Mommy (2014)

Baru beberapa detik film ini dimulai saya menekan tombol pause dan mengecek apakah pengaturan aspect ratio pada pemutar video saya dalam posisi normal. Sampai balasannya saya sadar bahwa film karya Xavier Dolan ini memang dibentuk dengan rasio gambar 1:1 yang menghasilkan gambar berbentuk kotak. Anda pernah mengambil video menggunakan kamera handphone secara vertikal? Kurang lebih ibarat itulah bentuk gambar film ini. Lalu apa maksud penggunaan rasio tersebut? Cerita film akan memberitahukan alasannya. Seperti judulnya, Mommy berkisah perihal seorang ibu berstatus single parent bernama Diane (Anne Dorval) yang harus merawat puteranya yang berusia 16 tahun dan mengidap ADHD, Steve (Antoine-Olivier Pilon). Steve memang sulit diatur. Dia tidak sanggup diam, emosinya naik-turun, bahkan sering berbuat tindak kekerasan termasuk membuat kebakaran di asrama.

Dengan kondisi keuangan yang serba pas-pasan, kita tahu betapa beratnya beban Diane. Kehidupan berat yang menghimpit, tekanan dari banyak hal, tinggal di sebuah rumah kecil. Baik secara fisik maupun psikis, kehidupan Diane dan Steve (khususnya Diane) menghadirkan kesan klaustrofobik. Kesan itulah yang coba didukung oleh pemilihan rasio gambar yang sempit. Rasa sesak, sempit, penuh batasan semakin berpengaruh dihadirkan berkat aspect ratio tersebut. Terdapat dua momen dimana gambarnya sempat melebar menjadi normal, dan keduanya ada dikala dimana impian serta kebahagiaan mendatangi kehidupan karakternya. Permainana ukuran gambar terang hal sederhana, tapi nyatanya begitu tepat dalam mewakili perasaan yang dimiliki kisahnya.
Dengan durasi hampir 140 menit, Mommy menitikberatkan pada eksplorasi abjad serta interaksi diantara mereka. Meski berstatus sebagai drama perihal kehidupan berat seorang ibu yang harus mengurus anak penderita disorder psikologis, film ini tidak mengambil jalan melankolis. Diane terang bukan ibu/wanita yang akan dijadikan sosok panutan oleh masyarakat luas. Dia berbicara kasar, doyan membentak, merokok, bahkan tidak segan menarik hati bosnya dengan seks untuk sanggup menerima pekerjaan. Saling teriak pun jamak terjadi dalam keseharian Diane dan Steve. Bahkan di satu kesempatan, Steve mencekik sang ibu yang ia balas dengan memukulkan sebuah pigura pada kepala anaknya. Sekilas nampak ibarat kekerabatan yang destruktif, tapi rasa sayang serta keterikatan keduanya justru sanggup melebihi kekerabatan ibu-anak yang kita anggap normal. Saling berkorban sering mereka lakukan, member sentuhan kehangatan pada dramanya.

Saya suka dinamika Diane-Steve. Pertengkaran yang silih berganti dengan ungkapan kasih sayang menghidupkan kekerabatan mereka. Perasaan hangat dan pedih pun silih berganti saya rasakan. Eksploarasi abjad Steve sendiri lebih menarik lagi. Melihat bagaimana cukup umur dengan ADHD ini berusaha melindungi sang ibu tidak jarang terasa menyentuh. Semakin kompleks disaat Xavier Dolan menyiratkan terjadinya Oedipus Complex pada sosok Steve dengan beberapa adegan yang cukup intim ibarat tarian atau ciuman. Ini bukan sekedar gimmick atau sentuhan pembangkang dari Dolan, tapi juga memperkuat kesan rumitnya kekerabatan ibu-anak ini. Semakin rumit, tapi disaat bersamaan diimbangi pula dengan keberhasilan meyakinkan penonton bahwa mereka saling menyayangi. 
Bicara soal interaksi karakter, kehadiran guru perempuan gagap yang juga tetangga Diane, Kyla (Suzanne Clement) membuatnya makin dinamis. Terjadi kekerabatan tiga arah antar tiga sosok berbeda. Steve yaitu orang yang meluapkan segala perasaannya. Berbanding terbalik, Kyla menyimpan semua perasaan dan permasalahan yang berkaitan dengan stress berat masa lalu. Sedangkan Diane yaitu penghubung yang mendapatkan sekaligus meluapkan permasalahan. Kombinasi ketiganya begitu menarik. Masing-masing punya permasalahan, dan menemukan obat lewat kebersamaan ketiganya. 

Mommy adalah film kelima dari Xavier Dolan yang gres berusia 26 tahun. Tapi dalam usia yang begitu muda ia sudah secara rutin menghadirkan film yang tidak hanya terasa matang secara konten tapi juga begitu solid berdiri. Pada film ini, Dolan berhasi merangkum setiap adegan menjadi rangkaian momen yang berpengaruh secara emosional sekaligus menjadi observasi mendalam terhadap tema sekaligus karakter. Tapi tidak perlu sang sutradara ini terlalu mendramatisir untuk membuat kesan emosional. Sebagai pola sebuah montage mendekati tamat yang dikemas lewat editing cepat itu terasa begitu menyentuh. Sebelum penonton dilempar kembali pada kenyataan, kemudian sebuah twist yang bekerjsama sudah sanggup ditebak di awal film tapi berhubung saya sudah terlarut dalam kisah plus timing yang mendadak, imbas kejut pun begitu terasa. Saya suka penggarapannya, saya juga suka bagaimana film ini lebih banyak menggunakan lagu terkenal ibarat Oasis (my favorite band) dan Lana Del Rey (my favorite singer) daripada scoring sederhana ala drama "kecil". Secara keseluruhan Mommy bisa menunjukkan tekanan hidup tanpa perlu depresif atau melankolis.

Belum ada Komentar untuk "Mommy (2014)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel