Hijab (2015)
Hanung Bramantyo kembali menggarap film dengan tema "favoritnya" yakni religi. Tapi tidak ibarat film religi lainnya dari Hanung, Hijab merupakan suatu perjuangan yang berbeda. Film ini ialah perjuangan sang sutradara untuk memaparkan fenomena yang tengah menjadi animo dikala ini dalam sebuah kemasan komedi ringan. Walaupun ringan, berkat kepekaan Hanung film ini tetap berpotensi menjadikan kontroversi khususnya bagi mereka yang berpola pikir kaku sebab kejujurannya bertutur dan menyindir. Film ini punya empat abjad yang menjadi sentral cerita, dimana tiga dari mereka menggunakan hijab dengan alasan berbeda-beda. Bia (Carissa Putri) ialah seorang desainer yang menggunakan jilbab sebab merasa salah kostum dalam suatu pengajian yang tidak sengaja ia datangi. Di hari pengajian berikutnya, Bia pun tiba dengan jilbab dan malah membuat kehebohan sehingga dikenal luas sebagai "Gadis Hidayah". Sari (Zaskia Adya Mecca) dulunya seorang pedagang sebelum menikah dengan laki-laki keturunan Arab yang kolot dan memaksanya untuk tinggal di rumah, hidup menuruti syari'at Islam.
Sedangkan Tata (Tika Bravani) yang dulunya ialah aktifis wanita, menggunakan jilbab untuk menutupi kebotakan di rambutnya. Diantara keempat sahabat tersebut hanya Anin (Natasha Rizki) yang tidak menggunakan jilbab dan belum menikah. Layaknya ibu-ibu simpel berduit lainnya, mereka berempat pun selalu mengadakan arisan secara rutin, dimana para suami dan pacar mereka turut hadir disana. Suatu hari keempat perempuan tersebut merasa terganggu dengan komentar dari suami Sari yang menyampaikan bahwa arisan itu bergotong-royong arisan para suami, sebab uang yang digunakan semua berasal dari mereka. Dari situlah tercetus inspirasi diantara para istri untuk memulai perjuangan berjualan fashion hijab. Awalnya dimulai hanya sebagai sebuah perjuangan sampingan dengan skala kecil, usang kelamaan perjuangan itu berkembang semakin besar dengan berdirinya sebuah butik berjulukan "Meccanism" yang laris keras di pasaran. Tapi kesuksesan di bidang bisnis itu ternyata tidak berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangga mereka yang justru memburuk dikala kesuksesan butik semakin tinggi.
Hijab hadir pada waktu yang tepat, disaat fenomena yang diangkat masih menjadi sebuah warta sosial hangat. Hanung sendiri menandakan bahwa ia tidak kehilangan kepekaan dan keberaniannya untuk menyindir walaupun fil ini dikemas dalam komedi yang sangat kental. Disaat saya menyebut kadar komedinya begitu kental, itu bukanlah suatu hiperbola. Hanung Bramantyo memang mengemas hampir semua aspek dalam filmnya sebagai komedi, mulai dari alasan setiap abjad mengenakan jilbab, isu-isu sosial yang terjadi berkaitan dengan hijab dan unsur religi lainnya, hingga segala konflik antara suami-istri ialah komedi. Hanya sekali waktu film ini menyelipkan drama serius dalam porsi penceritaannya. Mungkin belum hingga pada tingkatan satir cerdas, tapi banyak sekali ledekannya cukup berhasil mewakili fenomena yang ada. Saya suka bagaimana Hanung memasukkan hampir semua warta berkaitan perihal fenomena hijab, sehingga bagi penonton yang juga merasa "resah" dengan hal itu dapat merasa terwakili untuk menunjukkan sindiran dan kesudahannya tertawa lepas menikmati olok-olok itu.
Tapi olok-olok yang hadir pun tidak terasa murahan. Hijab tidak serta merta menjadikan abjad yang disindir sebagai sosok bodoh. Disitulah unsur satirnya terasa paling kuat, disaat Hanung menjadikan empat abjad istri dan empat abjad suami sebagai sarana menyindir tanpa harus merendahkan orang-orang dengan karakterisasi semacam itu. Apa yang dilakukannya disini ialah cerminan tepat dari segala realita yang ada. Hanung tidak berusaha menjelek-jelekkan pihak tertentu, tidak pula melaksanakan olok-olokan hiperbolis yang dibuat-buat, melainkan mengajak penonton mentertawakan mereka semua ibarat apa adanya realita. Makara kemungkinan besar mereka yang merasa film ini menjelek-jelekkan gambaran perempuan berjilbab ialah mereka yang tidak tahu atau tidak mau tahu terhadap realita dikala ini. Jika ingin menjelek-jelekkan, untuk apa Hanung repot-repot menunjukkan sebuah happy ending diluar fakta bahwa konklusinya terasa menggampangkan dan amat klise dalam pengemasan. Di samping semua sindirannya, Hijab adalah tontonan ringan yang amat menyenangkan. Komedinya mungkin tidak 100% berhasil, tapi itu ialah suatu hal yang wajar. Humor yang muncul mungkin tidaklah timeless, tapi sebagai tontonan sekali waktu, humor tersebut sukses besar membuat saya tertawa terpingkal-pingkal.
Bukan saja sebab timing sempurna dari Hanung tapi juga berkat pembawaan para pemainnya yang bagus. Mungkin bukan sajian akting luar biasa dari mereka, tapi terang masing-masing ditempatkan pada kepingan yang cocok dan porsi yang sesuai. Zaskia dengan celetukan-celetukannya macam "anjrit" atau "onta sahara" berhasil memancing tawa meski itu juga tidak dapat lepas dari pengemasan pandai Hanung. Tika Bravani dengan dengan verbal dan cara bertuturnya berhasil menunjukkan rangkaian adegan terlucu dalam film ini dikala pembukaan butik Meccanism. Tapi tugas kecil mengesankan ialah Epy Kusnandar yang hanya menunjukkan totalitas bintang film dalam menjiwai naskah lewat sebuah monolog pendek perihal sang istri. Komedinya mungkin sering menutupi pesan yang coba disampaikan, tapi film ini begitu berkesan sebab sudah usang saya tidak dibentuk tertawa lepas menonton film Indonesia di bioskop. Ringan dan menyenangkan berkat komedi dan gambar-gambar penuh warna yang sudah di-tease oleh posternya yang amat menarik itu. Persempahan terbaik Hanung Bramantyo semenjak ? empat tahun lalu.
Belum ada Komentar untuk "Hijab (2015)"
Posting Komentar