42 (2013)
Membuat film biopic yang manis itu susah. Membuat film olahraga yang manis lebih susah. Makara menciptakan film biopic bertemakan olahraga yang manis terang merupakan pekerjaan berat. Mengapa saya menyampaikan kedua hal tersebut susah? Bukankah sudah begitu banyak film biopic yang dikatakan sebagai film yang isnpiratif? Memang betul tapi justru disitulah permasalahannya. Tokoh yang kisah hidupnya diangkat kedalam sebuah film pastilah mempunyai kisah hidup yang dramatis bahkan inspiratif. Namun saya yakin kesemua tokoh tersebut tidaklah mempunyai kesempurnaan. Sedangkan yang sering menjadi permasalahan utama dalam film biopic yaitu dramatisasi yang terasa berlebihan serta penggambaran tokohnya yang terlalu sempurna. Banyak film biopic yang seolah takut menggambarkan keburukan dari tokoh yang difilmkan. Sedangkan dalam film bertemakan olahraga, yang membuatnya susah menjadi film manis yaitu bagaimana semoga penonton tertarik meski sudah mengetahui bahwa sang tokoh utama akan meraih kemenangan dalam turnamen olahraga yang ia ikuti. Maka coba bayangkan bagaimana cara menyatukan kedua hal tersebut semoga menjadi film yang manis tanpa perlu terasa berlebihan.
Pekerjaan yang berat itu diemban oleh Brian Helgeland dalam biopic terbarunya yang berjudul 42. Film ini bercerita perihal sosok Jackie Robinson (Chadwick Boseman) yang merupakan orang kulit gelap pertama yang bermain baseball di Major League. Semenjak Jerman dan Jepang berhasil dikalahkan dalam Perang Dunia II, para prajurit Amerika kembali pulang sebagai pahlawan yang berhasil menghapuskan fasisme. Namun nyatanya di Amerika sendiri justru rasisme yang masih merajalela. Memang orang kulit gelap sudah tidak lagi menjadi budak, tapi kebebasan mereka masih sangat jauh kalau dibandingkan orang kulit putih. Sebagai rujukan toilet untuk kulit gelap dan kulit putih masih dipisahkan. Rasisme juga terjadi dalan dunia baseball dimana dari 400 pemain Major League kesemuanya yaitu orang kulit putih, sedangkan orang kulit gelap bermain di liga mereka sendiri yang termasuk liga sekunder. Sampai kesudahannya Branch Rickey (Harrison Ford) yang merupakan pemilik klub Brooklyn Dodgers melaksanakan langkah kontroversial dengan mengontrak Jackie Robinson kedalam timnya sebagai pemain kulit gelap satu-satunya di liga. Sontak kontroversi dan caci maki mengiringi debut Jackie.
42 punya segalanya yang diperlukan film biopic untuk menjadi tontonan yang menyentuh maupun inspiratif. Disini ada aksara utama dengan kemampuan andal yang sanggup memenangkan kejuaraan secara dramatis. Ada konflik penuh drama yang begitu berat menimpa sang tokoh utama dimana konflik tersebut berpotensi menciptakan penonton tersentuh bahkan mungkin meneteskan air mata. Selain itu ada juga sosok aksara pembantu yang jago mengeluarkan kata-kata inspiratif serta tidak kalah bijak dari sosok Mario Teguh di televisi. Sang tokoh utama pun tidak jarang mengeluarkan kalimat-kalimat inspiratif yang menerangkan bahwa dirinya tidak akan mengalah meski diterjang rintangan seberat apapun. Tentu saja ceritanya merupakan sebuah zero-to-hero yang terkesan tidak mungkin diawal namun nyatanya berhasil terjadi pada akhirnya. Memang Jackie Robinson diceritakan sebagai orang yang temperamental dan gampang tersulut amarahnya, namun hal itu seolah hanya deskripsi lisan belaka. Pada prakteknya, film ini tetap menunjukkan Jackie sebagai sosok yang bisa menahan kesabarannya dengan begitu sempurna.
Beberapa perjuangan sudah dilakukan oleh Brian Helgeland selalu sutradara sekaligus penulis naskah untuk menciptakan aksara Jackie tidak menjadi sosok yang terlalu sempurna. Berbagai caranya antara lain dengan menuliskan aksara Jackie sebagai sosok temperamen (meski menyerupai yang sudah saya tulis diatas hal tersebut pada kenyataannya tidak terlalu nampak) ataupun menunjukkan beberapa kegagalan Jackie dalam suatu pertandingan. Tapi sekali lagi hal-hal tersebut masih terlalu kondusif dan tidak hingga menciptakan saya merasa aksara Jackie sebagai sosok yang terasa lebih manusiawi. Saya memang tidak mengenal sosok Jackie Robinson sebelum menonton film ini, tapi saya yakin bahwa semua tokoh sehebat dan seinspiratif apapun beliau pastilah mempunyai sisi gelap yang menjadikannya tidak sempurna. Dari alur ceritanya juga tidak ada yang Istimewa disini. Semuanya mengalir dengan arah yang gampang ditebak. Namun dengan segala hal-hal standar dan pilihan untuk bermain di jalur kondusif tersebut untungnya tidak menciptakan 42 menjadi sebuah tontonan yang membosankan. Setidaknya Helgeland serta para aktornya bisa menciptakan film ini tetap menghibur untuk ditonton.
Beberapa momen dramatis yang ditampilkan meski seringkali terasa klise tapi saya akui tetap bisa menawarkan suntikan emosi yang menciptakan filmnya lebih hidup. Beberapa konflik yang hadir bercerita perihal rasisme yang begitu kental dan bagi saya misi film ini untuk menggambarkan betapa buruknya rasisme cukup berhasil. Saya sendiri dibentuk begitu kesal pada orang-orang yang bertindak rasis pada Jackie dalam film ini dan beberapa momen sanggup terasa menggugah meski lagi-lagi terasa klise. Diluar ceritanya yang klise namun menghibur, 42 juga diuntungkan oleh keberhasilan para aktornya bermain dengan baik. Chadwick Boseman sebagai Jackie memang tampil baik tapi pencuri perhatian disini yaitu Harrison Ford. Memang karakternya terasa lebih tepat dari Jackie yang mana terasa mengganggu, tapi pembawaan Ford begitu baik. Saya sendiri pada awalnya tidak menyadari bahwa sosok Rickey dimainkan oleh Ford. Overall, 42 bukanlah film biopic yang luar biasa meski bercerita perihal sosok yang luar biasa. Hiburan yang menyenangkan namun bukanlah tontonan mendalam mengenai seorang tokoh.
Belum ada Komentar untuk "42 (2013)"
Posting Komentar