Ip Man 3 (2015)

Filosofi dari seni bela diri Wing Chun adalah kebaikan, kesabaran dan kerendahan hati. Menguasai Wing Chun diharapkan membuat seseorang dipenuhi cinta kasih, bukan doyan pamer atau gampang terpancing amarah. Dalam dua film "Ip Man" garapan Wilson Yip yang menampilkan Donnie Yen, perilaku itu menonjol dalam laris sang titular character. Setelah dua installment mengesankan berisi action sequence memikat dan drama kemanusiaan hangat, hendak dibawa kemana lagi franchise ini? Donnie Yen sebelumnya menyatakan bahwa film kedua yaitu yang terakhir dikarenakan telah menutup kisah dengan sempurna. Apalagi seiring mencuatnya popularitas Ip Man beserta Wing Chun semenjak perilisan film pertama pada 2008, setidaknya ada tiga film lain yang mengangkat kehidupan sang master. Untungnya "Ip Man 3" melangkah ke jalur yang tepat dalam pengembangan cerita.

Kali ini perang dan penjajahan telah usai. Ber-setting tahun 1959, Ip Man (Donnie Yen) menjalani hidup sederhana bersama keluarganya sambil tetap mengajarkan Wing Chun. Meski namanya telah melegenda, Ip Man masih menjaga kerendahan hatinya. Namun bukan berarti tidak ada rintangan menghadang. Terdapat dua konflik dalam film ini. Pertama wacana rasa iri kepada popularitas Ip Man dalam diri Cheung Tin-chi (Zhang Jin) yang juga menguasai Wing Chun. Kedua, munculnya sebuah geng milik Frank (Mike Tyson) yang berusaha mengambil alih gedung sekolah demi membuat lahan bisnis. Ip Man beserta murid-muridnya bersedia melaksanakan penjagaan sampai larut malam di sekolah ketika pihak kepolisian tak banyak memberi bantuan. Tapi keputusan itu justru memercikkan konflik dalam rumah tangga Ip Man, ketika istrinya, Cheung Wing-sing (Lynn Hung) merasa tak pernah menerima perhatian dari sang suami.

Sesungguhnya bukan suatu kemustahilan untuk menyatukan ketiga konflik di atas. Tiga poin tidaklah terlalu banyak, apalagi dua diantaranya saling bersinggungan. Tapi naskah Edmund Wong teramat kacau dalam merajutnya menjadi satu. Tengok saja ketika memasuki sepertiga simpulan terjadi perubahan drastis dalam fokus yang sama sekali tidak mulus. Wong menyerupai kehilangan arah ketika harus menautkan dua konflik yang melibatkan Frank dan Cheung Tin-chi. Pada jadinya daripada kesatuan yang berkesinambungan, "Ip Man 3" terasa bagai dua film yang dipaksa melebur jadi satu. Sutradara Wilson Yip pun gagal mengangkat kualitas narasi dengan cara bertuturnya. Seringkali tercipta lompatan demi lompatan yang meninggalkan lubang menganga. Seolah ada banyak adegan mengalami pemotongan, membuat missing link dalam alur. Secara penceritaan, film ini amatlah berantakan.
Tapi menyerupai yang telah saya ungkapkan, secara pengembangan kisah, "Ip Man 3" sudah bergerak ke arah yang tepat. Arah yang dimaksud berupa selipan kekerabatan antara Ip Man dengan sang istri. Meski peduli pada sesama, dari dua film pertama terang terlihat bahwa Ip Man bukan sosok laki-laki yang jago menyuarakan romantisme pada wanita. Dia bukan laki-laki penuh kepekaan cinta. Dalam suatu adegan, Wing-sing menyiapkan makan malam bagi sang suami yang pulang larut. Biasanya penonton akan ditunjukkan follow-up manis berupa respon sang suami. Tapi disini tidak. Seusai makan, Ip Man justru meninggalkan catatan di bawah mangkok berisi undangan semoga Wing-sing menjahit kancing bajunya yang terlepas. Satu adegan menggelitik nan sederhana, tapi cukup sebagai penggambaran bagaimana interaksi pasangan ini, atau lebih tepatnya "kesulitan" yang dialami Wing-sing dalam membina rumah tangga bersama sang master.

Namun pada jadinya kita dipertunjukkan bahwa menyerupai Wing Chun itu sendiri, Ip Man yaitu laki-laki penuh kasih sayang meski terkadang tak tahu cara pengungkapan yang tepat. Wing-sing pun sama. Dia memang sering dikecewakan, tapi rasa cinta pada suaminya begitu besar. Pasangan ini tidak memenuhi kriteria romantis menyerupai pada umumnya, tapi terang saling mengasihi dengan cara mereka sendiri. Adegan perkelahian di lift antara Ip Man dengan anak buah Frank memperlihatkan itu. Saat Ip Man bertarung, Wing-sing terpaku di dalam lift dengan wajah penuh rasa khawatir. Ketika jadinya pintu lift terbuka dan ekspresi Wing-sing ketika melihat suaminya baik-baik saja menjadikan rasa haru. Itulah esensi bela diri milik Ip Man yang sejak film pertama coba ditunjukkan. Meski dipenuhi koreografi memikat, momen perkelahian terbaik selalu tiba ketika Ip Man bertarung demi sosok tercinta, bukan ketika diharuskan melawan puluhan orang sekaligus. Tiap pukulan berintensi melindungi yang terkasih, bukan melukai lawan, sehingga bukan glorifikasi kekerasan yang jadinya muncul. 
Film ini beruntung mempunyai Lynn Hung, lantaran fokus pada tiap ekspresinya lah kunci keberhasilan momen dramatik. Entah mata penuh kekhawatiran di dalam lift atau tatapan perenungan berisi kompleksitas rasa kala menemani sang suami berlatih, semuanya mampu menyuntikkan kekuatan emosi. Hal ini penting, lantaran Lynn Hung dipasangkan dengan Donnie Yen yang kita tahu berkali-kali lipat lebih baik ketika melakoni adegan agresi daripada drama. Disini pun Yen masih sama. Senyuman awkward dan ekspresi datar masih setia menghiasi wajahnya. Maka tidak heran ketika ia bisa (akhirnya) berekspresi mengeluarkan air mata, Wilson Yip menentukan berlama-lama meletakkan fokus kamera pada wajah Yen. Seolah ingin menandakan sang pemain film bisa berakting.....meski hanya di satu adegan.

Kemudian ada Mike Tyson, yang pertemuannya dengan Donnie Yen jadi materi promosi utama film ini. Dalam tugas penuh pertamanya (di "The Hangover" ia hanya cameo sebagai diri sendiri), Tyson terang memenuhi ekspektasi. Bukan lewat akting memukau, tapi sebagai lawan sepadan bagi Ip Man. Dengan pukulan super besar lengan berkuasa dan badan beton yang bisa menahan tiap jurus Wing Chun, seharusnya konfrontasi Ip Man-Frank menjadi titik puncak di akhir. Karena mau selama dan sebaik apapun koreografi Ip Man melawan Tin-chi, intensitasnya kalah jauh dibandingkan momen "Wing Chun versus boxing" yang juga lebih unik, alasannya yaitu kita sudah melihat koreografi kung-fu lebih memikat dalam film-film sebelumnya. Klimaks pun berujung anti-klimaks. Selain itu, konklusi kisah Frank pun terasa out-of-character. Memang ia digambarkan menyayangi keluarganya, tapi memberi epilog berupa penggambaran Frank sebagai petarung sejati? Apa petarung sejati mengirim anak buahnya demi membunuh Ip Man? Apa petarung sejati yang sayang anak rela menghancurkan sekolah? Butuh eksplorasi aksara lebih dalam untuk membuat saya mempercayai semua itu, meski rasanya kualitas akting Tyson tak akan bisa menjangkau kedalaman tersebut.

Bila harus dibandingkan, maka "Ip Man 3" berada di bawah dua film pendahulunya. Tapi sebagai penutup, film ini memperlihatkan simpulan tepat berisi kehangatan drama seorang master kung-fu yang mengabdikan hidupnya untuk kedamaian dengan bermodalkan cinta kasih. Bagi para penggemar Donnie Yen atau yang menyukai dua film pertama, maka  "Ip Man 3" tetap merupakan tontonan wajib yang cukup memuaskan. 

Belum ada Komentar untuk "Ip Man 3 (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel