Battle Of Surabaya (2015)

"Sebuah angin segar", "sajian yang berbeda" dan masih banyak lagi sebutan-sebutan lain mengiringi Battle of Surabaya karya sutradara Aryanto Yuniawan bahkan jauh hari sebelum filmnya rilis. Sebagai tontonan animasi yang notabene masih amat jarang tampil di perfilman tanah air, buzz untuk film ini sudah begitu kencang bahkan semenjak setahun lalu. Ditambah partisipasinya di aneka macam bazar luar negeri, makin banyak orang menantikan Battle of Surabaya, tidak terkecuali aku sendiri. 

Saya eksklusif terpikat dengan gaya animasinya sedari film dimulai. Daripada memaksakan diri memakai animasi tiga dimensi dengan biaya rendah, style dua dimensi ala Ghibli menjadi pilihan Aryanto Yuniawan untuk mengemas filmnya. Hasilnya setimpal, alasannya yaitu baik desain karakter, penggambaran lokasi, hingga detail lainnya terpampang manis di layar. Tentu saja masih banyak rasa "kasar" di pergerakan gambarnya, tapi hal itu sanggup aku maafkan. Dilihat dari visualnya, aku cukup yakin untuk menyebut film ini punya kualitas animasi terbaik diantara (sedikit) film animasi Indonesia lainnya. Tapi apakah ini film yang bagus? 

Sebagai media visual, aspek paling penting dalam film tentu saja terletak pada gambarnya. Bagaimana gambar menggerakkan dongeng hingga mempermainkan mood menjadi tolak ukur penting. Tanpa kedua poin itu pun, visual manis tidak jarang sanggup menyelamatkan penceritaan yang buruk. Jika evaluasi itu diaplikasikan pada kondisi perfilman Indonesia yang minim animasi, maka Battle of Surabaya sudah layak disebut sebagai "angin segar". Tapi muncul pertanyaan, "manakah yang lebih diharapkan perfilman kita ketika ini? Film animasi atau film dengan naskah bagus?" Mana yang lebih urgent? Saya pun menentukan yang kedua, atau dengan kata lain menempatkan film ini sebagai tontonan yang mengecewakan.
Selain alasannya yaitu alasan di atas, menengok dongeng yang coba diangkat, Battle of Surabaya jelas bukan film yang sanggup berjalan tanpa penceritaan baik. Kisahnya mengangkat proses menuju kejadian 10 November 1945 ketika perang antara pejuang Indonesia melawan Belanda yang kembali untuk menjajah Indonesia. Sebagai huruf utama ada seorang dewasa berjulukan Musa yang bekerja sebagai tukang semir sepatu demi menghidupi dirinya dan sang ibu yang telah sakit-sakitan. Dia harus bekerja keras hidup di tengah situasi berat dimana harga sandang pangan tengah melonjak. Tidak hanya itu, dengan kalahnya Jepang, Belanda tengah bersiap untuk kembali merebut kekuasaan mereka, yang artinya meski Proklamasi telah dikumandangkan, penjajahan sanggup saja kembali terjadi. 

Mengusung tagline "There is no glory in war!" sudah terang pesan apa yang coba disampaikan oleh film ini. Mengangkat kejadian sejarah plus coba mengumandangkan pesan anti-war, yaitu alasan mengapa aku menyebut bahwa film ini tidak sanggup berjalan tanpa kualitas penceritaan mumpuni. Ada tiga pilihan cara bercerita yang sanggup dipakai oleh duo penulis naskah Aryanto Yuniawan dan M.Suyanto. Pertama yaitu fokus pada intrik politik, kedua berfokus pada huruf warga sipil, dan terakhir yaitu eksploitasi agresi pada momen peperangan. Pilihan ketiga yaitu yang paling mengakomodir naskah lemah, sedangkan Battle of Surabaya justru menentukan mengkombinasikan dua opsi pertama dengan kisah Musa sebagai warga sipil menjadi spotlight. Masalahnya, naskah yang ada begitu lemah, editing-nya kacau, begitu pula cara bertutur Aryanto Yuniawan. 

Persahabatan Musa dengan Yumna menjadi fokus utama, sambil sesekali kita dibawa menengok momen-momen bersejarah yang nantinya akan berujung pada kejadian 10 November. Tapi alasannya yaitu naskah buruknya, aku tidak berhasil sedikitpun merasa terikat dengan korelasi kedua tokoh tersebut, bahkan tidak pula bersimpati pada sosok Musa yang digambarkan harus kehilangan banyak orang yang ia cintai alasannya yaitu perang. Interaksi yang dibangun terasa masbodoh dan datar. Dialog yang (harusnya) difungsikan untuk eksplorasi huruf dan memperkuat dinamika korelasi antar-karakter tidak jarang terdengar begitu menggelikan. Hal itu masih diperparah dengan ambisi besar film ini untuk juga memunculkan aneka macam intrik yang melibatkan tokoh-tokoh politik dan militer. Tidak hanya lemah secara kualitas, subplot itu pun tidak mempunyai kuantitas yang cukup untuk menjadi kuat. Pada karenanya tidak hanya menjadi pengisi durasi yang membosankan, tapi juga turut merusak dongeng utama.
Inkonsistensi dalam cara bercerita juga menjadi duduk perkara disini. Karakter Musa menjadi jembatan penghubung antara pesan anti peperangan menuju penonton. Kita coba digiring untuk mengutuk peperangan dengan melihat Musa harus kehilangan satu per satu orang yang ia cintai. Tapi bagaimana aku sanggup mencicipi simpati tersebut kalau setiap gres saja kehilangan daripada dirundung sedih Musa yang masih dewasa awal itu eksklusif sanggup melupakan semuanya, kembali bersemangat, bahkan tersenyum senang. Hal itu sanggup dimaklumi kalau sebelumnya sudah ada pembangunan huruf untuk menguatkan kesan bahwa Musa yaitu sosok yang kuat, tapi itu tidak ada. Belum sempat aku terikat dengan emosinya, film sudah bergerak menuju momen penceritaan berikutnya. Pergerakan adegan yang tidak mempedulikan apakah penonton sudah terikat dengan suatu momen atau belum turut diperparah oleh editing yang juga kacau. Kesan "kasar" pun tidak hanya terasa dalam sisi pergerakan emosi tapi juga visual.

Kekurangan-kekurangan di atas mengakibatkan jalan cerita Battle of Surabaya benar-benar tidak sanggup dinikmati. Saya yang berusaha keras untuk "mengejar" justru berakhir kelalahan dan sepat tertidur beberapa saat. Tapi apakah aku menyesal tertidur? Nyatanya tidak, alasannya yaitu tidak ada sedikitpun perasaan peduli dengan huruf maupun jalan ceritanya. Harapan untuk sanggup merasa segar kembali pun runtuh ketika klimaksnya berakhir biasa saja, bahkan membosankan. Untuk sebuah film yang mengusung judul "Battle of Surabaya" amat masuk akal kalau aku berharap akan disuguhi titik puncak berupa peperangan epic, namun yang aku sanggup hanya pengejaran segelintir pasukan Inggris terhadap Musa, yang bahkan diakhiri dengan anti-klimaks. 

Jika ada orang yang menyebut Battle of Surabaya sebagai sajian yang penting bagi perfilman Indonesia silahkan saja. Tapi aku pribadi menolak keras menyebut suatu film menjadi "penting" atau membawa angin segar hanya alasannya yaitu mengusung genre yang jarang diangkat. Layak disebut penting ketika sebuah film berhasil mempunyai aspek yang selama ini menjadi kekurangan terbesar dunia perfilman kita. Aspek itu yaitu naskah kuat, yang notabene yaitu kelemahan terbesar film ini.

Belum ada Komentar untuk "Battle Of Surabaya (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel