All Is Lost (2013)
Lewat film ini nama Robert Redford digadang-gadang sanggup meraih kemenangan Oscar pertamanya sesudah lebih dari 50 tahun berkarir sebagai aktor. Banyak pihak yang menyayangkan Academy yang kurang melirik performa Redford selama ini dimana sejauh ini gres satu nominasi Oscar yang ia dapat, itupun sudah 40 tahun kemudian lewat The Sting. Dalam All is Lost yang merupakan film kedua dari J.C. Chandor (Margin Call), Redford akan menjadi satu-satunya bintang film yang muncul. Ya, ini yaitu survival film yang mengetengahkan kualitas akting aktornya sebagai menu utama layaknya film-film ibarat 127 Hours, Cast Away, Life of Pi ataupun Gravity. Namun dalam narasinya, naskah yang ditulis sendiri oleh J.C. Chandor ini mencoba bereksperimen dan cukup berbeda bila dibandingkan film-film yang mengetengahkan perjuangan bertahan hidup lainnya. Jika biasanya film-film ibarat itu akan menimbulkan latar belakang huruf utamanya sebagai pondasi pembangunan emosi hingga perjuangan bertahan hidupnya terasa lebih bermakna dan simpatik, dalam All is Lost kita tidak tahu apapun perihal huruf yang dimainkan oleh Robert Redford bahkan hingga filmnya berakhir sekalipun.
Dibuka dengan sebuah pesan yang dibacakan oleh Robert Redford, sedari awal kita sudah diperlihatkan huruf tanpa nama yang diperankan oleh Redford sudah berada diatas kapal miliknya, sempurna di tengah Samudera Hindia. Sial bagi dirinya, sebuah kontainer yang mengapung menabrak kapalnya dan menciptakan lubang yang mengakibatkan kebocoran. Dengan cepat ia pun berusaha memperbaiki kerusakan tersebut sebelum kebocoran bertambah parah dan menciptakan kapalnya karam. Namun alam nampaknya tidak sedang berpihak padanya alasannya yaitu tidak usang berselang, angin puting-beliung besar mulai menghantam dan ia pun harus berusaha keras bertahan hidup sendirian di tengah lautan absurd dalam kondisi kapal yang rusak dan persediaan makanan seadanya. Begitulah yang akan terjadi selama 104 menit All is Lost berjalan. Murni mengatakan perjuangan seorang laki-laki tanpa nama berusaha bertahan hidup melawan keganasan alam di tengah laut. Tidak ada klarifikasi siapa dia, kenapa ia berlayar sendirian di tengah laut, apakah ia mempunyai keluarga dan sebagainya. Tidak ada satupun latar belakang yang dibeberkan perihal huruf itu. Ini yaitu eksperimen J.C. Chandor untuk menyajikan sebuah straight-survival film.
Sebelum membahas apakah eksperimen yang dilakukan berhasil, saya bahas dulu mengenai akting Robert Redford yang memang lebih banyak menerima award buzz daripada filmnya sendiri. Film ibarat All is Lost akan eksklusif jatuh menjadi film yang jelek dan membosankan bila kualitas akting pemainnya jelek bahkan bila itu pas-pasan sekalipun. Dan performa Redford disini memang layak menerima acungan dua jempol. Dengan usianya yang sudah diatas 70 tahun, ia sanggup menanggung beban berat mengeksploitasi fisik dan emosinya dalam film survival ibarat ini. Secara kedalaman emosi, Redford sanggup bermain dengan begitu baik. Kita sanggup melihat perkembangan psikologisnya dari awal ketika ia masih begitu tangkas dan yakin, hingga perlahan segala keyakinan tersebut mulai terkikis oleh kondisi yang makin sulit dan kegagalan yang ia alami. Tentu saja momen terbaik dari akting seorang bintang film dalam film ibarat ini yaitu ketika karakternya mengalami break down, ketika ia depresi dimana impian nampak sudah menghilang, tidak terkecuali Robert Redford. Saya juga suka bagaimana ia terlihat begitu konkret sebagai seseorang yang jago dalam hal hidup di lautan. Redford begitu cekatan dan akil dalam mengatasi segala dilema yang ia hadapi dengan cara yang efektif, layaknya seorang ahli.
Kemudian bila bicara perihal eksperimen yang dilakukan Chandor, saya menyatakan eksperimen itu tidak berhasil setidaknya bagi saya. Menghilangkan latar belakang huruf pada jadinya justru menciptakan All is Losti terasa hampa dan tidak mempunyai greget dalam menghantarkan perjuangan bertahan hidup karakternya. Tanpa hal itu saya jadi tidak mencicipi simpati pada karakternya. Adanya latar belakang sangat penting untuk menciptakan penonton memahami kenapa penting bagi huruf itu untuk berhasil bertahan hidup. Ambil teladan Cast Away dimana huruf yang dimainkan oleh Tom Hanks mempunyai keluarga. Atau Life of Pi dimana huruf utamanya yaitu seorang dewasa yang gres saja kehilangan seluruh keluarganya secara tragis dalam sebuah kecelakaan. Hal tersebut menciptakan penonton bersimpati pada karakternya dan sadar atau tidak mulai mendukung huruf itu untuk berhasil melewati semua ancaman yang merintang dan keluar dari semua itu dalam kondisi hidup. Pada jadinya All is Lost pun menjadi terasa begitu datar. Dinamika emosinya pun jadinya menjadi flat alasannya yaitu tidak ada latar belakang tadi. Belum lagi ancaman janjkematian yang tiba dari alam juga terasa kurang mengancam. Bandingkan dengan film lain yang menimbulkan alam sebagai "musuh" ibarat Life of Pi ataupun Gravity dimana alam terasa begitu mengerikan. Nampaknya keterbatasan dana menjadi penyebab utama hal ini.
All is Lost tidak mempunyai momen yang menjadi hook, menjadi titik puncak utama dalam dinamika alurnya. Pada jadinya semua pun terasa begitu datar. Sayangnya hal itu terus terjadi hingga pada pecahan ending yang sebetulnya punya potensi yang begitu berpengaruh sebagai epilog yang menggigit, namun lagi-lagi akhir segala kekurangan diatas, ending tersebut ikut menjadi terasa hambar. J.C. Chandor memang berhasil dalam eksperimennya mengatakan perjuangan bertahan hidup seseorang secara teknis dalam artian cukup menarik melihat usaha-usaha huruf Robert Redford dalam bertahan hidup di tengah segala bahaya. Namun bila bicara kedalaman emosi, maka film ini terasa datar. Esensi perihal "tidak pernah mengalah seburuk apapun kondisinya" jadi tidak tersampaikan dengan baik. Bagi saya All is Lost sama ibarat Margin Call yang merupakan debut penyutradaraan J.C. Chandor. Kedua film itu sama-sama menerima respon sangat baik dari kritikus, menerima award buzz namun sama-sama meninggalkan kekecewaan bagi saya.
Belum ada Komentar untuk "All Is Lost (2013)"
Posting Komentar