Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (2014)
Kerusuhan yang pecah di Maluku pada tamat 90-an hingga awal 2000-an merupakan salah satu sejarah kelam negeri ini. Dalam beberapa tahun, ribuan orang telah menjadi korban jiwa dari konfik yang dipicu oleh perselisihan antara umat Islam dan Katolik di Maluku. Angga Dwimas Sasongko pun jadinya menyebarkan film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (CDTBM) menurut cerita aktual tersebut yang dipadukan dengan usaha tim sepakbola Maluku ketika bertanding di Piala Medco tahun 2006, sebuah kejuaraan bertingkat nasional yang melibatkan para pemain sepak bola U-15 di seluruh Indonesia. Tentu saja film-film bertemakan sepak bola sudah bukan lagi barang gres dalam dunia perfilman Indonesia. Sebelum ini ada dua film Garuda di Dadaku yang mengangkat sepak bola dalam level anak-anak, kemudian ada Tendangan dari Langit dengan sepak bola "kampung"-nya hingga Hari Ini Pasti Menang yang mengangkat cerita timnas Indonesia di Piala Dunia 2014 hingga konspirasi-konspirasi di dalamnya. Semua film-film yang saya sebutkan diatas punya ciri khas masing-masing meski sama-sama mengangkat sepak bola sebagai sajian utamanya. Begitupun dengan CDTBM yang di balik cerita usaha tim sepakbolanya terdapat drama ihwal konflik kemanusiaan dan perbedaan khususnya yang ada di Maluku.
Sosok Sani Tawainella (Chicco Jericho) yaitu yang memegang peranan sentral dalam film ini. Sani yaitu laki-laki asal Tulehu yang dari dulu punya mimpi menjadi pemain sepak bola profesional. Tapi alasannya yaitu kegagalan dalam sebuah seleksi PSSI, beliau pun terpaksa mengubur impiannya tersebut. Sekarang Sani bekerja sebagai seorang tukang ojek untuk menghidupi istri dan anaknya. Tentu saja uang yang ia sanggup sebagai tukang ojek tidaklah seberapa, dan hal itu menciptakan kehidupan Sani bersama keluarganya terasa berat. Seolah belum cukup, pecahlah kerusuhan di Maluku yang menewaskan banyak orang tersebut. Di tengah masa penuh kekacauan tersebut Sani prihatin melihat banyak bawah umur kecil yang berlarian dengan semangat ketika mendengar tiang listrik dipukul hanya untuk melihat kerusuhan terjadi. Tidak bisa membiarkan hal tersebut, Sani akhinya berinisatif untuk mengumpulkan bawah umur yang ada dan melatih mereka bermain sepak bola tiap sore guna menjauhkan mereka semua dari kerusuhan yang pecah. Ya, hanya itu saja pada awalnya yang memotivasi Sani melatih mereka. Tanpa ia duga, ternyata semua itu menjadi benih menuju hal yang lebih besar lagi, menjadi sebuah harapan untuk menyatukan rakyat Maluku yang selama ini terpecah belah akhir kerusuhan yang terjadi. Sedangkan bagi Sani, ia pun dilanda problem ketika harus menentukan antara tim sepak bola yang ia asuh dengan keluarga yang selama ini tidak pernah bisa ia cukupi kebutuhan sehari-harinya.
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, hal yang membedakan film dengan banyak sekali film-film lain bertemakan sepak bola yaitu cerita ihwal konflik kemanusiaan yang menjadi pondasi dasar bagi kisahnya. Pada akhirnya, keberhasilan terbesar dari film ini yaitu ketika CDTBM sanggup menggabungkan drama penuh gejolak yang terjadi akhir perbedaan dengan usaha emosional dalam pertandingan sepak bola. Apapun medianya, saya selalu suka mendengar/melihat cerita ihwal insan yang bisa bersatu dibalik segala perbedaan diantara mereka (khususnya agama). Dengan baik film ini bisa memperlihatkan bahwa mereka yang berbeda pada jadinya bisa bersatu ketika berjuang akan tujuan yang sama alasannya yaitu intinya kita semua memang satu. Begitulah kira-kira pesan yang diteriakkan oleh film ini. Memang momen yang paling memperlihatkan persatuan dua pihak berbeda tersebut yang terjadi pada titik puncak film disajikan dengan agak berlebihan, tapi toh saya tetap dibentuk tersenyum senang melihat bagaimana indahnya perbedaan agama ketika dipersatukan oleh sepak bola disini. Sedangkan untuk momen pertandingan sepak bolanya sendiri, Angga Dwimas Sasongko sanggup memperlihatkan sebuah pertempuran di lapangan hijau yang dirangkai dengan begitu baik.
Salah satu kelemahan terbesar dalam film-film yang menyajikan sepak bola yaitu sanksi pertandingannya yang awkward dan terlalu kelihatan palsunya. Salah satu "penyakit" dalam film sepak bola yaitu terlihat orisinil dan tidak mengecewakan ketika terjadi operan-operan di tengah lapangan tapi begitu palsu dan jelek ketika memperlihatkan momen terjadinya gol. Tentu saja kekurangan itu juga sempat muncul dalam film ini, tapi secara keseluruhan CDTBM sanggup menghadirkan momen-momen seru diatas lapangan. Dengan "berani", film ini menyajikan beberapa momen gol yang diciptakan secara sungguhan. Sinematografinya memukau dengan warna yang tajam serta sebuah pertandingan yang diguyur hujan lengkap dengan sentuhan slo-mo sebagai salah satu momen terbaik dalam rangkaian adegan pertandingan sepak bola dalam film ini. Tidak hanya terkoreografi dengan baik, film ini juga sanggup memperlihatkan sentuhan emosional di partai finalnya, sesuatu yang seringkali gagal dihukum oleh film-film serupa. Tentu saja puncaknya ada di babak tabrak penalti yang menjadi epilog turnamen. Disitulah tingkat ketegangan serta emosional film ini mencapai puncaknya ketika secara bergantian kita melihat apa yang terjadi di lapangan dan para penonton yang menonton dari Maluku. Momen emosional itu menciptakan saya bersusah payah menahan air mata alasannya yaitu begitu menggetarkannya titik puncak dalam film ini.
Tapi CDTBM tetap punya beberapa kelemahan. Salah satunya yaitu kesan repetitif yang terasa pada awal hingga pertengahan film. Kisahnya memang selalu berpindah dari konflik dalam tim sepak bola ke konflik keluarga Sani yang kekurangan uang dengan latar belakang kerusuhan Maluku, begitu seterusnya. Polanya selalu sama: Sani melatih anak-anak, kemudian pulang menghadapi sang istri yang entah mengeluh ihwal uang atau memperlihatkan sindiran kecil tapi menusuk sang suami. Memang hal itu ditujukan untuk memperlihatkan bagaimana problem dalam diri Sani, tapi penyajian dan teladan yang selalu serupa menciptakan tensi film sempat menurun dan agak membosankan. Untung kesan repetitif itu jadinya hilang ketika filmnya memasuki babak baru, yaitu turnamen U-15 di Jakarta. Itupun terjadi alasannya yaitu Sani ada di Jakarta dan sang istri di Maluku, mungkin saja bila keduanya berada di daerah yang sama kesan repetitif akan terjadi lagi. Pada paruh awal hingga pertengahan saya juga merasa porsi untuk adegan-adegan kunci terasa terlalu cepat dan terburu-buru, bahkan disajikan jauh lebih singkat dibandingkan adegan yang kurang esensial maupun montage yang bertebaran. Tapi toh semuanya terbayar dengan klimaksnya yang emosional dan menggetarkan itu.
Cahaya dari Timur: Beta Maluku adalah sebuah sajian penuh emosional yang juga terlihat indah berkat banyak sekali gambar-gambar yang memperlihatkan keindahan alam Maluku. Terasa sedikit rasa arthouse film disaat film ini banyak menghadirkan gambar-gambar indah yang terasa sunyi tanpa kehadiran obrolan ataupun scoring yang menggelegar. Penampilan yang (diluar dugaan) elok dari Chicco Jericho yang berhasil melaksanakan banyak adegan dimana ia harus memperlihatkan "pidato" penuh motivasi, serta para pemain drama orisinil Maluku yang juga diluar dugaan tampil begitu natural dan memperlihatkan interaksi penuh chemistry kuat antara satu sama lain makin memperlihatkan kekuatan bagi film ini. Mungkin film ini memang berlatar Maluku, membawa nama Maluku dan kental unsur Maluku, tapi sebetulnya ini bukan hanya cerminan Maluku belaka tapi juga Indonesia. Bukan, bukan aspek sepak bola sebagai pemersatu tapi bagaimana perbedaan yang seringkali menjadi penyulut konflik bisa jadi begitu indah dan berujung pada hal yang besar ketika perbedaan itu dikesampingkan dan kita semua bersatu dan meneriakkan satu "nama" yang sama. Seperti yang dilakukan para pemain sepak bola dalam film ini yang dengan penuh pujian dan semangat berteriak "BETA MALUKU!!!"
Belum ada Komentar untuk "Cahaya Dari Timur: Beta Maluku (2014)"
Posting Komentar