The Curse (2017)

Horor kita terlalu mengandalkan jump scare. Terkesan menggeneralisasi, tapi anggapan itu tidak sepenuhnya keliru. Setiap tahun, film yang tidak mengageti dengan penampakan berisik setan lima menit sekali bisa dihitung jari. Apa daya, masyarakat kita gandrung akan gaya tersebut. Buktinya Danur mampu mengumpulkan hampir 2,7 juta penonton, menjadikannya horor lokal terlaris sepanjang masa. Di antara segelintir sineas horor dalam negeri, Muhammad Yusuf (Kemasukan Setan, Misterius, Angker) termasuk paling potensial melahirkan kengerian hakiki. Sehingga sulit dipercaya saat The Curse  dengan segala impian tinggi yang dibebankan padanya  justru amat melelahkan disimak, kolam mengalami krisis identitas.

Filmnya membawa kita ke Melbourne, Australia tanpa tujuan terperinci kecuali demi hamparan kawasan rural serta sebuah pohon besar bau tanah nan mengerikan yang sepanjang durasi gemar Yusuh perlihatkan. Saya yakin pemandangan serupa sanggup ditemukan tanpa perlu ke luar negeri. Begitu pula alurnya, mengenai Shelina (Prisia Nasution), seorang pengacara asal Indonesia yang bekerja di law firm setempat dan tengah menangani kasus pembantaian. Shelina yang tengah menjalani proses perceraian mulai didatangi hantu di rumahnya. Secara bergantian, filmnya menyoroti penyelidikan Shelina di siang hari dan teror mistis di malam hari. 
The Curse bagai hendak menjiplak pencapaian low budget horror macam Under the Shadow, The Witch sampai The Babadook. Judul-judul itu mencengkeram lewat atmosfer sambil sesekali melempar penampakan yang terasa efektif lantaran dipakai seperlunya. Studi aksara pun disertakan biar atensi penonton tetap terjaga dalam pergerakan alur lambatnya. Seperti di Kemasukan Setan, Muhammad Yusuf menerapkan referensi serupa, hanya saja kali ini ia kolam terjebak di antara keinginan menciptakan slow-burning horror dan menuruti usul pasar melalui seabrek jump scare. Alhasil tercipta krisis identitas. 

Film ini setipe Danur. Hantu menampakkan sosoknya terlalu sering. Bedanya sela-sela teror dijejali adegan lambat dan shot statis berisi pemandangan. Dua formula berlawanan itu tidak sinkron. Terlebih tempo pengadeganan Yusuf tak substansial membangun atmosfer, asal lambat, menyeret, pula pretensius, termasuk ketika sinematografi Satya Ginong (penata kamera langganan Yusuf) lebih mementingkan gambar artsy ketimbang suasana mencekam. Serta merta melambatkan (bahkan meniadakan) gerak kamera dan menggunakan gambar ber-tone "dingin" tidak berbanding lurus dengan atmosferik. Pemilihan sudut hingga pemanfaatan lingkungan wajib pula diperhatikan. 
Dua jump scare cukup efektif memancing kejut, yakni kemunculan pertama dan terakhir. Penampakan pertama disebabkan kesan "tiba-tiba" sesudah rangkaian kesunyian, pun yang terakhir, tatkala kita menduga semua telah berakhir, urung menduga filmnya masih menyimpan satu kejutan. Sisanya medioker. Untuk apa static shot dan gerak kamera perlahan pemancing observasi penonton akan tiap sudut ruangan, kalau ujungnya teror dihukum menggunakan perpindahan adegan mendadak? Lagi-lagi, itu dua jenis formula berlawanan dan tidak selaras. Menggabungkannya secara paksa menghasilkan trik murahan yang terasa menipu. 

Bicara soal menipu, rupanya jalinan ceritanya pun demikian. Persoalan eksklusif Shelina alih-alih menghasilkan studi psikis aksara justru dilupakan seutuhnya. Begitu pula kasus yang ia tangani, tak lebih dari pengecoh sebelum kisahnya beralih ke kasus lain yang melibatkan Leann (Shareefa Daanish). Konsep menarik perihal roh pembawa pesan pun tidak lagi penting ketika kehadiran mereka sekedar berfungsi menakut-nakuti. Semakin parah di babak konklusi sewaktu Yusuf memberi penjelasan out-of-nowhere mengenai asal para hantu sekaligus membangun ambiguitas perihal kemampuan Shelina (kemungkinan untuk bahan sekuel). Ambiguitas yang gagal memancing minat mencari tahu lebih lanjut alasannya ialah sepanjang durasi kemampuan Shelina itu sebatas tempelan.

Prisia Nasution berusaha sekuat tenaga memberi nyawa lewat aktingnya, pun Shareefa Daanish walau porsi kemunculannya lebih sedikit. Namun performa keduanya dirusak oleh penulisan obrolan klise menggelikan. Tengok ketika Shelina membahas pemindahan persidangan kliennya ke Indonesia yang terdengar bagai obrolan orang awam ketimbang pengacara kelas atas. Atau tiap kalimat dari Leann yang menyerupai diambil dari FTV percintaan remaja. Kualitas jelek ADR (Automated dialogue replacement), menciptakan obrolan terdengar kurang natural, akibatnya emosi yang seharusnya ada urung tersalurkan maksimal, melemahkan akting Prisia dan Shareefa. Emosi lewat ekspresi kuat, tetapi tidak dari tuturan verbal. 

Belum ada Komentar untuk "The Curse (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel