Spotlight (2015)
Kata "revolusioner" remaja ini semakin sering dianggap sebagai keharusan dalam membuat karya apapun, tidak terkecuali film. Bagi sebagian kalangan, kemasan klise sama artinya dengan pengulangan miskin kreativitas dan eksplorasi. Saya oke kepada anggapan pentingnya mendobrak batasan demi menyuguhkan sajian gres untuk penonton. Namun sayangnya kegilaan meraih sebutan "revolusioner" tadi membuat banyak sineas lupa kepada basic esensial dalam storytelling. "Spotlight" karya sutradara Tom McCarthy ini bisa jadi teladan bagaimana sebuah film bisa begitu memikat alasannya yaitu memenuhi hakikatnya sebagai film mengenai jurnalisme. What's the essence of journalism movie? Bagi saya, serupa dengan pentingnya pewartaan, dimana konsumen memperoleh informasi yang tidak hanya baru, tapi juga penting pula jujur. Tentu kisah dibalik layar berisi penelusuran fakta tak boleh dilupakan.
Judulnya berasal dari nama tim kecil berisikan wartawan media The Boston Globe yang bertugas melaksanakan pemeriksaan jangka panjang akan suatu berita. Tim Spotlight terdiri dari empat orang, Walter "Robby" Robinson (Michael Keaton) sebagai kepala, Michael Rezendes (Mark Ruffalo), Sacha Pfeiffer (Rachel McAdams), dan Matt Carroll (Brian d'Arcy James). Ketika Marty Baron (Liev Schreiber) masuk sebagai editor baru, Spotlight ditugaskan untuk memeriksa masalah pelecehan terhadap anak di belum dewasa yang dilakukan oleh seorang Pendeta. Kasus yang awalnya "kecil" tersebut perlahan menguak diam-diam jauh lebih besar ketika mereka mendapati ada campur tangan Gereja Nasrani untuk menutupi perbuatan sang Pendeta. Dari satu pelaku, daftar Pendeta yang melaksanakan pelecehan terus bertambah panjang sampai mencapai 90 nama. Ini bukan sekedar "pertarungan" Spotlight melawan perseorangan, tapi melawan Gereja, melawan hukum, against the whole system from the top to the bottom.
"Spotlight" berjalan selama 129 menit dengan intensitas yang bisa terjaga di mayoritas bagian. Ada empat hal mayoritas menghiasi pemeriksaan tim Spotlight sepanjang film: people rushing, interviewing, meeting and reading. Keempatnya muncul berulang kali tapi tidak sedikitpun repetitif alasannya yaitu menyerupai sebuah informasi berbobot, selalu ada fakta gres dilontarkan pada penonton. McCarthy bernarasi begitu rapih, menyusun tiap keping pemeriksaan menjadi satu citra besar yang berjalan mengenangkan. Scoring berbasis piano dari Howard Shore melantun dalam tempo monoton yang cepat, mendukung pergerakan filmnya sambil turut membangun ketegangan. Sesungguhnya Shore membuat alunan musik sederhana, tapi bisa menyiratkan kegalapan terselubung dalam kasusnya.
Fakta-fakta mencengangkan perihal noda hitam dalam sistem aturan serta penyalahgunaan wewenang hasil dari kekuatan pemimpin agama juga berhasil mencabik-cabik perasaan saya, mengakibatkan "Spotlight" bukan sekedar penelusuran kosong tanpa emosi. Saya ikut mencicipi bagaimana karakternya murka dan jijik pada institusi agama seiring terbukanya lembaran fakta, kemudian berujung masalah ketika rasa percaya mulai memudar. Sebagaimana artikel orisinil karya tim Spotlight, film ini menelanjangi kebusukan institusi agama yang bersembunyi di balik topeng kesucian dan kemuliaan palsu untuk berbuat seenaknya. Orang-orang itu bagi saya yaitu sampah masyarakat paling busuk dan memang layak di-expose. Sayang, tak ada kepuasan lebih ketika dongeng mencapai konklusi. Setelah perjalanan panjang nan dinamis. McCarthy justru menutup filmnya dengan nada rendah yang flat. Semestinya ada climatic pay off setelah semua yang terjadi, tapi tidak. Kisahnya diakhiri begitu saja dan merupakan kekurangan signifikan dalam tatanan emosional film ini.
Keempat anggota Spotlight memang tak banyak mendapat eksplorasi mengenai latar belakang hidup masing-masing, tapi bagi saya itu bukanlah kekurangan. Dengan menambahkan kisah perorangan, artinya subplot akan turut bertambah dan justru bakal menjauhkan film dari sorotan (no pun inteded) utama. "Spotlight" yaitu kisah bagaimana sebuah tim jurnalisme menyelidik suatu kasus. Ibarat pekerjaan, ini yaitu kerja kolektif, bukan personal. Sehingga pemaparan kisah langsung huruf bukan menjadi keharusan. Kita melihat "the science of journalism" melalui langkah prosedural yang karakternya lakukan, dan itu sudah cukup. Kurang dalam interaksi "renyah" antar anggota tim memang, tapi selaku selebrasi terhadap "the real essence of journalism" (bukan glorifikasi), "Spotlight" telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
Meski nihil eksplorasi lingkup kehidupan langsung karakter, tiap bintang film nyatanya masih mendapat momen untuk bersinar tanpa eksploitasi momentum dramatis. Keaton sebagai Robby sang pimpinan yaitu anggota tim paling tenang, namun menyimpan keyakinan besar lengan berkuasa dalam tutur katanya, sehingga Robby akan gampang mengambil kendali suatu pembicaraan. Kekuatan serupa dimunculkan Rachel McAdams. Sama menyerupai Keaton, penuturan kalimat McAdams sebagai interviewer punya daya cengkeram sehingga interviewee mau tidak mau akan menjawab tanpa paksaan kasar. Hal itu alasannya yaitu McAdams bisa mengimbangi kekuatannya dengan kelembutan tanpa memunculkan kelemahan. Nyata terlihat dalam beberapa kesempatan ketika Sacha mewawancari para korban pelecehan. Mereka (dan saya) tidak terintimidasi, tapi "dirangkul" olehnya. Untuk Ruffalo, ia anggota tim paling berenergi. Berlari kesana kemari, mengejar narasumber, data dan deadline. Memang diharapkan huruf "chaotic" tampaknya untuk membuat dinamika di tengah tokoh lain yang penuh ketenangan.
Sinema sanggup menjadi sumber hiburan, tapi lebih dari itu penonton bisa berguru perihal banyak hal. Memperoleh pengetahuan gres mengenai apapun jadi salah satu alasan mengapa saya menyayangi film. "Spotlight" menunjukkan hal gres tersebut, memperluas pengetahuan penonton berkat perspektif yang menengok secara mendalam akan suatu kejadian. Juga merupakan hiburan menyenangkan perihal pemeriksaan bertempo tinggi penuh kejutan, meski bukan pula hiburan ringan yang sanggup kita cerna sambil santai menikmati popcorn. Di atas, saya sempat mengkritisi soal konklusi yang datar. Tapi mungkinkah Tom McCarthy sengaja melakukannya? Karena begitu film berakhir, dan segala fakta diungkap ke publik saya tetap mencicipi ganjalan. Ada rasa sesak menyadari pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, penyalahgunaan agama beserta kekuasaan untuk bertindak seenaknya mencari imunitas terhadap sistem aturan masih tetap meneror. Karena pemaparan fakta-fakta di atas, terlepas dari beberapa kekurangannya, "Spotlight" merupakan film yang teramat penting.
Belum ada Komentar untuk "Spotlight (2015)"
Posting Komentar