedihan dan simpati pada huruf utamanya. Bicara soal karakter, tentu saja para pemainnya berakting dengan baik. Duet Ralph Fiennes-Tony Revolori begitu dinamis khususnya Ralph Fiennes yang menyajikan salah satu penampilan terbaik sekaligus terunik sepanjang karirnya. Willem Dafoe sebagai pembunuh berdarah hambar hingga Tilda Swinton yang susah dikenali lantaran make-up pun mencuri perhatian meski kiprahnya minim,

The Grand Budapest begitu seru dan menyenangkan tapi bila anda sanggup meneria segala keganjilan dari Wes Anderson. Jika tidak, maka adegan kejar-kejaran sinting di gunung bersalju atau baku tembak di klimaksnya akan terasa non-sense. Tapi bila anda sanggup mendapatkan semua itu dan tentunya berkat aspek visual yang luar biasa, film ini akan jadi sajian yang penuh kesenangan, penuh keseruan, penuh canda tawa tapi juga perenungan yang terasa bittersweet pada akhirnya. Sebuah film yang membuat dunianya sendiri akan berhasil bila penonton ikut masuk dan terpengaruh oleh dunia tersebut. Semisal Batman dengan Gotham City tentu akan membuat penonton tidak ingin tinggal di kota yang penuh kriminalitas tersebut. Sedangkan Wes Anderson dengan Grand Budapest Hotel-nya membuat saya ingin sekali berkunjung kesana, menikmati hotelnya yang penuh warna-warni, berjalan-jalan ke museum yang penuh karya seni artistik, atau sekedar menikati masakan ringan manis penuh warna yang nampaknya sangat manis itu. Saat ini saya sudah kembali dari kunjungan pertama saya ke The Grand Budapest Hotel dan dengan bahagia hati kelak saya akan kembali lagi kesana untuk dijejali dengan segala keindahan serta kekacauan absurd dari seorang laki-laki imajinatif berjulukan Wes Anderson.

Belum ada Komentar untuk "The Grand Budapest Hotel (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel