Dear White People (2014)

I have a dream that one day this nation will rise up and live out the true meaning of it's creed: 'We hold these truths to be self-evident: that all men are created equal
- Martin Luther King Jr. -

Kalimat diatas ialah quote terkenal dari Martin Luther King Jr., seorang laki-laki luar biasa yang berjuang demi kesetaraan. Tentu saja ketika itu yang menjadi fokus ialah kesetaraan ras dimana kaum kulit gelap menerima perlakuan yang tidak adil, tapi bergotong-royong esensi dari kalimat bahkan perjuangannya secara keseluruhan hanya satu: kesetaraan. Kesetaraan tidak peduli dalam hal ras, agama, gender, apapun. Rasisme (seperti apapun bentuknya) ialah hal wangi yang sepantasnya dilawan. Tapi pernahkah anda berpikir bahwa usaha melawan rasisme, usaha membela kaum tertindas/marginal terkadang cukup "kelewatan"? Kita sudah hingga pada kurun dimana bulat setan tercipta. Sebuah bulat perangkap yang membuat perlawanan terhadap rasisme dan penindasan hak asasi justru membuat rasisme serta penindasan baru? Pemikiran itu sering terlintas di benak saya, dan Dear White People garapan Justrin Simien ini amat menjawab kegundahan tersebut.

Setting film ada di universitas Winchester dengan beberapa abjad utama yang memikul permasalahan masing-masing. Sam White (Tessa Thompson) ialah gadis berkulit hitam yang begitu lantang menyuarakan perlawanan terhadap penindasan kaum kulit putih. Dia mempunyai program radio berjudul Dear White People dan buku dan sebuah buku yang membahas perihal tersebut. Tapi disisi lain Sam justru mempunyai pacar laki-laki kulit putih. Suatu hari ia memenangkan pemilihan presiden asrama Armstrong/Parker, mengalahkan unggulan berjulukan Troy (Brandon P. Bell). Troy sendiri ialah mantan pacar Sam yang juga anak dekan kampus. Meski bercita-cita menjadi komedian, ia terpaksa mengikuti keinginan sang ayah untuk menjadi pengacara sekaligus aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Kemudian ada Coco (Teyonah Parris) yang dengan video blog miliknya bercita-cita menjadi aktris reality show. Tapi impian itu menerima ganjalan ketika pihak televisi lebih tertarik mengangkat dongeng Sam sebagai presiden Armstrong/Parker. Terakhir ada Lionel (Tyler James Williams), seorang gay yang masih belum menemukan daerah yang cocok dan mendapatkan dirinya. Kesempatan tiba ketika koran terbesar universitas menawarinya menuis artikel wacana kehidupan kulit gelap di Winchester.
Film ini menyajikan salah satu pengalaman menonton paling "sulit" bagi saya. Bukan alasannya ialah filmnya jelek, alasannya ialah justru kebalikannya, film ini amat sukses mewakili kegelisahan yang saya rasakan. Karena itulah perasaan ini berhasil diaduk-aduk lewat nuansa satirnya yang kental. Dear White People merupakan sajian yang cerdas alasannya ialah caranya yang elegan dalam menyindir sekaligus keberaniannya untuk bertutur secara jujur wacana gosip sosial yang terjadi. Sangat banyak film yang mengangkat tema wacana kaum kulit hitam. Kebanyakan mengangkat usaha melawan rasisme, sebagian ialah blaxploitation yang menyerupai judulnya mengeksploitasi kultur mereka, dan sebagian lagi mengakibatkan kultur yang ada sebagai komedi. Tapi sangat jarang yang menyerupai film ini, berani blak-blakan menyuarakan kebingungan dan pertanyaan wacana perbedaan ras. Apakah yang dilakukan Sam dan teman-temannya merupakan perjuangan? Atau justru sebaliknya, hal itu ialah the merk new racism? Mereka merasa bahwa semua orang kulit putih memperlihatkan stereotip pada kaum kulit hitam. Bukankah pernyataan itu sendiri berupa stereotip? Mereka mengusir, bahkan melempari orang kulit putih alasannya ialah berkumpul di asrama kulit hitam. Bukankah itu juga penindasan?
Bagi saya sendiri apapun bentuknya, entah itu dari lebih banyak didominasi pada minoritas atau sebaliknya rasialisme tidak sanggup dibenarkan. Perjuangan minoritas ialah wajib hukumnya, tapi bukan berarti kau sanggup bertindah seenaknya pada mayoritas. Dengan menyerupai itu sama saja kau menjadi orang yang kau benci. Mungkin bukan daerah saya untuk menuturkan kegundahan akan perlawanan rasialisme yang kebablasan itu. Mungkin akan ada banyak orang berseru "tahu apa kamu? Orang lebih banyak didominasi tidak pernah tahu rasanya menjadi minoritas!" Saya tinggal di Jawa, bersuku Jawa dan beragama Islam, dimana itu otomatis mengakibatkan saya lebih banyak didominasi (dalam hal suku dan agama). Apalagi membahas kaum kuit hitam yang sudah beratus tahun menerima perlakuan semena-mena. Tapi kesetaraan bukan semata-mata siapa yang mayor dan siapa yang minor. Itu ialah wacana menjadi insan yang tidak punya perbedaan satu sama lain. Karena itulah dalam pidatonya, Martin Luther King Jr. lebih sering menekankan pada kata "equal" bukan "black people" atau "white people". Untuk hal ini, Dear White People menyajikan satirnya dengan begitu sempurna.
Tapi disisi lain, film ini juga tidak menutupi fakta bahwa rasialisme dari kaum kulit putih memang masih sering terjadi bahkan hingga pada tingkat yang kelewatan. Hal itu menandakan bahwa Justin Simien sama sekali tidak memihak dalam film ini. Filmnya jujur dan gamblang dalam menungkap segala permasalahan, alasannya ialah menyerupai yang dikatakan Simien sendiri, film ini tidak coba mengangkat rasialisme dan siapa yang rasis, tapi lebih kepada identitas. Identitas siapa diri kita, dan bagaimana intensi seseorang untuk memandang orang lain menurut ras mereka. Hal ini amat relevan dengan kondisi sosial ketika ini, dimana setiap orang niscaya pernah melaksanakan itu. Mungkin tidak semuanya bertujuan untuk rasis, tapi niscaya ada anggapan/stereotip yang hadir ketika kita melihat ras tertentu. Stereotip yang akan menggiring kita untuk memperlihatkan cap pada seseorang, terlepas dari benar atau tidaknya cap tersebut. Pada jadinya film ini memang tidak memperlihatkan balasan dari pertanyaan wacana "rasis atau tidak segala tindakan yang hadir". Apakah dengan menyerupai itu akan mengurangi kualitas filmnya. Bagi saya tidak.

Ada film yang harus memperlihatkan balasan atas permasalahan yang dilontarkan, tapi ada yang tidak. Dear White People masuk pada kategori yang kedua. Memberikan balasan justru beresiko membuatnya terasa memihak, suatu hal yang bakal mengkhianati esensi filmnya. Bagaimana mungkin film ini memperlihatkan balasan disaat masyarakat sendiri masih belum sanggup menemukan balasan tersebut? Tujuannya ialah untuk memaparkan suatu kasus, membiarkan penonton merenungkan semuanya, bukan menyuapi mereka dengan jawaban. Keempat abjad utama yang saya sebut diatas juga punya kesamaan sebagai benang mereha atas intisari film. Mereka sama-sama mencari identitas, jalan hidup, dan daerah yang sesuai bagi mereka. Film ini akan membenturkan persepsi anda, membuat hati dan rasa bergejolak penuh dilema. Bahkan bagi penonton menyerupai saya yang sudah menyimpan keresahan yang sama pun, Dear White People masih berulang kali "menampar" dengan fakta-fakta yang ada. Berani, jujur, lugas dan tidak memihak. Inilah cerminan tepat yang apa adanya dari bagaimana cara pandang masyarakat kita ketika ini wacana ras dan identitas.

Belum ada Komentar untuk "Dear White People (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel