Irreversible (2002)

Mungkin film garapan sutradara Gaspar Noe ini lebih dikenal sebab adegan pelecehan seksual brutal yang melibatkan Monica Bellucci daripada alurnya secara keseluruhan. Karena adegan pelecehan seksual tersebut, Irreversible sering masuk dalam jajaran film paling disturbing. Tapi menyerupai apa bekerjsama dongeng dari film yang juga dibintangi oleh Vincent Cassel (saat film ini dibentuk masih berstatus suami Monica Bellucci) ini? Kisahnya sederhana dan sudah banyak ditemui dalam film-film bertemakan balas dendam lainnya. Makara film ini bercerita wacana Marcus (Vincent Cassel) dan temannya Pierre (Albert Dupontel) yang tengah mencari seorang laki-laki di sebuah gay bar berjulukan "The Rectum". Mereka berdua tidak tahu menyerupai apa rupa laki-laki yang mereka cari. Mereka hanya tahu laki-laki itu berjulukan Le Tenia. Setelah melaksanakan pencarian di seluruh bar, Marcus alhasil bertemu dengan seorang laki-laki yang ia yakini yaitu Le Tenia. Keduanya terlibat perkelahian brutal dimana Marcus berhasil dijatuhkan, dipatahkan tangannya, bahkan hendak diperkosan sebelum Pierre tiba membantunya. Pierre pun menghabisi laki-laki itu dengan alat pemadam api hingga wajah sang laki-laki hancur.

Irreversible kemudian terus bergerak mundur mengajak kita untuk mencari tahu bagaimana proses Marcus dan Pierre untuk mencari "The Rectum", dan yang paling penting apa yang membuat mereka berdua (khususnya Marcus) begitu ingin mencari daerah itu dan kenapa Marcus tampak begitu menyimpan dendam pada Le Tenia. Alurnya yang bergerak mundur merupakan salah satu keunikan film ini, dimana keunikan lain ada pada editingnya yang membuat seakan-akan setiap adegan diambil dalam one shot. Trik pergerakan kamera yang digunakan untuk membuat efekt tersebut pada awalnya akan terasa memusingkan. Dengan kamera yang berputar-putar dan pencahayaan yang amat minim akan sulit untuk mencerna apa yang tengah terjadi pada awalnya. Bahkan bagi beberapa orang pergerakan kamera itu akan membuat pusing bahkan mual. Tapi sesudah alhasil terbiasa, hal itu justru menjadi salah satu daya tarik film ini. Kameranya yang bergerak liar itu bisa menambah ketegangan dan rasa horor dalam film ini. Bagi penonton, kita dibentuk menyerupai sesosok hantu yang melayang-layang di tengah kegelapan malam, menyaksikan horor demi horor yang disajikan Gaspar Noe.

Pada dasarnya, narasi sebuah film bergerak dalam urutan menyerupai ini: pembuka-pengenalan konflik-klimaks-penyelesaian konflik-resolusi. Jika metode dasar itu serta merta dibalik, maka kita akan mendapat titik puncak terlebih dulu diawal kemudian kemudian mundur ke belakang. Hal itulah yang dilakukan Gaspar Noe yang membuat film ini dibuka dengan penuh ketegangan, tensi tinggi, dan tempo yang sangat cepat. Berbagai kekacauan pribadi ditebar diawal. Selain itu, sebab pribadi disuguhi puncak konflik, kita pun akan dibentuk bertanya-tanya wacana banyak hal. Siapa? Kenapa? Bagaimana? Alur yang terbalik ini membuat misteri tersendiri yang menarik untuk diikuti. Tapi tentu saja ada timbal baliknya dari pengemasan ini, yaitu tensi yang benar-benar menurun drastis ketika film telah mencapai paruh kedua. Mudah sesudah adegan pelecehan seksual yang aneh itu tensi film menurun. Bahkan di beberapa bagian, alurnya terasa diseret dan terlalu lama. Pada alhasil sebuah twist yang seharusnya semakin menguatkan imbas trafis dalam plot-nya menjadi kurang terasa "mencekik" sebab sebelum momen pengungkapan sudah ada beberapa tease wacana kejutan tersebut yang lagi-lagi meninggalkan kesan diseret terlalu lama. Bandingkan dengan Memento-nya Nolan yang memang narasinya sudah disiapkan dengan matang untuk dikemas dalam alur mundur sehingga tidak pernah kehilangan tensi dan misteri.
Tapi meski tensi jadi menurun, pengenalan konflik dan abjad yang ada di belakang memang menjadikan kesan tragis. Kita diajak terlebih dahulu melihat balas dendam yang terjadi, untuk kemudian perlahan mengetahui bahwa semua itu yaitu hal yang sia-sia, dan bahwa segala peristiwa yang hadir seharusnya bisa saja tidak terjadi. Yang lebih tragis lagi, di final kita mengetahui bahwa hanya beberapa jam sebelum kegilaan itu, semuanya baik-baik saja, bahkan begitu bahagia. Irreversible memperlihatkan bagaimana hidup kita bisa berbalik 180 derajat hanya dalam waktu sekejap saja. Dengan pengemasan alur terbalik ini juga membuat dialog-dialog yang hadir bagaikan sebuah tease wacana peristiwa yang akan (baca: sudah) terjadi. Lagi-lagi hal itu sering memunculkan ironi yang tragis, sebagai referensi ketika Marcus bercanda pada Alex dan berkata ia ingin melaksanakan anal seks. Jika film ini memakai alur linier maka dialo itu hanya berakhir sebagai sebuah candaan sambil lalu, tapi sebab alurnya yang terbalik, obrolan penuh canda itu jadi terkesan menyedihkan sebab kita tahu apa yang akan terjadi sesudah itu. 

Atmosfernya kelam dan terasa disturbing sebab aneka macam aspek menyerupai pergerakan kamera, setting (The Rectum dan terowongan merah), penggunaan ambience yang menghantui layaknya film-film David Lynch dan pencahayaan yang minim dimana dominan film ada di malam hari atau ruangan gelap. Irreversible penuh rasa tidak nyaman ketika ditonton. Tentu saja kekerasan yang begitu brutal dan seksualitas tinggi yang dominan diisi pelecehan seksual atau BDSM di gay bar menguatkan kesan itu. Seolah ingin makin memperjelas intensinya untuk memperlihatkan rasa tidak nyaman, Gaspar Noe menutup filmnya dengan sebuah scene aneh yang saya yakin akan membuat setiap orang yang menontonnya (jika berpengaruh terus bertahan hingga film blackout) akan mencicipi ketakutan, ketidak nyamanan dan kecemasan yang luar biasa, meski adegan itu tidak menampilkan apapun kecuali cahaya yang putih terang dan ambience menusuk telinga. Irreversible memang penuh kejutan dan kegilaan, tapi yang paling penting film ini berhasil menggambarkan bahwa kita tidak akan pernah tahu hal apa yang akan terjadi pada kita nanti. Bisa saja kita terbangun dengan penuh kebahagiaan tanpa tahu ada peristiwa menanti kita dan tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mencegah semua itu. Pada alhasil Irreversible memang tidak meninggalkan secercah keinginan sedikitpun.

Belum ada Komentar untuk "Irreversible (2002)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel