Trolls (2016)
Merupakan produksi studio animasi yang filmnya terdiri atas sekumpulan hit-and-miss, mengambil wangsit dari sebuah mainan bernama Troll doll, serta disutradarai oleh Mike Mitchell yang menghasilkan "Deuce Bigalow: Male Gigolo" hingga "Shrek Forever After" selaku installment terburuk "Shrek", "Trolls" mirip bakal menjadi satu lagi film forgettable milik DreamWorks berisikan slapstick kekanak-kanakan dan petualangan bertempo cepat yang terasa kosong. Namun begitu visual warna warni kolam cup cake terhampar disusul hentakan mengasyikkan medley "Move Your Feet" / "D.A.N.C.E." / "It's a Sunshine Day", terang bahwa "Trolls" bukan hidangan medioker.
Troll yaitu makhluk kecil yang selalu bahagia, mengisi hari dengan bernyanyi, menari, berpelukan tiap jam. Alkisah, Troll selalu jadi incaran Bergen, raksasa yang tak pernah merasa bahagia. Hanya ada satu cara biar Bergen menerima kebahagiaan: memakan troll. Karena itu tiap tahun Bergen mengadakan ekspo Trollstice guna memakan para troll. Setelah hidup tenang selama 20 tahun, persembunyian troll berhasil ditemukan, di mana beberapa dari mereka tertangkap oleh Bergen. Merasa bertanggung jawab, Poppy (Anna Kendrick) sang puteri tetapkan pergi ke kota Bergen Town demi membebaskan teman-temannya, ditemani Branch (Justin Timberlake), satu-satunya troll yang menolak bersenang-senang dan tubuhnya berwarna kelabu.
Mengusung tagline "Find your happy place" film ini punya pesan terang yang oleh Jonathan Aibel dan Glenn Berger pun dituangkan ke dalam naskah secara gamblang tapi tidak dangkal berkat konstruksi berpengaruh berupa karakterisasi. Bergen menyerupai perwakilan penguasa lalim yang memperoleh kebahagiaan mereka lewat penindasan dan merenggut kebahagiaan pihak lemah. Branch tidak, atau lebih tepatnya menolak bahagia, sedangkan Poppy yaitu gadis yang selalu senang sekaligus naif, memandang segala hal sebagai keindahan. Sayangnya perjalanan alur urung mengeksplorasi pendewasaan Poppy, berkesimpulan jikalau perilaku Poppy merupakan pilihan terbaik. Namun bukan duduk kasus mengingat kecocokan pesan tersebut bagi belum dewasa (target penonton utama).
Penokohan kontras Poppy dan Branch membuat interaksi menarik pada petualangan keduanya, tapi daya pikat terbesar terletak di visualnya. Media animasi memberi jalan suatu film merealisasikan visi yang sulit dicapai live action, dan "Trolls" memaksimalkan kelebihan itu melalui warna-warna mencolok ditambah keabsurdan desain abjad dan lokasi membuat pemandangan mempengaruhi bagi sebuah trippy adventure. Saya bagai melihat dunia kreatif ciptaan para artis yang dalam proses pembuatannya sedang "high". Coba tonton "Trolls" dan "Doctor Strange" secara bergantian, pasti pengalaman hallucinogenic bakal anda dapatkan. Soal desain karakter, para troll yaitu sosok likeable berhiaskan tampilan fisik unik juga ciri khas masing-masing. Di samping duo protagonis, Guy Diamond (Kunal Nayyar) sang troll berlapis glitter dan bersuara autotune paling mencuri perhatian.
Salah satu penyakit animasi dengan fokus hiburan semata yakni penggunaan asal lagu pop penguasa chart lagu, tapi tidak dengan "Trolls" yang mempunyai Justin Timberlake sebagai produser direktur soundtrack-nya. Sederet nomor semisal "Can't Stop the Feeling" hingga "Get Back Up Again" bukan saja catchy, namun tepat mengiringi adegan, memunculkan kesesuaian situasi sekaligus emosi. Mike Mitchell bersama Walt Dohrn di dingklik penyutradaraan merangkum momen musikalnya penuh kepekaan rasa. Tatkala lagu upbeat menyentak, kebahagiaan sebagaimana pesan utama filmnya berhasil tersampaikan. Bahkan lantunan balada "True Colors" terasa romantis, indah pula menyentuh.
"Trolls" masih terjebak permasalahan standar berupa resolusi konflik yang terlalu menggampangkan, mengurangi dampak emosional pada babak akhir. Walau demikian, kekurangan tersebut tak hingga menghancurkan kesenangan yang dibangun sedemikian baik selama kurang lebih satu setengah jam durasi. "Trolls" merupakan pencapaian yang tak selalu sukses DreamWorks lakukan, yaitu racikan tepat antara drama solid dengan hiburan menyenangkan berpadu kreatifitas tinggi. One of their best in years.
Belum ada Komentar untuk "Trolls (2016)"
Posting Komentar