Taxi (2015)

Taxi menjadi film ketiga yang dibentuk secara ilegal oleh sutradara asal Iran, Jafar Panahi sesudah This Is Not a Film dan Closed Curtain. Ilegal sebab oleh pemerintah Iran, Pahani menerima larangan menciptakan film selama 20 tahun, terhitung semenjak 20 Desember 2010 akhir dituduh mengkreasi propaganda dan mengancam keamanan negara lewat karyanya. Namun ibarat penuturan Hamid Dabashi, "Panahi does not do as he is told, in fact he has made a successful career in not doing as he is told." dan melalui Taxi, sekali lagi Panahi telah menelanjangi realita Teheran, sembari menyerukan kritik termasuk kisah hidup pribadinya. Jadilah satu lagi docufiction khas Jafar Panahi dengan teknik sanksi mengingatkan pada Ten karya Abbas Kiarostami.

Baik Taxi ataupun Ten sama-sama mengambil setting hanya di sebuah mobil, menempatkan kamera di tiap sudut guna menangkap pembicaraan antara supir dan penumpang. Panahi berperan sebagai dirinya sendiri, seorang sutradara dalam penyamarannya menjadi supir taksi. Dia berkeliling kota, membawa banyak sekali macam penumpang sembari merekam pembicaraan diantara mereka. Mulai dari seorang guru, penjual DVD bajakan, pencetus kemanusiaan, hingga korban kecelakaan sempat singgah, menceritakan kisah masing-masing. Ada yang menyadari jati diri Panahi, tapi lebih banyak didominasi tidak mengetahui situasi sesungguhnya. 
Pemakaian format docufiction bertujuan menciptakan filmnya senyata mungkin, dan selaras dengan itu, Taxi memang jadi perjuangan Panahi memvisualisasikan wajah orisinil dari banyak sekali gosip sosial masyarakat di Teheran. Sentuhan neorealisme-nya mengakibatkan tiap momentum jauh lebih mencengkeram sebab aku bagai diajak menyaksikan suatu insiden kasatmata yang semestinya bukan merupakan konsumsi publik, ibarat tatkala Panahi membawa seorang korban kecelakaan berlumuran darah beserta sang istri yang histeris. Tapi Panahi sadar, penontonnya tidak "sebodoh itu" menduga segalanya yaitu nyata. Karena itu ia tidak menggiring penonton mempertanyakan kenyataan di real life, melainkan kenyataan di universe film ini.

Apakah huruf Panahi di film ini memang merekayasa tiap insiden di dalam taksi? Ataukah semuanya terjadi secara natural? Atau mungkin kombinasi keduanya? Hal ini sempat dipertanyakan oleh seorang penjual DVD bajakan, di mana ia kebetulan mengenali wajah Panahi. Pembauran fiksi dan realita bersinergi dengan salah satu kritisi milk filmnya, yakni aturan menciptakan film di Iran. Sempat terjadi perbincangan antara Panahi dan keponakannya perihal kiprah menciptakan film dari sang guru. Tugas itu memintanya menciptakan film yang harus meng-capture realita, tapi kalau jelek atau (dianggap) tak pantas, realita tersebut tidak boleh ditampilkan. Sang keponakan pun resah mana yang bisa dan tidak untuk dimunculkan. Mana nyata, mana tidak.
Selain pemaparan realis pemerkuat intensitas, kekuatan terbesar Taxi terletak pada kecerdasan Panahi memilih kapan dan bagaimana sebuah kritisi masuk pada sebuah adegan. Suatu pesan tidak pernah hadir dipaksakan, mengalir alamiah sebagaimana pembicaraan sehari-hari terjadi. Kuncinya terletak di penokohan tiap huruf beserta situasi yang tengah mereka alami. Lewat korban kecelakaan, muncul gosip perihal hak waris dan bagaimana aturan kerap memberatkan perempuan. Lewat penjual DVD bajakan, hadir curahan teruntuk sulitnya kanal menonton film ajaib di Iran. Lalu masih banyak lagi, mulai dari aturan sewenang-wenang, pemenjaraan kreativitas filmmaking, dan lain-lain. Hanya bermodalkan durasi 82 menit, Jafar Panahi bisa mengusung banyak sekali poin tersebut, menyuarakannya secara padat, halus tapi amat menusuk.

Di luar konten cerita, Taxi sendiri telah menjadi bentuk perlawanan besar Panahi terhadap larangan berkarya dari pemerintah Iran. Bagaimana tidak? Film ini menjadi karya ketiganya dalam lima tahun masa hukuman, dan berujung keberhasilan memenangkan Golden Bear (film terbaik) pada Berlin International Film Festival tahun 2015. Secara luar maupun dalam, Taxi adalah bentuk perlawanan kasatmata kalau tidak bisa disebut kemenangan seorang Jafar Panahi terhadap tembok penghalangnya menghasilkan karya. Scene terahir film yaitu epilog sempurna, di dikala Panahi seolah berujar "saya tidak boleh menciptakan film, atau karya aku disita pun, pemerintah tak akan bisa menghentikan saya". Film ini memang palsu, tapi tidak dengan segala kisah di dalamnya.

Belum ada Komentar untuk "Taxi (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel