6 Underground (2019)
6 Underground merupakan film non-Transformers karya Michael Bay dengan biaya terbesar, yakni $150 juta. Apakah itu memberi pembeda? Bukankah dalam denah Bayhem, penambahan biaya hanya berarti peningkatan jumlah ledakan? Sinisme semacam itu yang bakal membutakan penonton, menghalangi anda memperhatikan detail di tiap set piece, yang mengakibatkan film ini salah satu karya terbaik sekaligus paling inovatif sepanjang karir sang sutradara.
Alurnya tidak jauh-jauh dari pola film wacana grup ragtag, di mana sang pemimpin mengumpulkan deretan orang dengan kemampuan berlainan (biasanya kepribadian mereka tidak bisa disebut “baik”) guna menjalankan suatu misi. Pemimpin itu ialah seorang milyuner (Ryan Reynolds) yang membentuk grup diam-diam untuk menghabisi kriminal yang tak tersentuh pegawanegeri dan pemerintah. Kita tak mengetahui namanya. Faktanya, tak satu pun anggota diperbolehkan menyebut nama asli.
Mereka menggunakan isyarat angka. Si milyuner ialah One, Two (Mélanie Laurent) merupakan mantan mata-mata, Three (Manuel Garcia-Lufo) ialah pembunuh, Four (Ben Hardy) ahlinya urusan parkour, Five (Adria Arjona) menjadi dokter tim, dan Six (Dave Franco) punya kemampuan menyetir tingkat tinggi. Nantinya turut bergabung Seven (Corey Hawkins) selaku penembak jitu. Target mereka ialah melangsungkan perebutan kekuasaan terhadap tirani Presiden negara fiktif Turgistan (dulu ini nama provinsi di Kekaisaran Sasaniyah), Rovach Alimov (Lior Raz), kemudian mengakibatkan adiknya, Murat Alimov (Peyman Maadi) yang pro-demokrasi sebagai pemimpin baru.
Menghancurkan kekuasaan diktator negara fiktif yang terletak di Asia (terkadang Amerika Selatan) jadi pola formulaik yang entah sudah berapa kali digunakan film aksi. Sesederhana itu memang cerita 6 Underground. Tapi naskah buatan duo Rhett Reese dan Paul Wernick (Zombieland, Deadpool, Life) malah memperumit sendiri penuturannya lewat pemakaian struktur non-linier kacau, yang melempar rangkaian flashback dengan inkonsistensi fungsi. Kadang menjelaskan latar belakang karakter, mengapa dan/atau bagaimana mereka menggandakan maut kemudian bergabung bersama One, tapi tak jarang sebatas selipan tanpa memberi perhiasan informasi signifikan, pun kerap pula tercipta ambiguitas mengenai latar waktu suatu peristiwa.
Tapi perlu diingat, plot berpengaruh dalam film Michael Bay merupakan bonus. Menu utamanya selalu aksi, dan tanpa puluhan robot raksasa berbentuk serupa saling serang, Bay mendorong batasan kreativitasnya. Bukan sebatas ledakan-ledakan masif, dibantu sinematografer Bojan Bazelli (The Lone Ranger, Pete’s Dragon), Bay selalu memperhatikan betul peletakan kamera demi memaksimalkan dampak sekuen aksi. Penataan set piece-nya memukau, bahkan di tengah insiden besar penuh kekacauan, kita bisa menikmati peristiwa-peristiwa kecil yang merupakan hasil aksi-reaksi dari insiden besar tersebut.
Dipersenjatai rating R, Bay tidak segan menumpahkan darah, menghancurkan badan manusia, juga mengatakan detail serangan dan luka yang diterima korban. Kapan lagi anda melihat seseorang (literally) ditampar oleh sebuah peluru yang melesat? Semua itu pribadi terangum dalam 20 menit pertama yang menampilkan kejar-kejaran menegangkan di antara keramaian perkotaan Florence, Italia.
Musik turut berperan penting membangun keseruan agresi 6 Underground. Pemilihan soundtrack Bay, diitambah hentakan scoring buatan Lorne Balfe (The Lego Batman Movie, Mission: Impossible – Fallout), melengkapi pacuan adrenalin yang dihasilkan visualnya. Daftar putar film ini membentang dari O Fortuna versi elektronik garapan Spiritual Project hingga Run milik Awolnation yang tentunya sering anda dengar di banyak sekali meme. Saya bisa membayangkan Michael Bay bersenang-senang, tersenyum lebar sembari terus menyalakan peledak demi peledak.
Tentu 128 menit durasinya tidak melulu menyajikan aksi, dan ketika jeda, memang tiada plot berpengaruh sebagai penyokong, tapi untungnya ada sentuhan komedi menggelitik serta jajaran pemain yang serupa sang sutradara, juga nampak bersenang-senang. Berkaca pada dua film Deadpool, humor buatan Reese dan Wernick terbukti mewadahi bakat Reynolds, demikian pula di sini. Sarkasme dan komedi hitam jadi santapan gampang baginya. Sementara para pemain pendukung bisa melahirkan banter dinamis, termasuk Arjona yang terlibat sebuah pembicaraan jarak jauh lucu dengan Reynolds. Dan mungkin cuma Reese-Wernick yang terpikir mengakibatkan imbas bunyi THX sebagai senjata yang tak luput memancing tawa.
Walau intensitasnya rutin menurun tiap adegan agresi sedang bolos mengisi, secara keseluruhan dinamika 6 Underground terjaga dengan baik, hingga klimaksnya, yang biarpun sarat simplifikasi dalam membuat konklusi pun terkesan corny, tetap menjadi puncak seru nan uplifting dengan lagu White Flag milik Bishop Briggs selaku pengiring. Hanya satu keinginan saya, yaitu supaya Michael Bay meningkatkan kualitas pengemasan adegan baku hantamnya (ada potensi terbuang kala Two membantai pasukan musuh di kapal), namun melihat apa yang film ini tawarkan, keluhan itu bisa disimpan untuk lain waktu.
Available on NETFLIX
Belum ada Komentar untuk "6 Underground (2019)"
Posting Komentar