Surat Cinta Untuk Kartini (2016)

Bagaimana cara mengatasi kejenuhan penonton akan suatu dongeng yang telah dipaparkan berulang-ulang atau sudah mereka ketahui secara niscaya guliran kisahnya? Salah satu jalan keluar yaitu menyelipkan twist, atau pada kasus Surat Cinta Untuk Kartini, trio penulis naskah Vera Varidia, Toha Essa dan Fatmaningsih Bustamar membuat abjad fiktif berjulukan Sarwadi (Chicco Jerikho) selaku love interest R.A. Kartini di tengah usahanya memperjuangkan hak wanita Indonesia memperoleh kesetaraan derajat. Sebuah konsep "what if" menarik, mengingat dominan biopic dewasa ini terkekang dalam "kewajiban" klasifikasi ideologi tokohnya semata, alias dipenuhi pandangan gres namun minim sentuhan perasaan.

Sarwadi yaitu duda beranak satu dengan profesi sebagai tukang pos di Jepara. Baru hari pertama bekerja, ia sudah berkesempatan mengantar surat ke rumah Bupati, dan di sanalah Sarwadi pertama kali terpesona oleh kecantikan Raden Ajeng Kartini (Rania Putri Sari). Semakin hari, semakin jatuh hati pula Sarwadi, terlebih saat ia mengetahui harapan Kartini mendobrak budaya Jawa yang mengekang kaum perempuan. Sampai suatu hari Sarwadi mendengar niatan Kartini membuka sekolah bagi kalangan bumiputera. Dari situlah Sarwadi berusaha membantu Kartini, termasuk menyediakan kawasan mengajar sekaligus mengajak puterinya, Ningrum (Christabelle Grace Marbun) beserta bawah umur lain berguru di sana. Namun sebagai rakyat jelata, cinta Sarwadi pada Kartini memang kolam mimpi di siang bolong.
Surat Cinta Untuk Kartini dapat berujung hidangan romansa berpengaruh nan mengharu biru tanpa perlu berlebihan menjalin melankoli, alasannya formula klasik mengenai "cinta beda kasta" tak bisa dipungkiri efektif merenggut hati penonton. Bagi saya langsung usaha cinta Sarwadi cukup relatable serta potensial menggugah perasaan kala film menyentuh konklusi. Alasan detail akan saya bahas nanti, tapi poin utamanya, Surat Cinta Untuk Kartini bakal jauh lebih memuaskan andai hanya berfokus wacana love story kedua protagonis atau sekedar eksplorasi sudut pandang dan cinta Sarwadi bagi Kartini. Tapi, naskahnya seolah merasa "sayang" mengesampingkan usaha Kartini. Alhasil diluangkan waktu beberapa usang mengeksplorasi hal tersebut yang justru melemahkan narasi.

Nyaris tidak mungkin melaksanakan penggalian menyeluruh terhadap aspek emansipasi saat filmnya membagi fokus dengan kisah romantika, sehingga dalam durasi terbatas, banyak sekali gagasan Kartini diungkapkan sepotong demi sepotong entah melalui sebaris obrolan maupun petikan konflik semisal dipaksakannya Kartini untuk menikah atau perselisihannya dengan sang paman. Penonton kesudahannya sebatas tahu tanpa diajak memahami. Saya turut mempermasalahkan interpretasi "emansipasi" khususnya yang diwakili oleh sempilan kisah masa kini. Selain paruh penceritaan itu tidak signifikan, cukup mengganggu tatkala Kartini kembali diidentikkan dengan kebaya dan segala tampilan fisiknya. Stereotyping itu selaras akan "masalah" perayaan Hari Kartini yang didominasi lomba pakaian budbahasa alih-alih menekankan pada usaha hak. 
Namun saya yaitu seorang laki-laki, rasanya kurang bijak menggemborkan warta yang (bagi sebagian kalangan) tidak dimengerti kaum Adam. Makara mari kembali ke poin yang sudah barang tentu saya pahami, yakni love story. Telah saya sampaikan sebelumnya, usaha Sarwadi terasa relatable, kenapa? Karena dominan niscaya dialami laki-laki. Coba perhatikan: kisah cinta kolam "punuk merindukan rembulan", usaha membantu pujaan hati merengkuh mimpi sebagai alat curi-curi kesempatan supaya dekat, hingga upaya tersirat sebelum kesudahannya tersurat (no pun intended) supaya sang pujaan hati menentukan beliau daripada pesaingnya. Dibuatnya abjad Sarwadi sering nampak cengengesan pun bakal melemparkan ingatan penonton pria akan kebodohan laris mereka (kami) tatkala berhadapan dengan wanita idamannya.

Ada perbedaan antara usaha menyeimbangkan eksplorasi gender dalam sebuah alur dengan murni kebingungan menentukan fokus antara "movie about woman" atau "movie about man". Film ini yaitu bentuk kebingungan alasannya terang terlihat niatan utamanya menjadi kisah percintaan namun merasa sayang apabila menanggalkan emansipasi R.A. Kartini begitu saja. Padahal Surat Cinta Untuk Kartini dapat berhasil sebagai kisah cinta sederhana dua manusia beda kasta tanpa perhiasan pesan lainnya. Terlebih, baik Chicco Jerikho maupun Rania Putri Sari sama-sama memberi akting memuaskan sebagai pria kelas bawah berbalut senyum penuh harapan dan wanita darah biru berbalut wibawa pula kelembutan. Belum lagi alunan musik mendayu garapan Aghi Narottama bersama Bemby Gusti cukup bisa menyentuh hati. Potensi itu tersia-siakan. 

Belum ada Komentar untuk "Surat Cinta Untuk Kartini (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel