Apostle (2018)

Gareth Evans menantang dirinya sendiri melalui Apostle. Setelah tancap gas dengan 3 film termasuk dwilogi The Raid yang mengubah skena film agresi dunia, Evans membuat period horror yang di dalamnya mengalir DNA serupa The Wicker Man (versi 1973, bukan remake konyol Nicolas Cage). Apostle sama-sama menampilkan protagonis laki-laki dengan problem psikis yang pergi ke sebuah pulau kawasan kelompok cult misterius tinggal, guna menyelamatkan seorang wanita. Dan serupa horor klasik karya Robin Hardy tersebut, Evans menentukan gaya slow burn.

Pria di balik tontonan pemacu adrenalin membuat horor slow burn yaitu sesuatu yang tak pernah aku duga. Menulis naskahnya sendiri, Evans mengisahkan soal Thomas Richardson (Dan Stevens), yang berhenti menjadi misionaris pasca bencana yang nyaris membunuhnya. Nyawa Thomas selamat, namun keyakinannya kepada Tuhan yang alhasil terbunuh. Sempat hilang dan disangka tewas, sekarang Thomas mesti mencari adiknya, Jennifer (Elen Rhys) yang diculik sekelompok cult demi uang tebusan. Thomas harus menemukan Jennifer sebelum cult yang dipimpin Malcolm (Michael Sheen) itu membongkar identitasnya.

Sejam pertamanya bergerak lambat, dengan hanya sekelumit penampakan misterius serta satu sekuen agresi pendek berdarah mengisi di sela-sela. Sisanya, Evans mengajak penonton mengobservasi beberapa sudut pandang—atau tepatnya kritik—di kepalanya tentang sisi gelap agama. Ada mantan misionaris yang membenci Tuhan, juga Nabi palsu yang merepresentasikan keserakahan umat manusia, yang tak pernah ragu merusak semesta demi kepentingan personal, bahkan “mengeksploitasi Tuhan”.

Dan Stevens (The Guest, Beauty and the Beast) memberi performa intens, yang meski takkan membawanya menyabet piala penghargaan, tampak tepat di tengah bangunan dunia sarat kegilaan milik Evans, meski studi terhadap abjad Thomas yang coba Evans jabarkan tampil terlalu dangkal. Ada pula perjuangan merangkai misteri terkait kebenaran soal misteri di pulau tersebut yang penyampaiannya kurang mengikat. Pertama, alasannya rangkaian alurnya tak cukup tricky untuk menggiring penonton terus mengajukan pertanyan. Kedua, sebagaimana telah kita saksikan di The Raid 2: Berandal (2014), Evans bukanlah penulis yang baik, khususnya diakibatkan tendensi bercerita terlalu banyak, membentangkan konflik selebar mungkin tanpa fokus jelas.  

Ketimbang menggali satu-dua konflik lebih jauh, Evans terus membeberkan subplot demi subplot tak perlu, di mana masing-masing tampil tanpa kedalaman, bahkan saling melemahkan alasannya kurangnya kesempatan eksplorasi, tatkala Evans mengutamakan kuantitas di atas kualitas (durasinya membengkak hingga 130 menit). Beruntung, sewaktu “Gareth Evans si penulis” terbata-bata, “Gareth Evans si sutradara” masih berjaya. Kepekan visualnya mampu membuat atmosfer mengerikan sekaligus disturbing tanpa perlu bergantung pada jump scare.

Keberhasilan tersebut juga jasa sinematografer langganan Evans, Matt Flannery (Merantau, dwilogi The Raid), yang bukan cuma menangkap keindahan panorama Wales, pula teror menggganggu di desa tersembunyinya. Tambahkan musik unik garapan duo Fajar Yuskemal (The Raid, Headshot, Killers) dan Aria Prayogi (The Raid, Headshot, Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212), Apostle mungkin terlampau panjang dan sesekali melelahkan, namun tidak pernah membosankan.

Kemudian kita datang di satu jam terakhir ketika sang sutradara melepaskan segala kegilaan kaya gore yang akan membuat penontonnya antara menutup mata menahan ngilu atau bersorak kegirangan. Seperti biasa camerawork Flannery efektif menyuntikkan intensitas melalui pergerakan dinamis maupun getaran manic yang memunculkan sense of urgency yang rasanya takkan bisa diikuti penata kamera lain. Apostle bukan sadisme indah layaknya The Raid. Ini yaitu sajian “tebas-dan-tusuk” dengan kebrutalan mentah. Eksperimen Evans mungkin belum sepenuhnya berjalan mulus, tapi mungkin hanya ia yang cukup berani memadukan dua wajah horor yang berlawanan semacam ini.

Belum ada Komentar untuk "Apostle (2018)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel