Galih & Ratna (2017)
Sebelumnya, Lucky Kuswandi ("Selamat Pagi, Malam", "Madame X", "The Fox Exploits The Tiger's Might") sempat terlibat dalam remake film Indonesia klasik lain, yaitu menulis naskah bagi "Ini Kisah Tiga Dara". Serupa karya Nia Dinata tersebut, "Galih & Ratna" merupakan perjuangan modernisasi bernuansa hipster bagi materi lama. Lihat saja, di era digital mirip sekarang, huruf utamanya justru mendengarkan musik memakai kaset dan walkman. Namun itu bukan semata-mata gimmick supaya nampak keren, melainkan selaras dengan inspirasi filmnya atas proses menyimpan kenangan, mengabadikan momen tatkala seseorang jatuh cinta.
Ratna (Sheryl Sheinafia) terpaksa menghabiskan tahun terakhir Sekolah Menengan Atas di Bogor, tinggal bersama sang tante (Marissa Anita) kala ayahnya (Hengky Tornando) pindah ke Australia. Di sekolah barunya ini, Ratna bertemu Galih (Refal Hady) yang pendiam dan misterius. Ratna pun terpikat. Tapi Galih berbeda dengan Ratna. Dia berasal dari keluarga kurang bisa di mana ibunya (Ayu Dyah Pasha) mengemban beban menafkahi keluarga seorang diri pasca sang suami meninggal. Apalagi toko kaset "Nada Musik" milik mereka tidak lagi dilirik orang jawaban perubahan jaman. Galih dan Ratna bertemu, menjalin cinta yang bersemi dari SMA, seraya bersama menyokong mimpi masing-masing.
Mayoritas publik lebih mengenal lagu "Galih & Ratna" ketimbang sumber filmnya yakni "Gita Cinta dari SMA". Oleh lantaran itu keputusan Lucky Kuswandi dan Fathan Todjon selaku penulis naskah memberi peranan penting pada musik bisa dimengerti. Selain alunan lagu-lagu yang tepat menemani bahkan menguatkan rasa dari adegan, terdapat pula presentasi musik sebagai kepingan kultural khususnya seputar media kaset. Kaset mixtape menunjukkan pemahaman si pembuat akan "target" dan musik. Terkesan romantis lantaran selain ungkapan rasa pembuatnya ada effort besar dikala mencari dan merekam. Bandingkan dengan kini ketika seseorang bisa begitu gampang memasukkan lagu dalam keping CD. Walau bagi penonton yang kurang familiar atas kultur tersebut, paparan itu takkan terlalu relatable.
Awal timbulnya benih cinta Galih dan Ratna memang terlalu cepat di mana mereka telah saling suka sebelum penonton sempat jatuh cinta pada keduanya. Kekurangan itu untung ditebus oleh interaksi menarik dikala Galih dan Ratna makin intens berhubungan. Daripada buaian kalimat gombal, naskahnya memposisikan dongeng cinta tokoh utamanya selaku proses mengenal lebih dalam lewat banyak sekali dialog santai. Sebab jatuh cinta tak melulu diekspresikan dengan bertukar puisi. Cukup duduk bersama membicarakan musik, mimpi, dan masa depan. Pada kesannya meski diawali terburu-buru, gampang meyakini Galih dan Ratna saling cinta. Mereka saling mengenal, memahami dan menyukai "isi" masing-masing, bukan sekedar tampak luar.
Interaksi "renyah" juga tercipta lantaran naskahnya tidak berlebihan berusaha tampil romantis, sempat menyelipkan humor penyegar suasana yang tepat dibawakan oleh jajaran cast. Marissa Anita selalu penuh semangat, heboh, menyuntikkan energi di tiap kemunculannya sehingga kita tak kuasa menahan senyum. Joko Anwar sebagai guru galak penegak hukum pun kerap menggelitik berkat rangkaian celetukan pedas. Kemudian ada kemampuan Sheryl Sheinafia menyeimbangkan sisi manis Ratna dengan kebolehan berkomedi. Ekspresi konyol kala ia menanyakan arti kata "gita" pada sang tante ialah pola terbaik. Sedangkan Refal Hady punya charm luar biasa, mengambarkan bahwa untuk terlihat keren tak perlu berakting kaku atau sok cool.
Pemilihan judul "Galih & Ratna" alih-alih "Gita Cinta dari SMA" bukan saja didasari brand image, pula faktor narasi. Kehidupan Sekolah Menengan Atas masih disoroti tapi bukanlah panggung utama. Kisahnya mempunyai cakupan lebih luas, bukan pula semata-mata bicara cinta. Poin utamanya ialah kebebasan. Kebebasan bermimpi, kebebasan bertindak, kebebasan menentukan masa depan. Galih dan Ratna merupakan perwujudan individu berjiwa bebas di tengah "kekangan". Cita-cita mereka terbentur alasan serupa dari orang tua: materi. Di sekolah, keduanya (dan siswa lain) dihadapkan pada tata tertib yang amat membatasi (larangan berjualan, hukum ketat berpenampilan). Sederet ukiran tersebut hadir menggigit, memancing pergolakan emosi sekaligus pemikiran mengingat sejatinya tidak ada pihak yang salah.
Ditinjau lebih jauh, sempat ada shot singkat menampilkan semboyan "Bogor Kota Beriman" menggambarkan soal keteguhan masyarakat memegang moral terutama agama. Shot itu dilanjutkan kepulangan Galih tatkala adiknya tengah berguru mengaji. Apa yang Galih lakukan? Dia menyalakan walkman sambil membantu pekerjaan ibunya. Rangkaian momen ini menguatkan penokohan. Bahwa meski hidup di satu lingkungan dalam kondisi tertentu, seseorang tetap bebas, tidak harus mengikuti arus utama yang mana selaras pula dengan pilihan anti-mainstream karakternya pada musik. Yep, sounds hipster indeed.
Apabila diibaratkan lagu, pendekatan Lucky Kuswandi bagai balada dengan dominasi petikan gitar akustik. Sebuah romansa low key yang mengalun lembut dan konsisten, serta lirih minim gejolak namun tetap manis berkat komposisi tepat. Nampak bagus nan elegan pula visualnya berkat sinematografi Arifin Cuunk. Untuk penonton yang terbiasa akan suguhan menggelora, keputusan meminimalisir dramatisasi mungkin bakal menurunkan daya bunuh, apalagi meski bittersweet, konklusinya enggan berderai air mata. Tapi jikalau anda mencari tontonan romantis tanpa perlu menjadi cengeng dan menekankan pada sisi manis kala dua sejoli menjalin relasi ketimbang tearjerker manipulatif, maka "Galih & Ratna" ialah tontonan tepat.
Belum ada Komentar untuk "Galih & Ratna (2017)"
Posting Komentar