We Are Still Here (2015)

Memang benar bila industri horor mainstream di Hollywood sering terjebak dalam klise membosankan. Banyak yang berlomba membuat The next "Insidious" lewat sajian haunted house mengandalkan scare jump berjubel lengkap dengan iringan musik memekakkan telinga. Maka tidak mengherankan dikala sineas horor independent atau dari luar Hollywood berusaha menunjukkan tontonan berbeda meski bermodalkan bujet lebih rendah. Meski bukan yang pertama, tapi "The Babadook" seolah membuka mata publik bahwa horor rumah hantu sanggup menjauh dari kesan murahan berkat sentuhan drama besar lengan berkuasa sekaligus penampakan yang tidak asal muncul. Sudah banyak sutradara mengambil langkah serupa, termasuk Ted Geoghegan dalam "We Are Still Here" yang berfokus pada psikis karakter, scare jump seperlunya, hingga alur lambat untuk membangun atmosfer. Geoghegan berusaha keras membuat filmnya ibarat itu. Terlalu keras malah, sehingga sering berakhir bagai parodi untuk dirinya sendiri.

Geoghegan ingin membuat horor yang cerdas lengkap dengan sentuhan drama kuat. Untuk itu dibuatlah aksara Anne (Barbara Crampton) bergulat dengan depresi sejak final hidup puteranya akhir kecelakaan dua bulan lalu. Bersama sang suami, Paul (Andrew Sensenig) ia pindah ke rumah gres di kota kecil, berharap sanggup memulai kehidupan baru, melupakan sedih yang dialami. Terdengar familiar? Tentu saja, sebab yang dilakukan Geoghegan hanya mengambil template standar film haunted house. Saya yakin Geoghegan sengaja mengambil langkah klise untuk kemudian memberi sentuhan disana-sini agar filmnya nampak "lebih pintar". Apa yang terjadi berikutnya bisa ditebak. Anne merasa ada yang tidak beres, Paul yang skeptis, hingga kehadiran pasangan May (Lisa Marie) dan Jacob (Larry Fessenden) sebagai "pengusir hantu". Seperti yang sudah kita semua tahu, ada diam-diam kelam tersimpan dalam rumah tersebut. 
Dengan konflik yang bersinggungan dengan depresi, tone kelam, serta alur lambat pada penuturannya, "We Are Still Here" terang horor yang diniati untuk menjadi serius. Bukan parodi, bukan pula sajian meta. Sehingga berujung mengganggu dikala Geoghegan seolah membentangkan rumusan titik-titik destinasi yang harus dilalui suatu horor rumah hantu untuk menjadi klise. Film ini secara bernafsu bergerak dari satu poin menuju poin berikutnya, seolah merupakan kewajiban untuk melewati semuanya. Satu aksara skeptis? check. Pihak ketiga yang berkunjung untuk menceritakan diam-diam kelam rumah? check. Kedatangan pengusir hantu? check. Saya tidak mencicipi adanya niatan sebagai meta atau sindiran terhdap hal-hal di atas, sehingga progresi alur film malah ibarat parodi, hanya saja unintentionally parody. Kesan itu tidak menjadi soal bila filmnya memang sengaja menempatkan diri sebagai "horor bodoh". Masalahnya, Geoghegan begitu ingin filmnya ini terkesan berbobot.
Tengok alur lambat dan banyaknya adegan menampilkan kesunyian di daerah bersalju yang menjadi setting. Ted Geoghegan memaksakan diri membuat arthouse horror. Hal itu tentu saja tidak sinkron dengan beberapa kebodohan yang telah saya sebutkan. Belum lagi kegagalan membangun drama kuat. Bukan saja eksplorasi naskah Geoghegan yang dangkal, tapi akting Barbara Crampton sebagai seorang ibu yang depresi akhir kehilangan sang anak pun begitu lemah. Ekspresi tak meyakinkan hingga curahan emosi setengah-setengah yakni penyebabnya. Dinamika emosi film pun terasa datar. Pilihan cara bertutur Geoghegan itu ikut diperparah dengan kegagalan membuat kengerian sebelum third act. Beberapa momen bisa membuat kaget, tapi sisanya berlalu begitu saja. Bahkan dikala para penunggu rumah dengan tampilan yang sejatinya mengerikan itu mulai menghadirkan teror eksplisit pun kengerian masih nihil. 

"We Are Still Here" untungnya masih (sedikit) terselamatkan oleh rangkaian titik puncak mengasyikkan. Bergalon-galon darah tumpah, kepala demi kepala pecah, gore mendadak hingga pada puncaknya, hingga banyak sekali kegilaan lain yang sama sekali tidak terduga akan hadir. Saya tidak menduganya, sebab sehabis tampil serius sepanjang film, siapa sangka Geoghegan menyimpan titik puncak ala b-movie seperti ini. Sangat mengasyikkan, tapi disaat bersamaan turut menguatkan inkonsistensi tone. Klimaks itu membuat filmnya lebih hidup dan menghibur, tapi tak hingga membawanya ke tingkatan positif. Terdapat twist menarik dalam narasinya, tapi lagi-lagi ketidakmampuan Geoghegan memaksimalkannya membuat kejutan tersebut ikut berakhir sebagai perjuangan agar nampak cerdas yang justru berakhir bodoh. "We Are Still Here" punya potensi menjadi menyenangkan, tapi jatuh sebagai horor pretensius yang tak menyadari kebodohannya.

Belum ada Komentar untuk "We Are Still Here (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel