Fifty Shades Of Grey (2015)

BDSM ialah kependekan dari "Bondage, Discipline, Sadism, Masochism" tapi apa yang dilakukan E. L. James dalam trilogi novel Fifty Shades of Grey miliknya ialah menghilangkan "discipline" dan menyalahartikan apa itu lebih banyak didominasi dan submisif. Celakanya, banyak orang menelan bulat-bulat segala penuturan E. L. James, mempercayai bahwa itu ialah BDSM yang sesungguhnya, bahkan merasa bahwa novel tersebut mewakili hasrat seksual liar terpendam banyak perempuan di seluruh dunia. Filmnya sendiri merupakan hal terburuk yang bisa terjadi dalam sebuah film pembiasaan novel. Inilah yang terjadi jikalau sebuah novel berkualitas kurang baik menginspirasi seorang fans dengan kemampuan menulis lebih jelek dari Stephanie Mayer membuat fanfic yang menjelma novel berkualitas sangat buruk. Tapi pembiasaan yang baik akan bisa menyelamatkan filmnya bukan? Tidak disaat E. L. James berusaha mengambil alih kontrol dalam proses pembuatan film mulai dari naskah, penyutradaraan, hingga pemilihan kostum.

Apa yang tersaji dalam film begitu kentara menunjukkan bagaimana dilematisnya sutradara Sam Taylor-Johnson. Disatu sisi ia tahu betapa konyol sumber dongeng yang ia miliki. Karena itu ia sadar diri, dan mengemas beberapa adegan sebagai komedi. Tapi disisi lain ia juga berada di bawah kontrol E. L. James yang membuat Taylor-Johnson mau tidak mau mengemas secara serius suatu adegan meski amat konyol. Hasilnya menggelikan. Mayoritas hal menggelikan hadir lewat obrolan bodoh. Jika obrolan goresan pena Stephanie Mayer itu cheesy, maka goresan pena E. L. James melampaui itu. Bayangkan obrolan ibarat "I don't make love. I fuck...hard" dipaksa untuk dikemas serius. Atau lihat bagaimana dikala Christian Grey (Jamie Dorman) mengomentari fakta bahwa Anastasia Steele (Dakota Johnson) masih perawan. Tapi tentu saja tidak ada yang mengalahkan kebodohan kalimat "Because I'm fifty shades of fucked up". Dalam kasus ini kita tidak bisa melimpahkan kesalahan pada Taylor-Johnson atau penulis naskah Kelly Marcel disaat E. L. James berusaha mengambil kontrol sebanyak mungkin.
Bagaimana dengan ceritanya? Seperti yang sudah saya sebutkan bahwa mayoritas penggemar Fifty Shades of Grey adalah perempuan yang merasa sisi seksual liar mereka terpendam. Saya yakin hal yang sama terjadi pada E. L. James. Karena apa yang tersaji disini ialah kinky fairy tale tidak masuk nalar yang dipaksakan hadir dalam setting dunia realis. Christian Grey ialah pebisnis yang mendapat keberhasilan di usia muda. Bagaimana bisa? Saya tidak tahu, alasannya sosok Grey sendiri tidak pernah tampak istimewa sebagai pebisnis. Semua itu hanya untuk menawarkan jalan bagi James membuat sosok laki-laki idaman: muda, tampan, kaya raya...sexual predator. Lebih parah lagi ialah dikala ceritanya melanggar banyak definisi serta hukum BDSM. Kata "Discipline" dalam BDSM punya arti bahwa tindak seksual tersebut harus dilakukan sehabis melalui perjanjian yang disepakati kedua belah pihak, dimana masing-masing harus mempunyai pengetahuan mendalam wacana hal tersebut. Pada pelaksanaannya dihentikan ada keterpaksaan, ketidaktahuan, perasaan tersiksa, komunikasi terbuka, dan penggunaan kartu hijau, kuning dan merah sebagai tanda apakah pihak submisif masih bersedia untuk lanjut.

Tapi apa yang ada disini sebaliknya. Perjanjian kontrak yang sempat disinggung justru dianggap tidak penting. Anastasia tidak mempunyai pengetahuan mendalam wacana seks apalagi BDSM. Grey berulang kali juga memaksa Anastasia untuk mau menjadi pihak submisif. Pada dikala dilakukan, saya tidak melihat adanya fokus pada keselamatan dan kenyamanan. Yang hadir hanya kekerasan seksual tanpa kontrol. Belum lagi dikala masuk pada definisi "dominan" serta "submisif". Christian Grey sebagai lebih banyak didominasi digambarkan sebagai orang yang mempunyai kendali penuh pada Anastasia. Padahal kenyataannya justru pihak submisif-lah yang punya kendali lebih besar. Mereka berhak meminta berhenti, terus, atau lebih. Fifty Shades of Grey juga menunjukkan bahwa satu-satunya pemuas hasrat dalam BDSM ialah rasa sakit. Itu salah! Fokus utama pada BDSM ialah menghadirkan adrenaline, dan itu bukan hanya melalui rasa sakit. Hanya berfokus pada rasa sakit, satu pihak mempunyai kontrol penuh dan menyebabkan pasangan seolah budak, tidak ada kepatuhan pada kontrak, seks yang hadir disini bukanlah BDSM, melainkan abusive.
Presentasi jelek yang kacau wacana bahan serta obrolan ndeso masih diperparah dengan karakterisasi. Jika Stephanie Mayer membuat aksara dangkal dalam diri Bella Swan dan Edward Cullen, maka E. L. James lagi-lagi mengungguli keburukan idolanya itu. Dia berusaha membuat ciri khas dalam sosok Grey maupun Anastasia. Grey dengan tatapan tajam dan intimidatif sedangkan Anastasia dengan kepolosan dan.....gestur menggigit bibir. Another laughable aspect for me. Grey memang intimidatif, tapi lebih alasannya tatapan yang ibarat creepy-pervert person. Karakter Anastasia juga membuat kesan kontradiktif yang mengganggu. Dia digambarkan polos, tapi kenapa setiap bertatap muka dengan Grey ia selalu tampak ibarat perempuan horny? Untuk membuat kesan hasrat terpendam? Ha! That's stupid. Lalu kenapa dua orang ini bisa saling menyayangi hingga bersedia berkorban demi pasangan mereka? Padahal mereka gres bertemu beberapa hari. Cinta pada pandangan pertama? Nafsu pada pandangan pertama? Hanya E. L. James yang tahu, alasannya Tuhan sendiri niscaya tidak mau tahu.

Seksnya pun gagal memenuhi ekspektasi. Pastinya tidak ada yang berharap mendapat romantisme disini. Seks dan seks ialah cita-cita setiap penonton. Tapi rating R melucuti keseksian yang berpotensi dihasilkan. Dengan rating R, Sam Taylor-Johnson memang memanfaatkan itu untuk memberi jalan bagi Dakota Johnson untuk tampil telanjang, tapi dikala memasuki adegan seks, semuanya masih terlalu jinak. Sekali lagi sutradara sudah berusaha sebisanya menghadirkan adegan seks yang seksi, tapi rating R memaksanya untuk lebih banyak menggunakan close-up yang membuat adegan seks tidak terlalu gamblang. Kaprikornus disaat seksnya pun mengecewakan apakah Fifty Shades of Grey menjadi kehancuran total? Secara mengejutkan tidak. Production value yang memuaskan menawarkan sedikit kepuasan visual. Sosok Dakota Johnson juga menyebabkan Anastasia Steele tidak berakhir sebagai jenazah hidup. Fifty Shades of Grey memang bukan sepenuhnya sampah, tapi tetap sebuah kekecewaan besar. Ini film berbahaya yang jikalau ditonton tanpa pemahaman wacana BDSM akan menimbukan kesalahpahaman fatal. Bukti bahwa tidak semua pembiasaan novel yang setia dengan sumber aslinya berakhir baik. Film ini bisa menjadi brilian, sungguh. Syaratnya hanya satu: dikemas sebagai komedi.

Belum ada Komentar untuk "Fifty Shades Of Grey (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel