Ular Tangga (2017)

"Ular Tangga" punya bekal mencukupi untuk menjadi suguhan horor menarik. Premisnya unik. Keterlibatan Shareefa Daanish pasca lima tahun mangkir bermain film juga menjadi daya tarik. Fakta di balik layar lain turut pula menyita perhatian, yaitu mengenai Wilson Tirta, produser direktur sekaligus pendiri Lingkar Film selaku rumah produksi bagi "Ular Tangga" yang masih berusia 14 tahun, menjadikannya produser film Indonesia termuda. Tidak heran kalau gemerlap industri film menarik minat wiraswasta muda ini. Ide dongeng Wilson sempat ditawarkan pada Jujur Prananto, namun batal alasannya ialah proses penulisan naskah Jujur dianggap terlalu lama. Rupanya ini pangkal permasalahannya.

Ketidaksabaran Wilson mendorongnya berpaling pada Mia Amalia ("Luntang Lantung", "Inikah Rasanya Cinta?"). Sedangkan dingklik penyutradaraan diisi Arie Azis ("Oops!! Ada Vampir", "Penganten Pocong", "Rumah Hantu Pasar Malam"). Oh Tuhan, mendadak proyek ini terasa mengkhawatirkan. Apakah hasrat mempercepat proses produksi berujung mengesampingkan kualitas? Menengok hasil akhirnya, kecurigaan tersebut terang beralasan. Bayangkan saja, anda menyaksikan film berjudul "Ular Tangga" kemudian mendapati amat minimnya bantuan permainan itu. Ibarat makan sate ayam dengan porsi daging ayam sangat sedikit. Atau nasi goreng tanpa nasi. Wajar bila sebagai konsumen saya berang, merasa tertipu.
Alkisah, Fina (Vicky Monica) kerap mengalami mimpi jelek yang dicurigainya merupakan menandakan atas insiden masa depan. Rasa ingin tau membuat Fina membaca buku "The Interpretation of Dreams" milik Sigmund Freud sembari berkonsultasi pada seorang dosen (Roy Marten). Saya enggan menyalahkan kebodohan pada film horor mengingat tujuan utamanya ialah menakut-nakuti. Ketidaktepatan ilmu maupun lubang budi sanggup dimaklumi. Namun kengawuran "Ular Tangga" sudah kelewatan, menawarkan kedunguan hasil ketidakpedulian penulisnya. Menyatukan fantasi, mistis, reliji dan sains dalam horor itu lumrah. Namun harus ada poin yang dijadikan pegangan. Seseorang sanggup membuat dongeng didasari sains kemudian melebarkan semaunya berbasis imajinasi ke ranah lain, pun sebaliknya. 

Fokus gambar kerap menyoroti buku "The Interpretation of Dreams" tapi terang teori Freud (hasrat terpendam, bawah sadar, masa lalu) bukan penopang cerita. Bahkan, setelahnya unsur mimpi tak lagi muncul, beralih sepenuhnya ke mistis. Aneh pula kala Roy Marten selaku dosen awalnya berteori soal sisi terpendam manusia  lewat kalimat yang kolam dikutip mentah-mentah dari Wikipedia  sebelum tiba-tiba bicara wacana ilmu lebur sukma, kemudian berganti lagi membicarakan agama. Kenapa seorang dosen memakai istilah "lebur sukma" ketimbang "astral projection" yang mana lebih scientific? Koreksi kalau salah, tapi setahu saya lebur sukma bukan (semata-mata) ajian mengeluarkan roh seseorang dari tubuhnya. 

Tapi sudahlah. Terserah. Semua itu tak penting asal "Ular Tangga" sanggup menghibur. Kembali ke cerita, Fina dan rekan-rekan pecinta alamnya tengah bersiap mendaki Gunung Barong walau ia mencicipi firasat buruk. Di tengah pendakian, mereka tak menghiraukan larangan Gina (Shareefa Daanish) sang guide melewati sebuah jalur, dan sanggup diduga, teror pun menghampiri. Hantu-hantu bermunculan, ditambah misteri wacana ular tangga berbahan kayu yang terkubur di bawah pohon besar. Mari lupakan fakta betapa bodohnya para tokoh melanggar pesan sosok yang paham seluk beluk tempat setempat. Mana ada pecinta alam berpengalaman melaksanakan itu? Kenapa pula pecinta alam nekat mengambil barang misterius di suatu tempat apapun alasannya? Lagi-lagi saya bermurah hati memaafkan kelalaian tersebut.
Film ini jadi tak termaafkan saat permainan ular tangga urung dimanfaatkan. Setelah menanti sekitar 35 menit, daripada hybrid petualangan fantasi dan horor, papan ular tangga hanya dijadikan jalan menghilangkan satu per satu karakter. Setiap dadu bergulir, terjadi gempa, kemudian seseorang hilang. Begitu seterusnya, membuat teladan berikut:
Lani menggelindingkan dadu
"Hah? Lani hilang! Ke mana Lani?!"
"Lani! Lani!"
Mereka mencari Lani.
Dodoy menggelindingkan dadu.
"Hah? Dodoy hilang! Ke mana Dodoy?!"
"Dodoy! Dodoy!"
Mereka mencari Dodoy.
Bagas menggelindingkan dadu.
"Hah? Bagas hilang! Ke mana Bagas?!"
"Bagas! Bagas!"

Rasa takut juga gagal dipancing akhir penampakan hantu medioker serta hanya satu jump scare berhasil mengejutkan selama 94 menit durasi. Kengerian semakin nihil akhir kerap tak sesuainya pemilihan lagu. Paling menggelikan kala nomor pop balada "Memori Indah" milik Achie membungkus momen mendekati simpulan yang diniati emosional tetapi berujung memancing tawa. Ending-nya berpotensi memuaskan (tipikal tragic cliffhanger khas horor) kalau bukan alasannya ialah embel-embel satu adegan yang memaksakan twist sembari berusaha menambah porsi Shareefa Daanish. Ya, kalau anda tertarik menonton "Ular Tangga" alasannya ialah keberadaan sang aktris, urungkan niatan tersebut. Shareefa hanya muncul di awal dan simpulan dengan signifikansi minim serupa board game-nya. Padahal kalau ada yang sanggup menyelamatkan "Ular Tangga", Shareefa Daanish orangnya.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics

Belum ada Komentar untuk "Ular Tangga (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel