The Handmaiden (2016)
Bagai ruang bawah tanah yang jadi salah satu lokasinya, "The Handmaiden" menyimpan banyak belakang layar di balik kegelapan yang siap mengejutkan kala silih berganti diungkap keberadaannya. Park Chan-wook bersama Chung Seo-kyung menulis naskahnya, mengadaptasi novel "Fingersmith" karya Sarah Waters, memindahkan setting dari masa Victorian menuju masa kolonialisme Jepang di Korea Selatan. Mengetengahkan seksualitas khususnya sadomasokisme, kesan kinky tak bisa dihindari, namun urung berujung murahan berkat visi elegan Park Chan-wook, kisah penuh twist, pula unsur feminisme sekaligus perlawanan atas penjajahan.
Serupa novelnya, film dibagi menjadi tiga bagian, di mana masing-masing punya sudut pandang berbeda. Bagian pertama menuturkan rencana penipuan oleh Count Fujiwara (Ha Jung-woo) terhadap Kozuki (Cho Jin-woong), kolektor buku yang menentukan berpindah kewarganegaraan Jepang alasannya yakni menurutnya Jepang lebih indah ketimbang Korea. Rencana Fujiwara yakni menikahi ponakan Kozuki, Hideko (Kim Min-hee) selaku mahir waris, membuangnya ke rumah sakit jiwa (Hideko sering histeris akhir trauma pasca bibinya meninggal gantung diri), kemudian menguasai seluruh harta. Untuk itu ia mengirim pencopet berjulukan Sook-hee (Kim Tae-ri) guna menyamar sebagai pelayan langsung Hideko, meyakinkannya biar mau menikahi Fujiwara.
Menuliskan insiden selanjutnya bakal menghasilkan spoiler, namun pada dasarnya paruh kedua yang kental unsur studi perkara freudian mengisahkan masa kemudian Hideko, sedangkan belahan ketiga dituturkan lewat sudut pandang Fujiwara, berfungsi merangkum konklusi cerita. Setiap babak ditutup oleh twist yang tak terduga kehadirannya, meninggalkan imbas kejut juga rasa penasaran. Setiap kejutan memunculkan pertanyaan, materi gres sebagai materi eksplorasi babak berikutnya, memberi daya sehingga alur bisa terus bergulir menarik selama 145 menit. Penonton diposisikan kolam orang polos yang tidak tahu apapun, berulang kali tertegun mendapati belakang layar kelam tiap tokoh.
Apakah karakternya memang menyerupai yang terlihat di permukaan? Ataukah semua itu bentuk kepalsuan? Atau justru kepalsuan itu bentuk kepura-puraan dan mereka memang aktual sebagaimana adanya? Filmnya memicu bulat pertanyaan tak berujung berkat kecerdikan naskah memainkan struktur alur. Ambiguitas serupa turut diciptakan departemen akting tatkala Kim Tae-ri dan Kim Min-hee sama-sama mengakibatkan kepolosan tokohnya patut dipertanyakan. Sook-hee naif, emosional, tapi biar bagaimanapun seorang penipu. Sedangkan Hideko polos, namun auranya dingin, bagai jenazah hidup tanpa perasaan. Selalu timbul makna ganda pada tatapan mata atau respon kedua aktris atas bermacam-macam situasi sewaktu dilihat dari aneka macam sisi.
Kecuali dua lesbian sex scene, seksualitas urung dipaparkan vulgar, namun melalui adegan bathtub yang melibatkan gigi dan permen atau pembacaan buku erotis yang membuat pendengarnya (para laki-laki bersetelan jas) duduk tegang merapatkan kaki sembari menahan nafas, Park Chan-wook mampu memaparkan sensualitas bertensi tinggi termasuk yang menyokong kekerabatan antar karakter. Kekerasan pun tidak mendominasi meski terdapat adegan sadomasokis yang akan menciptakan pecinta "Fifty Shades of Grey" malu, atau kebrutalan singkat menjelang akhir, menandakan bahwa Park Chan-wook masih bisa menghadirkan kekerasan menyakitkan serupa "Oldboy" dahulu.
Seksualitas "The Handmaiden" substansial menyimbolkan pemberontakan, hingga perlawanan feminisme terhadap pemenjaraan. Sook-hee dan Hideko bernasib sama, terjebak, dikekang oleh laki-laki dalam kehidupan mereka (patriarki). Keduanya dimanfaatkan kolam alat demi mendapat kekayaan sekaligus pemuas hasrat para laki-laki bejat. Pada sebuah adegan, Kozuki memaksa Hideko kecil membaca buku erotis, bahkan dengan santai menjabarkan kisah sensual, menciptakan penonton jijik, memancing kebencian atas opresi pula pemanfaatan perempuan untuk memuaskan nafsu semata. Seiring waktu, terjalin ikatan berpengaruh didasari cinta serta hasrat antara dua tokoh utama, memunculkan kekuatan guna meruntuhkan kekangan tersebut.
Begitu interior rumah Hideko diperlihatkan satu demi satu, desain artistik Ryu Seong-hie seketika mencuri spotlight melalui perpaduan elegan gaya Eropa dan tradisional Jepang yang memperhatikan detail, baik pemilihan warna hingga susunan simteris perabot. Sinematografi garapan Chung Chung-hoon kerap memakai landscape, menangkap tepat keindahan segala sisi tata artistik secara menyeluruh. Kozuki diceritakan meminimalisir saluran sinar matahari demi menjaga ketahanan fisik buku-bukunya, menghasilkan suasana kelam di antara keindahan estetika tiap penjuru rumah, serupa guliran alurnya yang menyimpan setumpuk belakang layar gelap.
Belum ada Komentar untuk "The Handmaiden (2016)"
Posting Komentar