Listen To Me Marlon (2015)
Marlon Brando is one of the greatest actor of all time, that's for sure. Total ia menerima delapan nominasi Oscar dengan dua diantaranya ("On the Waterfront" & "The Godfather") berhasil dimenangkan. Brando juga dianggap membawa revolusi bagi karakteristik akting dunia perfilman, dari pembawaan bigger than life era 30 hingga 40-an kearah pendekatan yang lebih realistis, lebih mendalam. Tapi tak bisa disangkal reputasinya acapkali tercoreng oleh perangai eksentrik dan populer sulit diajak bekerja sama dalam proses produksi film. Brando enggan menghafal naskah dan sering menggunakan cue card berisi obrolan yang ditempel di beberapa posisi (termasuk badan bintang film lain). Ketika memenangkan Oscar tahun 1973, ia tidak hadir dan diwakilkan oleh seorang gadis Indian sebagai bentuk protes sang bintang film terhadap ketidakadilan Hollywood memperlakukan penduduk orisinil Amerika tersebut. Dan masih banyak erratic behavior lain yang ia pertunjukkan.
Kita sudah tahu semua kisah-kisah di atas, tapi tidak dengan alasan bergotong-royong di balik perilaku sang aktor. Semasa hidupnya (meninggal tahun 2004), Marlon Brando begitu menutup diri hingga kehidupan pribadinya pun bagai misteri di mata publik. Lewat "Listen to Me Marlon", sutradara Stevan Riley coba menguak banyak sekali misteri tersebut. Tapi bukan sekedar hasil riset dan wawancara dengan orang terdekat, dokumenter ini dinarasikan sendiri oleh Brando. Riley menghidupkan kembali Marlon Brando, atau setidaknya itu yang saya rasakan selama kurang lebih 95 menit menyaksikan filmnya. Berisikan rekaman bunyi yang direkam sendiri oleh Brando di rumahnya, penelusuran kebenaran terasa lebih personal. Voice over Brando menuntun kita melihat jauh ke belakang, mempelajari masa kecilnya, kurun awal kesuksesan karir, hingga dikala kesuksesan menghampiri dan privasi serta kebebasan yang disukai Brando mendadak hilang tak berbekas.
Penonton dibawa mempelajari banyak sekali pandangan sang bintang film akan banyak sekali hal, termasuk akting dan kemanusiaan. Ingin tahu bagaimana aktingnya bisa begitu andal dan proses macam apa yang ia jalani? Brando menjawabnya disini. Jika anda mendefinisikan diri sebagai moviegoers atau menyimpan kekaguman besar pada bidang akting, mendengar Brando mengutarakan tiap detail pendekatan aktingnya akan terasa menyenangkan. Terdengar terang bagaimana ia menyimpan kecintaan begitu besar, passion menggebu serta sudut pandang kuat akan keaktoran. Anda akan tersenyum mendengar semua itu. Bahkan bukan mustahil timbul kekaguman lebih jikalau hingga dikala ini anda "hanya" menganggap Brando seorang bintang film hebat.
Sebagai salah satu "raja kontroversi", tentunya Brando terlibat dalam segudang permasalahan. "Listen to Me Marlon" memberi kesempatan pada sang bintang film melaksanakan "klarifikasi" kepada semua itu. Salah satunya mengenai problem dalam proses syuting "Apocalypse Now" karya Francis Ford Coppola. Selama ini rumor berkembang bahwa Brando tiba ke lokasi dengan kondisi overweight dan menyebabkannya aib untuk nampak terang di kamera. Sehingga ia meminta tiap kemunculannya diberi pencahayaan minim. Disini kita akan mendengar alasan bergotong-royong dari sudut pandang sang aktor. Sedikit one-sided, tapi bukan menjadi masalah, sebab Brando tak pernah memberi penjelasan mengenai banyak sekali kontroversi demi menjaga jarak dengan media. Terlepas dari siapa yang benar dan salah, penuturan Brando dalam film ini akibatnya melengkapi kepingan puzzle mengenai figurnya di mata publik. Kini terserah penonton ingin mempercayai sudut pandang mana.
Bukan hanya dibentuk tahu, kita akan pula memahami banyak sekali penyebab terbentuknya sosok seorang Marlon Brando. Darimana asal kemampuan aktingnya, kenapa ia "berseumbunyi", kenapa keluarganya acak-acakan dan berujung tragis, segalanya ada. Fakta dibeberkan baik tersurat maupun tersirat, saling berkaitan memunculkan benang merah antara satu dengan lainnya. Tapi bukan hanya penonton, sebab Brando sendiri seolah tengah melaksanakan kontemplasi, rekoleksi terhadap kepingan memori. Itulah mengapa film ini terasa begitu intim dan emosional. Pada beberapa bagian, terdengar Brando tengah melaksanakan self-hypnosis demi mencari ketenangan. Terasa terang dari suaranya bahwa ia tinggal dalam kecemasan. Pada akibatnya ketika peristiwa terbesarnya muncul di layar, saya pun ikut tertegun, mencicipi sakit yang sama dikala menyadari bagaimana roda takdir berputar membentuk bulat setan tanpa kita sadari. Brando menyadari itu ketika telah terlambat. Semua telah terjadi, dan mungkin itulah penyesalan terbesar dalam hidupnya.
Stevan Riley yang tak hanya menjadi sutradara namun juga editor dan komposer musik berhasil menunjukkan persembahan terbaik dalam tiap posisi tersebut. Dia bisa mengkombinasikan kumpulan footage baik dari interview, foto, maupun cuplikan film Brando menjadi satu kesatuan utuh yang menggambarkan subjeknya. Musiknya terdengar tipis, tidak menggedor gendang indera pendengaran dengan orkestra menyayat, tidak pula mencapai titik puncak beberapa menit sekali. Namun "diam-diam" ikut membangun emosi saya ketika tiba dalam momen-momen penting. Praktis menemukan kecintaan besar Riley pada Brando, menciptakan dokumenter ini penuh perasaan, bukan sekedar penelusuran berbasis fakta yang dingin. "Listen to Me Marlon" yaitu bentuk bergotong-royong dari surat cinta kepada salah satu figur paling besar lengan berkuasa dalam dunia perfilman dunia. This movie is free-floating, explicit and brave, like Brando itself. Kini ketika publik telah lebih banyak memahami perihal sisi terdalam anda, you may rest in peace, sir.
Belum ada Komentar untuk "Listen To Me Marlon (2015)"
Posting Komentar