Marrowbone (2017)

Memasuki sekitar 20 menit durasi, ketika huruf dalam Marrowbone pertama kali menemui bencana misterius, salah seorang penonton berujar, "nah, mulai ini, mulai". Sebuah ungkapan kelegaan lantaran penampakan hantu tak kunjung muncul. Ekspresi yang wajar, terutama kalau anda berharap disuguhi konsep haunted house sesuai formula. Tapi bagi penonton yang menaruh perhatian lebih, atau tahu bahwa debut penyutradaraan Sergio G. Sanchez (sebelumnya menulis naskah The Orphanage dan The Impossible) ini menonjolkan drama, teror itu telah berlangsung beberapa saat. Teror tersebut berjulukan duka, yang menguji ikatan kekeluargaan empat bersaudara Marrowbone.

Jack (George MacKay), Billy (Charlie Heaton), Jane (Mia Goth), dan Sam (Matthew Stagg) terpaksa merahasiakan maut ibu mereka supaya sanggup tetap hidup bersama seiring problem aturan dan kejaran sang ayah. Apa perbuatan ayah urung seketika dijabarkan, kecuali pernyataan betapa kejam dirinya. Turut mampir dalam kehidupan keluarga Marrowbone yakni Allie (Anya Taylor-Joy) yang dengan cepat memikat hati Jack, si sulung. Terjadinya sebuah bencana membawa alurnya melompat maju enam bulan, ketika makhluk tak kasat mata sudah menghantui kehidupan karakternya. 
Marrowbone bukan cuma perihal menakut-nakuti, tepatnya tidak melalui cara "tradisional". Dalam kekosongan ruang dan kain putih yang membungkus cermin rapa-rapat, Sergio G. Sanchez menyulut ketakutan terhadap ketiadaan serta ketidaktahuan. Tanpa tahu bentuk pastinya, penonton dibentuk yakin sosok mengerikan siap menyergap dari balik sudut-sudut gelap rumah keluarga Marrowbone, yang berkat sinematografi garapan Xavi Gimenez, punya atmosfer mencekam. Sayangnya, saat Sergio mulai mengatakan hantu walau sedikit, pesona atmosferik filmnya agak menguap. Jump scare yang jumlahnya sanggup dihitung jari sesekali menyentak, diiringi tata bunyi mengejutkan plus scoring "memburu" ala thriller lawas buatan Fernando Velazquez.

Kejadian sebelum lompatan waktu alurnya, gangguan hantu, perbuatan sang ayah, semua disimpan sampai third act, termasuk lewat keberadaan twist. Jika anda menggemari horor, tentu tak sulit menebak arahnya. Tapi ketimbang "seberapa mengejutkan", lebih penting memperhatikan seberapa cerdik penulis naskah menebar petunjuk subtil semoga kejutannya tak terkesan membohongi. Di situ naskahnya cukup sukses, alasannya yakni begitu fakta diungkap, hal-hal yang tadinya nampak remeh mulai saling bertautan membentuk arti, walau jawaban yang disiapkan termasuk menggampangkan, memanfaatkan kondisi yang kerap jadi jalan pintas horor/thriller menjelaskan rangkaian kejanggalan. 
Terasa Istimewa tatkala twist, bahkan segala elemen horor digunakan mewakili tema-tema ibarat murung dan penyesalan dalam lingkup keluarga. Skenario milik Sergio ditulis dengan indah, melontarkan puncak emosi seiring tersibaknya tabir kebenaran, di mana setiap kengerian berujung mengandung makna lebih. Sergio menyadarkan bersama-sama substansi drama dan horor saling terkait. Apabila drama disusun atas dinamika yang melibatkan emosi negatif (sedih, marah, takut), maka horor menerjemahkan emosi tersebut ke dalam hal-hal seram. Marrowbone mengawinkan keduanya, menghasilkan horor dengan hati yang menyeimbangkan teror supernatural dan dongeng keluarga menyentuh. 

Keempat bintang film utama sama-sama solid. MacKay tampil meyakinkan sebagai perjaka dengan timbunan beban yang terus berlipat secara gradual akhir tekanan untuk menjadi kepala keluarga. Goth sebagai Jane tak kalah bermasalah, begitu ringkih apalagi ditambah mata sayunya. Heaton berani melawan typecast pasca dua isu terkini Stranger Things, memerankan Billy yang lebih "gampang panas" dibanding saudara-saudaranya. Sementara Stagg, meski paling muda justru kerap menjembatani penyaluran perasaan film kepada penonton. Jalinan chemistry mereka berempat sangat kuat, sehingga bakal sulit menahan haru sewaktu Marrowbone menampilkan shot terakhirnya.

Belum ada Komentar untuk "Marrowbone (2017)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel