The Last Barongsai (2017)

Dion Wiyoko bermain di sebuah film wacana dilema seorang cowok dari keluarga etnis Cina yang harus menentukan mengejar mimpi dan kesuksesan di luar negeri atau meneruskan tradisi yang bertahun-tahun dijalankan oleh ayahnya. Sementara itu, sang ayah masih belum beranjak dari sedih sesudah istrinya meninggal. Bukan, itu bukan sinopsis "Cek Toko Sebelah", melainkan "The Last Barongsai" karya Ario Rubbik ("Satu Jam Saja", "Hijabers in Love") selaku penyesuaian novel berjudul sama buatan Rano Karno. Kemiripan yang tidak disengaja (novelnya terbit tahun 2010), tapi perbandingan terang sulit dihindari, menambah beban film ini. 

Sejatinya "The Last Barongsai" punya bekal unik berupa tradisi barongsai yang masih jarang diangkat dalam film lokal (setahu saya gres ada "Silent Hero(es)" rilisan 2015). Cerita dibuka ketika Aguan (Dion Wiyoko) berhasil meraih beasiswa untuk kuliah di Singapura. Tapi ketiadaan biaya hidup sehari-hari memunculkan masalah, padahal bisnis mebel sang ayah, Kho Huan (Tio Pakusadewo) sedang sepi konsumen. Kho Huan sendiri dahulu mempunyai sanggar barongsai yang ia tutup sesudah kepergian sang istri, dan permintaan kejuaraan nasional pun tak beliau acuhkan. Sedangkan adik Aguan, Sari (Vinessa Inez) kesal lantaran merasa ayahnya lebih memperhatikan sang kakak, kemudian menentukan menyembunyikan pemberitahuan kenaikan biaya sekolah. 
Suatu hari Aguan menemukan permintaan perlombaan yang disembunyikan Kho Huan. Ketika Kho Huan kukuh menolak membangkitkan lagi sanggar barongsai, Aguan nekat ikut serta, mengabaikan larangan ayahnya. Sepanjang film saya bertanya-tanya, apa motivasi Aguan begitu berhasrat mengikuti lomba, walau berpotensi menggagalkan impiannya ke Singapura? Apakah uang ibarat yang selalu ia katakan pada Kho Huan? Kenangan masa kemudian termasuk pesan terakhir sang ibu? Kecintaannya pada barongsai? Atau demi menjaga tradisi yang terancam punah? Masing-masing alasan akan menimbulkan perilaku berlainan, dan kecuali lewat satu kalimat Aguan menjelang akhir, naskah garapan Titien Wattimena luput menaruh kejelasan. Begitu pun soal Sari yang tampak selalu menyalahkan kakaknya. 

Kealpaan di poin tersebut melemahkan proses karakternya berdamai dengan diri sendiri dan mengesampingkan ego. Ambiguitas motivasi menyulitkan guna memahami pergulatan batin mereka, sehingga yang terlihat hanya dua bersaudara egois, di mana sang abang tak membantu dan menghargai usaha ayahnya, dan sang adik yang melulu bersikap ketus, menyalahkan orang lain penuh amarah seolah dirinya paling menderita. Mereka pun berakhir tidak simpatik, menanggalkan kehangatan relasi keluarga yang semestinya dibangun. Resolusi mendadak nan dipaksakan tatkala Titien menentukan jalan keluar gampang pula klise dalam menuntaskan problem (duduk berkontemplasi mencurahkan isi hati) makin melemahkan proses transformasi karakternya. 
Aliran alur juga berjalan tidak mulus, lantaran penceritaan kerap berkutat terlalu usang di satu titik, menampilkan situasi-situasi tak perlu semisal kala ada dua adegan Aguan membaca surat di waktu berdekatan. Gaya bertutur Ario Rubbik tergolong cukup lambat, tapi problem utamanya ialah ketika tempo itu urung dibarengi ketiadaan progres. "The Last Barongsai" semakin bertele-tele sewaktu lebih sering bicara daripada menunjukkan. Berulang kali film ini bicara soal menjaga tradisi tanpa pernah memperlihatkan keindahan, signifikansi, imbas terhadap masyarakat, dan sebagainya selaku penguat opini wacana pelestarian. Penonton dipaksa menelan bulat-bulat pesan yang melulu dikemas menggunakan bahasa verbal, menjadikan filmnya terkesan banyabicara pula repetitif. 

Bermodalkan tradisi barongsai, sungguh disayangkan film ini kerap membuang waktu berputar di momen tak substansial dan mengesampingkan kegiatan bermain barongsai. Mudah "pertunjukkan barongsai" hanya tampil sekitar 15 menit simpulan berisi montage latihan (terlampau) pendek serta perlombaan yang dikemas seadanya. Ario Rubbik bagai kurang memahami cara membangun tensi, sementara tata kamera Iqra Sembiring gagal menangkap momen dari sudut yang sanggup memancing ketegangan yang justru didominasi reaction shot para penonton dan juri. Padahal kita tengah membicarakan lomba barongsai yang dipenuhi agresi akrobatik berbahaya. 
Lemahnya drama keluarga sekaligus porsi pertunjukkan barongsai menjadikan performa berpengaruh beberapa cast-nya sia-sia. Dion Wiyoko terlihat capable secara skill dan kemampuan fisik apabila diharuskan memainkan barongsai lebih jauh lagi. Dia pun nampak berusaha semaksimal mungkin menangani momen dramatik walau tanpa ditunjang bahan memadahi. Tio Pakusadewo ibarat biasa ialah magnet. Luapan emosinya mencekat, dibalut pembawaan natural dalam tiap gerak dan tutur kata. Momen interaksi Tio bersama Rano Karno selalu menimbulkan kenikmatan hasil kematangan akting dua penampil senior yang tahu caranya menghidupkan dialog sederhana. Aziz Gagap tidak buruk, meski pemilihannya menimbulkan pertanyaan disebabkan minimnya humor yang sekalinya muncul gagal mengundang tawa. Bukan sepenuhnya salah Aziz, mengingat lemahnya timing.

Penggarapan "The Last Barongsai" tolong-menolong cukup mumpuni, terutama tata artistik Ezra Tampubolon dalam totalitasnya merangkai detail penguat nuansa lingkungan daerah tinggal keluarga etnis Cina termasuk penempatannya yang nampak cantik. Sinematografi Iqra Sembiring meski kurang piawai merangkum adegan dinamis nyatanya memikat kala soal komposisi gambar momen drama yang minim pergerakan. Demikian pula scoring dengan sedikit balutan unsur Tionghoa dari Purwacaraka. Bukan suatu suguhan spesial, namun cukup mewakili suasana sekaligus setting. Tapi segalanya menjadi percuma ketika semua sisi penceritaan "The Last Barongsai"  tradisi, drama ayah-anak, gejolak personal tokoh  gagal mencapai tujuan. 

Belum ada Komentar untuk "The Last Barongsai (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel