Inside Out (2015)

Seberapa jauh suatu film bisa bertutur? Sebagai media eksplorasi imajinasi, kita sudah melihat kemampuan tanpa batas dari film. Luar angkasa luas hingga dunia ajaib yang tidak terbayangkan sebelumnya bisa dijelajahi. Namun kesulitan terbesar justru terletak pada penuturan aspek hidup yang jauh lebih sederhana. Menjawab pertanyaan-pertanyaan sederhana yang tak terpikirkan alasannya yaitu kita anggap sebagai sebuah rutinitas dan kewajaran justru punya tingkat kesulitan lebih tinggi. Melalui Inside Out, Pixar coba melakukannya sambil membawa misi lain, yakni mengembalikan reputasi mereka sebagai studio animasi nomor satu yang dalam empat tahun terakhir seolah mulai luntur. 

Apa yang hilang dari Pixar? Jawabannya yaitu "emosi". Rasa haru yang selalu muncul tanpa pernah lupa untuk bersenang-senang tidak lagi hadir dalam tiga film terakhir mereka. Brave sedikit memperlihatkan titik terang, namun tidak sekuat karya-karya terbaik studio ini. Karena itu Inside Out yang diberi label "major emotion picture" merupakan momentum tepat untuk kembali pada performa terbaik mereka. 

Bagaimana sistematika yang terjadi dalam diri insan ketika sebuah emosi muncul ke permukaan? Bagaimana kepribadiaan seseorang bisa terbentuk? Bagaimana sebuah memori bisa muncul dan hilang? Berbagai pertanyaan itu coba dijawab oleh film ini. Seperti yang telah saya singgung di atas, mungkin secara umum dikuasai dari kita tidak pernah mempertanyakan hal-hal tersebut alasannya yaitu menganggapnya sebagai hal alamiah. Inside Out memberikan jawaban atas semua itu dengan cara yang tidak hanya intelektual tapi juga imajinatif. Penonton diajak melihat isi kepala seorang gadis berusia 11 tahun berjulukan Riley yang diisi oleh lima emosi: Joy, Sadness, Anger, Fear dan Disgust. Kelimanya bertugas untuk menggerakkan respon yang diberikan oleh Riley terhadap banyak sekali situasi serta mengatur kepingan-kepingan memori yang ia simpan.
Dunia di dalam kepala Riley menjadi bukti kuatnya kreatifitas sutradara Pete Docter dalam memvisualisasikan film ini. Kelima emosi tinggal di sebuah control room dimana mereka memakai alat kontrol untuk mengatur respon emosi mana yang akan dimunculkan Riley. Di luar markas itu masih terhampar dunia luas, ibarat pulau-pulau yang mewakili tiap sisi kepribadian Riley, labirin berisikan jutaan long-term memory, hingga sebuah jurang gelap kawasan dimana ingatan yang telah memudar balasannya musnah dan dilupakan. Sekilas, semua itu hanya dunia fantasi yang diciptakan sebagai hiasan visual, tapi sesungguhnya tiap-tiap aspeknya merupakan representasi dari eksplorasi tema film ini. Bagi penonton anak, dunia dalam Inside Out akan terlihat menarik bagi mata, tapi saya selaku penonton sampaumur jauh lebih terpukau dengan kejeniusan Docter mewujudkan tema yang sekilas terdengar "berat" itu menjadi sajian animasi semua umur.

Meski diisi oleh dunia fantasi semacam itu, Inside Out tetap terasa sederhana dalam menuturkan dongeng yang sesungguhnya mempunyai konsep tinggi. Aspek-aspek mengenai isi pikiran insan dikupas tuntas disini. Tapi daripada menjadi sebuah pemaparan rumit wacana subconscious macam Paprika-nya Satoshi Kon, film ini menentukan untuk menjembatani konsepnya dengan kisah wacana seorang gadis kecil yang harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, konflik keluarga, serta bertumbuh menuju kehidupan yang lebih kompleks. Tapi semua kesederhanaan itu begitu mencengkeram disaat Inside Out berhasil menciptakan saya tersentuh oleh caranya bermain-main dengan kenangan penuh perasaan. Air mata beberapa kali menetes ketika saya dibawa mengingat kembali banyak sekali memori yang telah lalu, entah itu menyenangkan maupun menyedihkan. 
Seperti kenangan pula cara film ini berjalan dengan begitu dinamis. Tidak hanya menghadirkan air mata, tawa lepas pun turut berhasil dimunculkan. Gaya melucu film ini nyatanya secerdas caranya mengeksplorasi tema. Kelucuan tidaklah bersumber dari agresi konyol, melainkan berkat interaksi antar abjad yang unik dan kuat. Kembali memanfaatkan animasi sebagai "genre tanpa batas", kelima karakternya tidak hanya punya ciri kuat, namun bisa dibentuk memunculkan sikap ajaib guna memancing tawa penonton. Interaksi antara lima sosok yang berbeda jauh itu pun menghasilkan korelasi dinamis. Konklusi yang pun diberikan begitu manis, ketika saya dibentuk teringat akan keindahan dikala masing-masing emosi saling mengisi, memperlihatkan kelengkapan dalam diri kita ketika menatap keping demi keping memori.

Mulai ketika filmya masih berjalan, perjalanan pulang dari bioskop, hingga ketika tengah menuliskan review ini, ada haru dan suasana melankolis yang saya rasakan. Hal itu alasannya yaitu saya dibawa terlempar lagi pada keping-keping memori masa kemudian yang sempat begitu membekas di hati. Perasaan senang dan duka rasanya campur aduk, sama ibarat bagaimana Joy dan Sadness berinteraksi dalam film ini. Inside Out membuat saya memahami/teringat lagi bagaimana semua perasaan tersebut bisa hadir. Ya, hingga sejauh itulah kekuatan bertutur suatu film.

Belum ada Komentar untuk "Inside Out (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel