Surau Dan Silek (2017)
"Film daerah", begitu film yang kental unsur budaya suatu kawasan sekaligus melibatkan banyak SDM setempat jamak disebut. Ketepatan istilah tersebut layak diperdebatkan, tapi satu hal pasti, geliatnya menarik disimak. Meski dari segi kualitas belum seberapa memukau, judul-judul macam Uang Panai' (2016) atau Silariang: Menggapai Keabadian Cinta (2017) terbukti laku di pasaran. Kini giliran Surau dan Silek selaku debut penyutradaraan sekaligus penulisan naskah dari Arief Malinmudo mengangkat tradisi silat Minangkabau, sayangnya masih dihiasi kelamahan fundamental di sana-sini.
Masalah utama "film daerah" selalu pada proporsi cerita, ingin bertutur sebanyak mungkin, membuatnya terlampau penuh. Surau dan Silek serupa. Awalnya kita berkenalan dengan trio protagonis cilik, Adil (Muhammad Razi), Dayat (Bima Jousant) dan Kurip (Bintang Khairafi) yang mencar ilmu silat dari Rustam (Gilang Dirga). Walau tekun berlatih, keterbatasan ilmu Rustam urung membawa ketiganya menjuarai turnamen. Menyadari itu dan aib akhir hidupnya tak kunjung berkembang, Rustam pun merantau, meninggalkan murid-muridnya. Kemudian Rustam sepenuhnya menghilang, gres muncul lagi sekilas menjelang akhir, meninggalkan tanya akan signifikansi perannya.
Karakter Rustam memang tak penting, sekedar digunakan menyinggung kebiasaan merantau bagi cowok Minang, yang mana bukan fokus utama cerita. Ada atau tidak, Rustam tak mempengaruhi proses Adil, Dayat, dan Kurip mencar ilmu soal keseimbangan rohani dan jasmani melalui silat (silek). Tugas itu diemban Johar (Yusril Katil), dosen ternama dari Yogyakarta sekaligus mantan pahlawan yang gres mudik bersama sang istri, Erna (Dewi Irawan). Apa perlunya mengadakan tokoh Rustam kalau kemudian kiprahnya diambil alih? Apa perlunya Johar dan Erna muncul sedari awal, sesekali tampak melaksanakan remeh temeh sehari-hari? Apa perlunya "menyembunyikan" dahulu identitas Johar sebagai andal silat?
Banyak sisi kurang penting diselipkan oleh Arief Malinmudo, entah insiden singkat maupun tokoh, sebutlah Arini (Randu Arini) yang bukan sidekick atau love interest sampai Cibia (Praz Teguh) si comic relief serba tanggung. Kondisi tersebut menyebabkan kisahnya menggelembung, di mana makin banyak tokoh hadir, makin banyak pula peristiwa. Arief Malinmudo sendiri belum piawai merangkai narasi seramai itu, terbukti kala menangani beberapa momen yang bertubrukan di satu waktu, perpindahannya berangasan daripada dinamis. Untung penuturan sang sutradara cukup rapi dalam narasi linier, didukung juga oleh pacing solid.
Meniadakan yang seharusnya tidak ada, mengadakan yang seharusnya tiada. Kekurangan naskah itu turut melemahkan penghantaran pesan menarik soal bagaimana seharusnya silat (fisik) berjalan beriringan dengan ibadah (batin). Benar kita melihat pasca menjalani dua hal itu bersamaan, Adil berubah dari bocah pemarah jadi lebih sabar di keseharian, pula hening menghadapi kesulitan di gelanggang pertarungan, tetapi prosesnya berlalu sekejap, hanya lewat training montage singkat. Padahal seseorang, apalagi bocah, niscaya melewati perjalanan terjal sebelum menuntaskan tahap perkembangan itu. Tanpanya, Surau dan Silek terkesan preachy, memposisikan ibadah kolam sihir yang sanggup mengubah orang seketika, di ketika semestinya ada pergolakan dan kesulitan.
Surau dan Silek juga terjebak di bermacam-macam kebetulan dalam presentasi alur, yang mana paling kentara sewaktu aktivitas lomba IPS Kurip dijadwalkan berbarengan dengan turnamen silat. Tambah mengganggu tatkala balasannya dilema itu urung menghasilkan signifikansi, usai begitu saja. Mencapai titik puncak turnamen pun, Arief Malinmudo gagal menghadirkan intensitas akhir seadanya menangkap tiap detail koreografi silat, ditambah ketiadaan rule turnamen jelas. Penonton sekedar diajak melompat dari satu pertarungan ke lainnya.
Masihkah film ini sanggup dinikmati? Rupanya masih berkat akting maksimal cast anak-anak. Muhammad Razi cukup cakap melakoni porsi drama bermodalkan ekspresi sempurna guna, sedangkan Bima Jousant mencuri perhatian berkat kepiawaian dalam bertingkah menggelitik. Chemistry natural ketiga protagonis mendorong interaksinya menyenangkan disimak, menciptakan saya tidak keberatan berkeliling kota mengikuti mereka mencari guru silat. Di jajaran penampil dewasa, sayang sekali porsi Erna tergolong minim, alasannya Dewi Irawan dengan kelembutan tutur yang membungkus kepedihan terpendam berpotensi menguras emosi.
Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID & Indonesian Film Critics
Belum ada Komentar untuk "Surau Dan Silek (2017)"
Posting Komentar