American Horror Story - Murder House (2011)
Nama Ryan Murphy dan Brad Falchuk paling dikenal sebagai kreator serial televisi Glee yang sempat menjadi fenomena tapi kini perlahan mulai dilupakan. Tapi apa jadinya kalau kedua orang ini menciptakan sebuah serial televisi yang jauh berbeda? Dalam serial yang satu ini, terang tidak ada nyanyian gembira, kisah cinta remaja, serta usaha bawah umur yang diremehkan untuk menjadi seseorang yang dipandang. Dalam American Horror Story yang ada hanya jeritan, tragedi, kematian, teror dan kesan sensual. AHS ibarat yang terlihat pada judulnya mengambil konsep mengenai cerita-cerita horror yang terkenal di Amerika Serikat, dimana demam isu pertamanya berfokus pada teror di sebuah rumah berhantu. Kisah ruah hantu sudah sangat familiar diangkat dalam medium film, tapi sebagai sebuah serial televisi tentunya ini akan menjadi hal yang menarik. Musim pertamanya yang mempunyai subjudul Murder House ini ditayangkan pada tahun 2011 dan sukses menjadi serial tv kabel gres yang paling banyak ditonton pada tahun 2011 bersandingan dengan Falling Skies. Murder House akan mengajak kita melihat teror yang menanti di sebuah rumah bau tanah yang terletak di Los Angeles dalam 12 episode-nya yang tidak hanya diisi kengerian tapi aneka macam misteri-misteri seputaran rumah berhantu tersebut.
Pada awalnya kita akan diajak berkenalan dengan keluarga Harmon yang terdiri dari Ben (Dylan McDermott), Vivien (Connie Britton) dan Violet (Taissa Farmiga). Keluarga tersebut gres saja ditimpa permasalahan berat disaat Vivien yang gres saja mengalami keguguran memergoki suaminya sedang bekerjasama seks dengan Hayden (Kate Mara) yang tidak lain ialah murid dari Ben. Untuk memulai awal yang baru, mereka pindah dari Boston ke Los Angeles, tepatnya di sebuah rumah bau tanah disana. Sejak awal mereka sudah mengetahui ada yang tidak beres dengan rumah tersebut alasannya dijual dengan harga yang sangat murah. Mereka pun hasilnya mengetahui bahwa pemilik sebelumnya meninggal di dalam rumah. Tapi alasannya sudah terlanjur menyukai rumah tersebut dan dengan sedikit "paksaan" dari sang puteri, Violet, Ben dan Vivien pun memutuskan membelinya. Tapi tentu saja usaha mereka untuk memulai hidup gres disana tidak berjalan lancar alasannya belum apa-apa sudah muncul beberapa insiden serta orang-orang ajaib di sekitar mereka. Mulai dari Tate (Evan Peter) pasien dari Ben yang sering bermimpi melaksanakan pembantaian dan mulai menjalin hubungan dengan Violet, Constance (Jessica Lange) tetangga sebelah yang sekilas terlihat ramah tapi nampak menyembunyikan sesuatu dan mempunyai seorang puteri dengan down syndrome bernama Addie (Jamie Brewer) yang sering menerobos masuk ke dalam rumah, hingga seorang laki-laki dengan luka bakar berjulukan Larry (Denis O'Hare) yang selalu membuntuti Ben dan menceritakan banyak hal mengerikan wacana rumah tersebut.
American Horror Story adalah satu lagi bukti bahwa serial televisi kini telah menjadi ajang unjuk idealisme yang sebetulnya dibandingkan film-film Hollywood yang lebih mementingkan pundi-pundi uang daripada kualitas dan kisah yang bagus. Alih-alih memakai banyak scare jump AHS demam isu pertama ini lebih banyak bermain-main dengan membangun konflik yang terjadi dalam diri karakternya dan memperlihatkan teror lewat aneka macam visual yang cukup disturbing. Disinilah yang saya suka dari AHS. Ada aneka macam macam momen yang menciptakan saya merinding atau bahkan mual ibarat bayi yang dimutilasi untuk kemudian dijahit lagi untuk dihidupkan layaknya Frankenstein, adegan makan otak mentah-mentah, hingga korban-korban lain yang tewas dengan cara yang cukup mengenaskan. Tapi tidak semuanya dihadirkan secara gamblang. AHS sanggup memperlihatkan teror dengan cara mempermainkan imajinasi liar penontonnya. Selalu ada cara gres yang dipakai untuk membunuh korban dalam serial ini. Tentu saja hal ini menyegarkan daripada hanya berusaha mengageti penontonnya. Tapi harus diakui, tiap film sajian horror setidaknya membutuhkan satu atau dua scare jump. AHS melakukannya beberapa kali tapi sayangnya tidak banyak yang berhasil. Disaat serial ini cantik dalam menghantarkan teror utamanya lewat imajinasi penonton, scare jump yang pasaran itu malah gagal dihukum dengan baik.
Salah satu misalnya ialah episode finale yang bertajuk Afterbirth. Episode tersebut punya rangkaian adegan dimana satu per satu hantu menampakkan wujudnya dan akan menjadi begitu menegangkan dan seru apabila dihukum dengan baik, tapi sayang scare jump yang muncul terasa datar entah alasannya penempatan musik yang tidak tepat, pergerakan kamera yang kurang shocking, editing yang jelek atau alasannya timing yang meleset. Memang kalau bicara teknis, demam isu pertama AHS ini banyak kekurangan khususnya epsiode-episode awal. Hanya adegan dikala Tate kecil dikejutkan oleh Thaddeus saja yang menakutkan khususnya alasannya sosok dari sang "bayi monster" ini memang mengerikan. Sedari Pilot, saya sudah dibentuk menyukai serial ini dan dalam dua hari terakhir menghabiskan waktu menuntaskan 12 epsiodenya. Meski tidaklah terlalu mengerikan atau menegangkan, AHS: Murder House punya kekuatan lain yakni pada misterinya. Sedari episode pertama selalu saja ada misteri yang begitu menarik untuk diikuti ibarat wacana apa yang sebetulnya terjadi dalam rumah itu. Satu lagi misteri yang paling besar ialah mengenai identitas karakternya. Mudah pada paruh musim, selain keluarga Harmon abjad lainnya terasa misterius, yakni apakah mereka insan atau hantu? Tantangan utama dalam serial televisi yang menghadirkan misteri bukanlah pengenalan maupun penelusurannya, tapi pinjaman jawabannya. Sebagai pola ialah Lost. Sebesar apapun kecintaan saya akan serial tersebut, tetap saja ada beberapa misteri yang jawabannya mengecewakan bahkan tidak terjawab. AHS untungnya bisa memperlihatkan aneka macam tanggapan yang memuaskan lengkap dengan twist demi twist mengejutkan. Memang ada beberapa tanggapan yang mengecewakan ibarat wacana "hukum" dan kemampuan para hantu yang terasa dipaksakan dan hal-hal ganjil ibarat kenapa Moira bisa pergi menemui sang ibu kalau para hantu tidak bisa meninggalkan rumah tersebut, tapi overall semuanya tetap memuaskan.
Flashback juga jadi bab terpenting dalam AHS demam isu pertama ini. Tidak hanya diajak menikmati teror pada masa sekarang, kita juga diperlihatkan aneka macam insiden dan bencana yang selalu menimpa pemilik rumah sedari yang pertama kali menempatinya. Semua flashback-nya menarik, dengan konflik yang berbeda tapi tetap punya benang merah yaitu antara obsesi, cinta, luka, hingga bayi. Setiap kisahnya bisa memperlihatkan eksplorasi yang mendalam pada masing-masing abjad yang menciptakan hampir semua karakternya terasa berharga dan menarik. Bahkan bagi saya kisah masa lalunya lebih menarik daripada kisah di masa sekarang. Masing-masing karakternya dipenuhi dengan kegelapan bahkan kejahatan yang sekilas menciptakan mereka tidak jauh beda dengan monster. Tapi perlahan tapi niscaya kita diajak untuk mengerti bahwa semua itu mempunyai pangkal permasalahan yang menciptakan tiap-tiap karakternya terjatuh dalam lubang kegelapan. Bahkan abjad ibarat Clarence, Ben hingga Tate sekalipun berhasil menarik saya untuk bersimpati pada mereka. Hampir tidak ada abjad yang annoying disini meski terkadang tokoh ibarat Hayden dan Vivien terasa menyebalkan. Beberapa karakternya pun sukses menambahkan unsur sensual dalam serial ini, ibarat kemunculan sosok rapist berpakaian lateks. hingga pembantu bau tanah berjulukan Moira yang di hadapan laki-laki akan berubah wujud menjadi pembantu seksi berambut merah, berkulit putih yang wajah dan tingkah lakunya selalu bisa menciptakan libido laki-laki memuncak.
Sebuah serial yang twisted, misterius, penuh bencana dan sensual, begitulah kesan saya terhadap demam isu pertama American Horror Story ini. Mungkin banyak penonton yang tidak terlalu betah melihat beberapa kesadisan yang ada khususnya melihat fakta banyaknya anak kecil bahkan bayi yang mati mengenaskan disini. Saya juga menyayangkan kengerian yang begitu terasa kurang serta pemanfaatan scare jump yang buruk. Sekilse apapun scare jump, kisah horor dengan hantu tetap membutuhkan satu-dua momen kejut yang bagus, dan AHS demam isu pertama tidak mempunyai itu. Bahkan aneka macam teaser tiap episode dan opening-nya jauh lebih creepy dan menyeramkan. Ya, opening dengan foto-foto bau tanah dan musik mengerikan garapan Kyle Cooper itu memang mengerikan dan sering saya skip bukan hanya untuk mempersingkat durasi tapi alasannya ketidak beranian saya untuk melihatnya. Saya juga kurang suka dengan episode terakhirnya yang lebih extended epilogue daripada finale yang seharusnya memperlihatkan puncak dan konklusi memuaskan. Saya juga merasa episode itu bagaikan setup untuk demam isu selanjutnya. Hal yang masuk akal untuk sebuah serial televisi, tapi AHS ialah serial dengan kisah yang berbeda tiap musim, jadi hal ibarat itu tidak perlu dilakukan. Tapi toh adegan terakhir yang memunculkan sang "antichrist" cukup memuaskan. Mungkin demam isu pertama ini tidak sebagus ekspektasi saya sesudah melihat rangkuman teaser-nya, tapi American Horror Story: Murder House masih sebuah tontonan yang menyenangkan dengan kedua belas epsiode yang selalu tampil konsisten. Dengan bahagia hati saya akan melanjutkan ke demam isu keduanya, Asylum.
Belum ada Komentar untuk "American Horror Story - Murder House (2011)"
Posting Komentar