Kartini (2017)
Saat kisah hidup seseorang diangkat ke film, ada beberapa kemungkinan. Antara namanya begitu besar, berpotensi mendulang uang, atau menyimpan relevansi terhadap informasi terkini. Kartini sang jagoan emansipasi mempunyai ketiganya. Kala feminisme makin sering diteriakkan termasuk di Indonesia, kehadiran ikon usaha perempuan negeri ini dalam layar lebar menjadi tak sekedar menarik, pula penting disimak. Sebab satu poin penting dari pemikiran Kartini, bahwa pergerakannya bukan semata manifestasi sakit hati atau hasrat kebebasan personal. Lebih dari itu, sifatnya komunal, meluas, menyangkut rakyat luas menentang kekangan sistem feodal.
Ditulis naskahnya oleh Bagus Bramanti (Dear Nathan, Talak 3, Mencari Hilal) bersama sang sutradara Hanung Bramantyo, film ini, walau banyak berkutat di lingkungan rumah Kartini (Dian Sastrowardoyo), turut menyelipkan citra kondisi sosial politik Indonesia, khususnya Pulau Jawa pada awal 1900 di bawah pemerintahan Belanda. Diceritakan tujuan hidup perempuan Jawa hanya menikah, melayani suami yang masuk akal kalau beristri lebih dari satu. Menginjak dewasa, perempuan dipingit, tinggal dalam kamar menanti pinangan pria. Wanita (dan rakyat miskin di luar golongan bangsawan) pun dipandang remeh, tidak semestinya memegang posisi penting macam Bupati.
Gambaran masa itu terpampang jelas, bagaimana sistem berdampak pada kasta masyarakat kemudian dampak kegigihan Kartini yang tak berhenti di diri sendiri, pula membuka jalan lapang bagi pihak lain di banyak sisi (pendidikan, ekonomi). Setidaknya pada tataran informasi semoga penonton tahu bagaimana situasi di mana filmnya bertempat, walau batasan durasi menghalangi beberapa detail tersampaikan. Misal kurangnya eksplorasi asal mula hubungan orang renta kandung Kartini, RM Sosroningrat (Deddy Sutomo) dan Ngasirah (Christine Hakim, Ngasirah muda diperankan Nova Eliza) yang substansif menawarkan kuatnya patriarki mengakar di sistem feodal. Informasi itu urung diberikan, padahal sifatnya penting, khususnya bagi penontom awam sejarah. Sebelum pemutaran, Hanung sempat menyatakan durasi terbatas menciptakan beberapa poin berpotensi kurang mendalam, untuk itu penonton dibutuhkan aktif membaca buku selaku salah satu sorotan utama alur. Lalu bagaimana dengan penonton yang cenderung familiar akan tokoh utama?
Bagi golongan penonton tersebut, Kartini urung memunculkan perspektif baru. Cukup membaca segelintir sumber, pemahaman serupa sanggup didapat. Terkait kedalaman, khususnya perihal feminisme, Kartini pun mengambil sisi begitu standar. Wanita dijajah pria, dijadikan pemanis kandang madu (atau burung dalam kandang berdasarkan simbolisme filmnya), kemudian melawan, baik secara sembunyi-sembunyi atau frontal membantah. Pandangan feminismenya (paling tidak dari kacamata saya) tepat, bukan misogyny berkedok pembelaan semu hak wanita. Namun dikala pergerakan tersebut makin sering didengungkan ditambah kompleksitas penerapan yang acap kali memancing perdebatan di beberapa kondisi, kesederhanaan tuturan itu takkan menyulut perbincangan atau pemikiran lanjut.
Sesungguhnya ada niat ke sana. Kartini teguh melawan tapi penuh perhitungan, mengandalkan pemikiran di balik jeruji penjara budaya, serta mau bernegosiasi demi win-win solution dan tujuan luas mirip keputusannya di simpulan ketimbang membabi buta menentang. Sebaliknya, banyak generasi kini terlampau dikuasai amarah, di mana penolakan penindasan laki-laki lewat verbal kebencian terhadap lawan jenis (which isn't the real feminism). Dalam satu adegan, Ngasirah mengibaratkan perbedaan perempuan berpengaruh Jawa dan Belanda lewat bentuk abjad Jawa yang mengenal tanda "pangkon". Mereka sanggup berdikari tanpa lupa berbakti entah untuk orang renta maupun suami. Bukan mengalah, melainkan tuntutan berpikir cerdik menyiasati kekangan. Dua adik Kartini, Roekmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha) memang berkata enggan menikah, namun pemikiran ini masuk akal, bahkan mesti dimengerti melihat nasib dominan perempuan Jawa selaku istri kala itu. Wajar penolakan berbasis stress berat pun rasa takut hinggap.
Sayangnya poin di atas sebatas pernak-pernik sekilas daripada fokus utama penceritaan. Seperti sudah disinggung, Kartini tak seberapa mendalam, alasannya orientasinya sendiri condong sebagai biopic hiburan. Karena itu pula penggunaan Bahasa Jawanya sepotong-sepotong, dan tidak menggunakan gaya di zamannya. Hanung berpengalaman menangani biopic serupa (Sang Pencerah, Sokearno, Rudy Habibie) dan penyutradaraannya makin baik. Masih terjebak gaya bertutur terlalu gamblang dalam keharusan menghadirkan tangis untuk momen sedih (plus umlah berlebihan teks narasi), dramatisasinya sanggup diterima khususnya berkat penempatan musik sempurna guna alih-alih eksploitasi kemegahan bunyi (alasan Surga Yang Tak Dirindukan 2 amat menyebalkan). Musik karya kerja sama Andi Rianto dan Charlie Meliala tidak sekedar megah, juga memorable, dan terpenting sesuai mewakili gelora usaha titular character.
Menghibur berarti gampang dinikmati, dan begitulah Kartini bergulir. Beberapa kali kesan episodik (penyakit umum film biografi) terasa dikala babak-babak hidup Kartini tampil silih berganti termasuk tokoh-tokoh tiba dan pergi, tetapi kematangan Hanung bercerita menjaga supaya pergerakannya halus, tidak melompat paksa nan bernafsu antar titik. Menambah daya hibur yaitu tata visual dari sinematografi Faozan Rizal. Aspek terbaik gambarnya terletak di kengganan Faozan Rizal "menyiram" tiap adegan dengan cahaya benderang. Pencahayaan difungsikan memberi karakter suatu momen, bukan asal menerangi. Dan keputusan menggunakan bayang-bayang gelap selain menambah kesan realis turut menguatkan tekstur, memperkaya sekaligus memperindah adegan.
Kartini merupakan salah satu film Indonesia dengan jajaran cast terbesar dipimpin kepiawaian Dian Sastrowardoyo memanusiakan Kartini. Berkatnya, Kartini tak hanya sosok kosong perwujudan inspirasi semata, melainkan perempuan muda muda biasa yang walau berjuang dikelilingi penderitaan, juga sanggup bertingkah jenaka terlebih ketika bersama Roekmini dan Kardinah. Di samping permainan tabiat mendalam sebagai Ngasirah yang memendam setumpuk derita, Christine Hakim jadi penampil dengan pengucapan Bahasa Jawa paling lancar, natural, lezat didengar. Djenar Maesa Ayu patut dipuji atas keberhasilan mendorong antipati penonton pada Moeryam meski ia berakhir sebatas keklisean ibu tiri kejam sewaktu potensi kerumitan perempuan yang tersudut ketiadaan pilihan urung ditelusuri naskahnya. Reza Rahadian berstatus glorified cameo belaka, pun porsi minim Adinia Wirasti, termasuk kemunculan kembali Sulastri tokoh peranannya yang dipaksakan ada demi mengakhiri konflik.
Belum ada Komentar untuk "Kartini (2017)"
Posting Komentar