22 Jump Street (2014)

Saya bahkan mungkin sebagian besar orang tidak akan mengira bahwa 21 Jump Street (review) akan berhasil meraih kesuksesan baik secara kualitas maupun komersil. Diluar dugaan film yang berasal dari sebuah serial televisi berjudul sama yang melambungkan nama Johnny Depp tersebut berhasil menawarkan sajian komedi penuh kegilaan lengkap dengan unsur buddy cop yang kuar berkat duet Channing Tatum-Jonah Hill. Dengan bujet hanya $42 juta, film tersebut berhasil meraih kesuksesan besar ketika berhasil meraup pendapatan lebih dari $200 juta di seluruh dunia. Film itu juga termasuk dalam 20 film favorit saya pada tahun 2012 kemudian (list). Memang 21 Jump Street adalah kejutan yang menyenangkan, sama mengejutkan dan sama menyenangkannya dengan cameo dari Johnny Depp pada titik puncak filmnya. Tentu saja berkat kesuksesan tersebut sekuel yang memang sudah direncanakan bahkan sebelum film pertamanya rilis semakin mendapat lampu hijau untuk dikerjakan. 22 Jump Street dengan bujet yang lebih besar ($65 juta) masih diisi nama-nama yang jadi kunci sukses film pertamanya mulai dari sutradara, penulis naskah, hingga tentu saja dynamic duo Tatum-Hill, semuanya kembali lagi. Tidak hanya timnya saja yang sama, dongeng dan inti filmnya pun sama dengan film pertama, sesuatu yang disadari bahkan dijadikan materi dagelan oleh film ini.

Seperti yang terlihat dalam ending film pertamanya, kali ini Schmidt (Jonah Hill) dan Jenko (Channing Tatum) akan kembali melaksanakan misi penyamaran, bedanya sasaran sasaran mereka bukanlah lingkungan Sekolah Menengan Atas melainkan perkuliahan. Misi yang diemban keduanya pun sama, yaitu mencari pengedar sebuah narkoba berjulukan WHYPHY yang telah menewaskan seorang mahasiswi. Sama juga menyerupai film pertamanya, Schmidt dan Jenko harus menghadapi banyak dilema menyerupai kebodohan mereka hingga perpecahan yang terjadi dalam persahabatan keduanya. Jenko merasa menemukan dunia yang beliau idam-idamkan ketika menjadi andalan dalam tim american football di kampusnya dan menemukan sahabat gres berjulukan Zook (Wyatt Russell). Dia pun meninggalkan Schmidt yang dianggapnya terus menahan Jenko untuk mendapat hidup yang lebih baik. Disisi lain Schmidt yang kesepian mulai tertarik pada seorang perempuan berjulukan Maya (Amber Stevens). Terasa familiar? Tentu saja sebab bergotong-royong dongeng ini yakni pengulangan dari film pertamanya dengan sedikit perombakan yang tidak siginifikan menyerupai perubahan kecil judulnya hingga mengganti Korean Jesus dengan Vietnamese Jesus. Tapi 22 Jump Street bukanlah The Hangover Part II yang menutup mata akan persamaan dengan prekuelnya. Film ini menyadari betul hal tersebut dan malah menyebabkan semua itu materi lelucon.
Lelucon wacana hal itu bahkan sudah nampak sedari awal ketika terjadi pembicaraan antara Jenko dan Schmidt dengan Deputy Chief Hardy (Nick Offerman). Dalam adegan tersebut obrolan dari sang Deputy Chief banyak menyinggung soal kesuksesan reboot film pertamanya yang tidak terduga hingga kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menciptakan sekuelnya mulai dari wangsit dongeng yang gres atau pengulangan, hingga bujet lebih besar yang digelontorkan. Sepanjang film akan ada banyak lagi meta joke (lelucon yang mereferensikan wacana sesuatu tapi dikemas biar tidak terlihat terlalu menjurus akan hal itu) bermunculan. Lelucon-lelucon semacam itulah yang menciptakan saya bisa memaafkan aneka macam pengulangan-pengulangan yang ada, toh film ini sadar akan hal itu bahkan menjadikannya sebagai sebuah dagelan yang lucu. Tidak hanya wacana filmnya sendiri, akan banyak lagi meta joke lain yang mungkin akan anda lewatkan jikalau kehilangan fokus sedikit saja terhadap dialog-dialog yang dilontarkan para karakternya. Memang ini berisiko, sebab tidak semua penonton tentu saja menangkap dagelan tersembunyi tersebut dan bagi mereka yang tidak mengerit, maka obrolan yang hadir tidak lebih dari sekedar selingan belaka. Bagian credit-scene di final film juga menjadi dagelan paling menarik yang menggambarkan bakal menyerupai apa franchise ini jikalau terus diberikan sekuel tanpa penah selesai.

22 Jump Street tentu saja masih akan menawarkan banyak humor bergairah dan jorok. Kegilaan menjadi sesuatu yang jamak terjadi dalam momen komedinya. Layaknya orang yang sedang teler oleh obat-obatan, komedi dalam film ini tidak akan malu-malu apalagi setengah-setengah. Semuanya hadir dalam taraf kegilaan tingkat maksimum tapi masih memperhatikan timing, sesuatu yang kadang tidak diperhatikan oleh film-film komedi sinting lain yang terus menerus menggeber leluconnya. Tapi disinilah dampak negatif dari pengulangannya mulai terasa. Sebagus apapun timing sebuah dagelan jikalau kita pernah mendengar atau melihat dagelan itu sebelumnya kadar kelucuan dan tawa yang dihasilkan tidak akan semaksimal ketika pertama kali. Masih terasa lucu tapi tidak semaksimal yang pertama. Saya ambil pola adegan ketika Jenko dan Schmidt teler. Adegan tersebut yakni pemancing tawa terbesar di film pertamanya yang mampu menciptakan tawa saya tidak kunjung berhenti selain dagelan wacana Korean Jesus. Dalam sekuelnya, mereka berdua kembali teler dalam sebuah sequence yang tidak kalah absurd dan sureal. Masih terasa lucu apalagi melihat Tatum menggila dalam adegan tersebut, tapi tetap saja imbas yang dihasilkan tidaklah sesegar film pertamanya. Tapi jangan khawatir sebab secara keseluruhan leluconnya masih tetap lucu dan mampu menawarkan imbas lebih dari sekedar senyum simpul.
Chemistry yang hadir antara Jonah Hill dan Channing Tatum pun semakin berpengaruh disini. Keduanya mampu menghadirkan sebuah bromance yang menarik sambil sesekali dipelintir jadi menjurus kearah romance. Jonah Hill tentu saja masih lucu, tapi sama menyerupai film pertamanya, bintang utama dalam sekuel ini tetaplah Channing Tatum. Selalu menyenangkan melihat bintang film dengan fisik menjual dan mendefinisikan apa itu istilah "cool" menyerupai Tatum bisa menggila dalam sebuah film komedi. Tapi tidak hanya itu, Tatum menghadirkan hampir semua potensi yang ia miliki disini. Dia terlihat menyerupai orang sinting demi komedinya, tapi ia juga bisa menjadi tough guy ala film-film aksi. Porsi drama terang minim tapi ia menawarkan performa yang cukup baik ketika filmnya sedikit menjurus kearah sana. Andai saja ada adegan yang menampilkan Tatum menari menyerupai di Step-Up makin lengkaplah penampilan sang aktor. Konfik yang hadir diantara Jenko dan Schmidt memang sama dengan film pertamanya dan saya tidak bisa tidak mencicipi bahwa semua ini sudah pernah hadir sebelumnya, tapi toh penampilan hebat plus chemistry kuat Tatum-Hill menciptakan kisah bromance-nya tidak hingga terasa basi. 

Salah satu kekurangan lagi dari 22 Jump Street adalah klimaksnya. Cukup menghibur tapi bukanlah sebuah rentetan adegan agresi yang spektakuler. Dibandingkan film pertamanya tentu saja apa yang muncul disini masih kalah apalagi dalam titik puncak 21 Jump Street ada kejutan berupa kemunculan plus janjkematian mendadak Johnny Depp. Tensinya memang menurun dan ironisnya terjadi pada momen titik puncak Untungnya credit-scene yang hadir sukses memecah tawa lagi dan menutup film ini dengan begitu memuaskan. Tidak bisa dihindari, aneka macam pengulangannya memang sedikit mengurangi keasyikan, tapi ini yakni cara paling kondusif untuk menghadirkan sekuel yang memuaskan, toh banyak kelebihan di film pertamanya berhasil dipertahankan disini. Daripada mengambil jalan berbeda tapi malah jadi tidak maksimal, memang terkadang lebih baik mengulangi apa yang dipunya prekuelnya tapi dengan tetap menyadari semua itu. Tapi tetap saja bagi saya lebih baik tidak ada 23 Jump Street kecuali para pembuatnya punya cara yang jenius untuk menciptakan sekuel tersebut tidak terasa basi. Karena meta jokes dan chemistry Tatum-Hill saya rasa tidak akan menyelamatkan film ini untuk kali kedua, apalagi jikalau hingga benar-benar ada 2121 Jump Street yang menampilkan Schmidt dan Jenko keluar angkasa.

Belum ada Komentar untuk "22 Jump Street (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel