A Copy Of My Mind (2016): Keintiman Dua Manusia Pinggiran

Film menyerupai apa yang ada di benak kalian ketika mendengar nama Joko Anwar? Thriller? Horor? Penuh darah? Twist ending? Cerita high concept? Menilik tiga film terakhirnya (Kala, Pintu Terlarang, Modus Anomali) memang masuk akal jikalau seorang Joko Anwar identik dengan beberapa hal di atas. Lalu hadirlah "A Copy of My Mind", sebuah film yang diniati Joko sebagai time capsule untuk kondisi Indonesia khususnya Jakarta ketika ini. Melakukan proses syuting selama delapan hari saja, film ini menjauh dari banyak sekali unsur tadi. Tidak ada production value mewah, pergerakan kamera yang tidak spektakuler, konsep dongeng sederhana yang lekat dengan kehidupan sehari-hari, dan kental balutan romansa. Tapi dibalik semua kesederhanaan itu, "A Copy of My Mind" justru merupakan film terbaik dari Joko Anwar sekaligus persembahannya yang paling personal. Personal, alasannya ialah ia menumpahkan seluruh perasaannya baik cinta, marah, sedih, gelisah kedalam satu rangkaian cerita.

Ada dua abjad utama film ini; Sari (Tara Basro), seorang pegawai salon kecantikan dan Alek (Chicco Jerikho) pembuat subtitle DVD bajakan. Kelak keduanya bakal menjalin asmara, tapi selama kurang lebih 45 menit pertama mereka belum dipertemukan. Penonton diajak pelan-pelan mengikuti keseharian Sari dan Alek. Mengikuti disini juga sanggup bermakna literal, alasannya ialah cukup sering kamera bergerak di belakang abjad yang tengah berjalan, seolah penonton menjadi hantu tak terlihat yang rahasia membuntuti mereka. Sari tinggal di kamar kos kecil yang terasa pengap, dan gemar menghabiskan malam sepulang kerja untuk menonton film dari DVD bajakan yang ia beli. Tidak hanya hidupnya sederhana, impiannya pun begitu. Saat ditanya apa cita-citanya, Sari menjawab "punya home theater". Dalam satu adegan Sari duduk menikmati gambar besar dan bunyi bombastis dari home theater yang tengah dijual. Ekspresi Tara Basro memberikan kebahagiaan dari hal sederhana yang terasa mengharukan. Secuil performa subtil yang mengambarkan kelayakannya memenangkan FFI beberapa waktu lalu.
Alek tak jauh berbeda dengan Sari. Mendapat uang seadanya dari pekerjaan tanpa nilai prestis tinggi dan tinggal di kos-kosan kecil yang ia sanggup secara gratis alasannya ialah bersedia merawat sang pemilik rumah. Dua tokoh utama ini ialah cerminan kaum pinggiran di tengah megahnya ibukota. Definisi kaum pinggiran disini bukan "hanya" tinggal di daerah kumuh (menjadi setting dominan) atau berstatus ekonomi rendah. Kata "pinggiran" juga berarti mereka memang terpinggirkan, tak terlihat di tengah gegap gempita metropolitan. Mereka berdua bukan sosok yang mempunyai tugas penting. Jika suatu ketika menghilang takkan ada yang mencari atau merasa kehilangan kecuali satu sama lain. Itulah mengapa percintaan keduanya terasa romantis. Dunia serasa milik berdua alasannya ialah Sari dan Alek memang hanya (sempat) menjalani hidup untuk diri sendiri. Demi menguatkan kesan itu, "A Copy of My Mind" mengambil setting saat kampanye pemilu Presiden mencapai puncak. Beberapa adegan memberikan kampanye besar-besaran di sekitar karakternya, tapi mereka tak pernah memberikan interest lebih. Karena untuk memikirkan kebahagiaan personal saja pun sulit.
Seperti yang telah disebutkan, ini merupakan persembahan paling personal dari Joko Anwar, dan itu sanggup dengan gampang kita rasakan. Joko memendam amarah pada pejabat korup, hal itu ia masukkan disini. Joko gelisah akan kondisi politik, ia curahkan disini. Joko galau akan kesenjangan sosial di masyarakat Jakarta, ia tumpahkan semuanya. Joko jatuh cinta akan film khususnya "film genre", ia paparkan kecintaan itu. Hingga ketika ia mencicipi cinta begitu besar akan cinta diantara manusia, saya sanggup mencicipi itu juga. Filmnya memang sederhana baik dari segi teknis maupun narasi, tapi bukankah kejujuran memang identik dengan kesederhanaan? Berkat kejujuran itu banyak sekali kritik yang dilontarkan tak memaksa masuk ke otak penonton, tapi mengalir alami. Kisahnya tak mencoba muluk. Ada kebencian pada praktik korupsi, tapi Joko tidak melampiaskan itu dengan kisah fantastis ketika rakyat kecil menghabisi koruptor (yang akan dieksplorasi lewat "Eksekutor", film Joko berikutnya). Kita rakyat sipil sama dengan Sari dan Alek, tak berkutik di hadapan pemegang kuasa dan uang. Terasa getir dan tragis memang, tapi itulah kenyataan. "A Copy of My Mind" ialah cerminan kenyataan.

Selain faktor realisme, keunggulan lain film ini terletak pada dialog, yang mana juga berpijak berpengaruh pada realita. Beberapa baris obrolan memang absurd, mengundang tawa, serta "tidak make sense". Tapi bukankah kenakalan rangkaian kata tidak teratur itu yang menghiasi keseharian kita? Saat kita lebih cenderung melontarkan plesetan macam "gue suka film makhluk adonan gitu kayak buaya sama ikan jadinya bukan" daripada kontemplasi puitis perihal eksistensi yang hiperbolis? Diantara gugusan kalimat membumi itu, hadirlah chemistry kuat Chicco Jerikho dan Tara Basro. Interaksi keduanya menciptakan romansa yang terjalin menjadi believable. Terdapat beberapa adegan seks yang bukan semata-mata eye candy, tapi berfungsi memberikan passion kuat serta perasaan cinta satu sama lain. Kaprikornus alangkah menyakitkannya seusai film ini bermesra-mesraan kemudian menampar penonton dengan konklusi yang mendefinisikan kehidupan kita sebagai pion-pion yang hanya menjalankan tugas masing-masing. Apapun yang terjadi, life goes on. Meninggalkan memori pahit dan manis yang mungkin tak diketahui orang lain kecuali kita sendiri. Sajian yang indah. 

Belum ada Komentar untuk "A Copy Of My Mind (2016): Keintiman Dua Manusia Pinggiran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel