Triangle: The Dark Side (2016)

Saya ingat kerap menghabiskan masa kecil duduk di depan televisi, dibentuk terperangah oleh agresi sulap Deddy Corbuzier. Fast forward sekitar lima belas tahun kemudian tepatnya ketika ini, image sang mentalist telah berubah begitu banyak. Vakum dari dunia sulap dan lebih dikenal lewat tingkah sekaligus komentar arogan, he's basically the magician version of Ahmad Dhani. Mengundang atensi melalui tiga film pendek "Triangle" yang sempat mencuatkan konflik dengan Gareth Evans akhir ketiadaan gaji sekaligus minimnya pengamanan dalam pengemasan adegan fighting, Deddy hasilnya merilis versi film panjang yang mempunyai sub-judul "The Dark Side".

Film ini dibuka dengan credit sequence yang cukup stylish dan mengingatkan pada gaya Nayato Fio Nuala. Awalnya saya optimistis. Barangkali itu kebetulan dan Deddy selaku sutradara memang punya visi guna mempercantik tampilan filmnya. Sampai hasilnya nama director of photography terungkap, yang tak lain dan tak bukan ialah Nayato sendiri. Makin was-was ketika saya mendapati bahwa Deddy tidak menyutradarai "Triangle: The Dark Side" sendirian, melainkan berduet bersama Ian Nguyen Lampa, yang sebagaimana kita ketahui merupakan nama alias lain Nayato Fio Nuala. 
DNA Nayato mengalir kencang pada teknik pengadeganan khususnya tata visual dengan setumpuk gaya yang sejatinya tak perlu diaplikasikan  pencahayaan kelewat gelap, freeze transition antar adegan, beberapa camera angle "unik", dan lain sebagainya. Nayato memang selalu style over substance di mana rentetan gaya di atas tak mempunyai signifikansi bahkan cenderung menurunkan kualitas film. Koreografi agresi sejatinya cukup baik khususnya kala Deddy memamerkan teknik wing chun. Tapi camerawork Nayato membunuh potensi terciptanya pertarungan memikat. Seolah ingin menjadi Paul Greengrass, shaky cam kerap digunakan. Kombinasikan teknik tersebut dengan gelapnya pencahayaan plus resolusi gambar yang rendah, anda harus siap pusing meski kepala tidak ikut terkena pukulan.

Paling mengecewakan tentunya kemunculan Chris John. Mungkin bermodal teknik bela diri miliknya dan gaya tinju Chris John, Deddy berniat menghadirkan pertarungan serupa Donnie Yen-Mike Tyson di "IP Man 3", namun pengemasannya medioker  terlalu cepat berakhir, tanpa perjuangan membangun intensitas, koreografi ala kadarnya. Ditambah lagi, bukan Chris "The Dragon" John sang juara tinju dunia dalam kondisi prima yang kita dapat, melainkan Chris John bertubuh tambun yang terlihat awkward baik ketika memamerkan jurusnya maupun melontarkan baris kalimat.
Naskah yang ditulis Haqi Achmad, Deddy Corbuzier, Chika Jessica dan Volland Humonggio turut meramaikan parade keburukan "Triangle: The Dark Side". Pada aspek inilah kita sanggup mencicipi Deddy Corbuzier beserta ambisi besarnya menyuguhkan kompleksitas menjatuhkan kualitas penceritaan. Terlampau banyak huruf diperkenalkan sambil kemudian semata-mata demi menggambarkan kacaunya kehidupan sang protagonis  Maya Muaya, Sys NS, Chris John  atau sebagai comic relief tak lucu  Asri Welas, Babe Cabita. Ketiadaan substansi terperinci kentara, alasannya ialah tanpa kehadiran mereka pun alur film takkan terganggu, bahkan besar kemungkinan lebih tertata pula tergali mendalam.

Karakter Deddy digambarkan mengalami trauma akhir ajal sang istri (Sandra Dewi). Itu pula yang mendorongnya ingin berhenti bekerja sebagai pembunuh. Maka dari itu ketika muncul Chika Jessica selaku love interest baru, penonton harus dibentuk percaya bahwa sang perempuan punya kelebihan sehingga Deddy mau beranjak dari masa lalunya. Tapi yang muncul hanya romansa cheesy penuh obrolan dangkal "aku sayang kamu" khas FTV. Bertambah menggelikan melihat Deddy yang sepanjang film berusaha memasang mulut "tough guy" mendadak tersenyum, malu-malu kucing di depan Chika. Tidak perlulah terus menerus menekuk muka agar terlihat macho. Tengok Vin Diesel dan Dwayne Johnson. Keduanya juga botak, kekar, dan tampak berpengaruh tanpa harus memasang muka constipated. 

Twist di ahir memang dipaksakan kemunculannya, hanya memikirkan daya kejut tanpa memperhatikan keterkaitan dengan apa yang telah dibangun sepanjang durasi, namun ending-nya yang menciptakan saya menurunkan evaluasi terhadap film ini. Itu bukan konklusi film, melainkan langkah marketing (a bad one) yang mengkhianati penonton. Bayangkan anda membayar puluhan ribu rupiah dan alih-alih diberikan proper ending malah dipaksa membeli buku karya "the one and only" Damien Dematra. "Triangle: The Dark Side" bersama-sama sanggup menjadi sajian agresi menghibur andai dibentuk oleh filmmaker yang paham cara mengeksekusi action yang baik.


Ticket Sponsored by: Bookmyshow ID

Belum ada Komentar untuk "Triangle: The Dark Side (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel