The Peanuts Movie (2015)

Judul "The Peanuts Movie" mungkin tidak familiar di indera pendengaran banyak orang, tapi lain halnya dengan Snoopy. Bahkan ketika mengantri, penjaga tiket kebingungan dan gres paham sesudah saya berkata "film Snoopy mas". Tidak heran ketika di beberapa negara termasuk Indonesia, film ini dirilis dengan judul "Snoopy and Charlie Brown: The Peanuts Movie". Sejarah abjad Snoopy dan Charlie Brown memang sudahlah panjang. Sejak pertama kali muncul pada 2 Oktober 1950 hingga 13 Februari 2000, comic strip "Peanuts" karya Charles M. Schulz tercatat sudah mempublikasikan 17.897 cerita, yang menjadikannya sebagai "the longest story ever told by one human being". Untuk layar lebar, film "Bon Voyage, Charlie Brown (and Don't Come Back!!) yang rilis pada 1980 merupakan pembiasaan keempat sekaligus terakhir sebelum alhasil dibangkitkan kembali tahun ini. Bagi penggemar, "The Peanuts Movie" akan menjadi nostalgia manis, sedangkan untuk penonton awam film ini sanggup dipakai sebagai perkenalan tepat bagi kisahnya.

Filmnya dibuka dengan perkenalan pada sosok Charlie Brown, bocah (nyaris) botak dengan baju kuning yang telah menjadi ciri khas. Charlie Brown yakni anak yang kurang percaya diri dan sering dianggap pecundang oleh teman-temannya alasannya yakni tidak bisa melaksanakan banyak hal, menyerupai menerbangkan layang-layang, bermain baseball, atau menendang bola. Dengan kepribadian serta image semacam itu, tentu saja timbul problem ketika Charlie Brown jatuh hati pada gadis kecil berambut merah yang merupakan murid pindahan sekaligus tetangga barunya. Berbagai perjuangan ditempuh Charlie Brown untuk membangun kesan pertama yang nyata di depan gadis tersebut, menyerupai berusaha mengikuti lomba talenta hingga berlatih menari. Semua itu ia lakukan dengan pemberian Snoopy, anjing peliharaannya yang banyak menghabiskan waktu menulis kisah perihal Perang Dunia I memakai mesin ketik miliknya.
Sebagai film animasi, impresi pertama niscaya berasal dari visual, sebelum lalu masuk ke aspek lebih jauh menyerupai kisah maupun karakter. "The Peanuts Movie" membawa abjad buatan Schulz bertransformasi dari 2D menuju 3D. Pastinya perubahan ini bertujuan untuk menggaet penonton baru, alasannya yakni semenarik apapun visual 2 dimensinya, tetap akan terlihat ketinggalan zaman bagi belum dewasa ataupun remaja zaman sekarang. Konversinya sendiri berhasil, serupa dengan yang terjadi pada "Stand by Me, Doraemon", perubahan kearah 3 dimensi dilakukan tanpa merusak desain esensial abjad yang telah menempel kuat. Lagipula masih ada nuansa 2D yang dipertahankan dalam visualisasi karakternya. Saya menyukai penggunaan warna cerah nan tajamnya, juga beberapa sequence fantasi yang penuh imaji. "The Peanuts Movie" sudah mencuri perhatian mata sedari momen pertama gambarnya menampakkan diri.
Ceritanya sederhana dan tidak banyak perombakan pada formula klasik Schulz. Fokus pada Charie Brown masih diisi tema mengenai kekecewaan tanggapan kegagalan. Snoopy masihlah anjing dengan kretifitas melebihi sang majikan meski tingkat absurditas sedikit diturunkan. Kesederhanaan kisah bukan merupakan kekurangan, melainkan keunggulan, alasannya yakni simplicity-nya bukan bentuk kemalasan. Meski ber-setting dalam dunia dimana tak ada satupun orang pintar balig cukup akal (mereka hanya diperdengarkan "suaranya"), penonton remaja dan pintar balig cukup akal bakal menemukan kedekatan dengan kisahnya. Usaha seorang pecundang untuk mendapat yang ia inginkan serta romansa "malu-malu kucing" cukup untuk menghadirkan suasana manis. Sedangkan bagi anak-anak, pesan untuk mengutamakan kebaikan daripada ego bisa dituturkan dengan efektif. Karakter Charlie Brown yang penuh kebaikan pun memudahkan penonton untuk mendukungnya menggoda si gadis berambut merah.

"The Peanuts Movie" turut berhasil menyeimbangkan komedi slapstick penuh keseruan bagi belum dewasa menyerupai ketika Charlie Brown berusaha mengejar layang-layang dengan dagelan yang lebih pintar balig cukup akal semisal ketika Peppermint Patty dan Charlie Brown salah mendengar "War & Peace" karya Leo Tolstoy sebagai "Leo's Toy Store" karya Warren Peace. Kelebihan terbesar film ini memang terletak pada keseimbangannya dalam menghibur penonton dari banyak sekali kalangan. Disaat Pixar melaksanakan pendekatan yang keliru lewat "The Good Dinosaur", tidak akan terasa mengherankan kalau pada alhasil "The Peanuts Movie" bakal mendapat kesuksesan yang jauh lebih besar. It's sweet. It's funny. It's very entertaining.

Belum ada Komentar untuk "The Peanuts Movie (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel