Nymphomaniac (2013)

Disamping kualitas yang mumpuni, film-film dari Lars Von Trier selalu ditunggu alasannya kontroversi yang mengiringi filmnya. Tentu saja ketika beliau mengumumkan akan membuat sebuah film bertemakan nymphomaniac atau sex addict yang juga merupakan epilog dari depression trilogy miliknya, saya tidak bisa untuk tidak menantikan film ini. Dua film pertama yang menjadi potongan dari trilogi depresi yakni Antichrist dan Melancholia, dua film yang benar-benar memancarkan aura depresi yang berpengaruh meskipun mengambil fokus kisah yang berbeda. Antichrist adalah sebuah drama/horor psikologis perihal insan yang berkutat dalam depresi alasannya rasa bersalahnya, sedangkan Melancholia merupakan kisah perihal insan yang depresi menunggu datangnya hari kiamat. Kaprikornus tidak ada yang lebih sempurna lagi untuk menutup trilogi ini dibanding sebuah kisah perihal seorang sex addict yang berkutat dalam depresinya. Masih memasang nama Charlotte Gainsbourg yang selalu muncul dalam dua film Lars sebelumnya, Nymphomaniac juga punya segudang nama besar lainnya sebut saja Stellan Skarsgard, Shia LaBeouf, Jamie Bell, Uma Thurman, hingga Willem Dafoe. Nymphomaniac sendiri bisa dibilang merupakan sebuah epic tale dilihat dari durasinya yang mencapai hampir 4 jam. Untuk itulah film ini risikonya dirilis dalam dua volume terpisah yang gotong royong merupakan satu kesatuan yang utuh. Karena itulah kali ini saya akan membahas kedua volume tersebut sebagai satu kesatuan.

Total film ini mempunyai delapan chapter yang membagi tiap-tiap aspek ceritanya. Sosok sentralnya yakni Joe (Charlotte Gainsbourg), seorang perempuan mendekati usia paruh baya yang ditemukan oleh Seligman (Stellan Skarsgard) tengah terbaring di jalanan sempit dalam kondisi penuh luka. Seligman pun membawa Joe kerumah untuk diberikan perawatan. Pada ketika itulah Joe mulai bercerita perihal kisahnya sebelum berakhir babak belur di jalanan. Sebuah kisah yang dimulai sejak beliau masih kecil dan pada risikonya tumbuh sebagai seorang gadis dengan nymphomaniac. Akan ada begitu banyak kisah yang diceritakan Joe, mulai dari ketika ia kecil dan mulai mengenal kemaluannya di usia 2 tahun, kemudian tumbuh sebagai remaja yang ketagihan seks bersama sahabatnya, B (Sophie Kennedy Clark). Di masa itulah Joe remaja (Stacy Martin) mengalami banyak petualangan gila dalam kehidupan seksnya termasuk kisah cintanya dengan Jerome (Shia LaBeouf). Volume I lebih banyak berkisah perihal sisi liar Joe pada ketika ia remaja dimana ia tidak terlalu peduli pada kondisinya sebagai seorang nymphomaniac dan hanya mementingkan kepuasaan hasrat seksualnya. Sedangkan Volume II yang berkisah ketika Joe memasuki usia remaja bertutur perihal pencarian jati diri dan duduk masalah Joe sebagai seorang sex addict. Pada tahap ini Joe mulai banya melaksanakan pencarian makna dalam hidupnya termasuk mencoba aneka macam hal-hal gres dalam kehidupan seksualnya. Segala kisah tersebut dihadirkan dengan alur yang melompat-lompat antara masa kemudian dengan masa kini disaat Joe bercerita pada Seligman yang selalu menanggapi kisah Joe dengan aneka macam analogi yang mengaitkan hal-hal seksual dengan hal lain.

Sedari awal, Nymphomaniac sudah membuat saya betah dan membuat saya tidak bisa berpaling dari layar. Dibuka dengan keheningan dan kesunyian yang dingin, tiba-tiba film ini eksklusif menghentak ketika lagu Fuhre Mich milik Rammstein mulai terdengar. Bersamaan dengan itulah saya eksklusif dibentuk betah menonton film ini yang padahal gres berjalan beberapa menit. Nymphomaniac sesungguhnya merupakan katarsis dari Joe yang dengan bebas mengungkapkan segala kegundahan dan cerita-cerita gilanya kepada Seligman. Saya sendiri sangat menyukai obrolan keduanya yang banyak diisi dialog-dialog cerdas nan menarik penuh analogi yang dilontarkan oleh Seligman. Tapi meskipun kisah yang dituturkan oleh Joe terasa kelam dan depresif, bukan berarti film ini terus-terusan berisikan atmosfer yang kelam, alasannya sesekali ada selipan komedi gelap yang muncul baik dari obrolan antara Joe dan Seligman maupun visualisas menarik yang dihadirkan oleh Lars Von Trier. Disinilah keunikah Nymphomaniac yang membuatnya berbeda dari Antichrist maupun Melancholia. Meski punya kisah yang gelap dan cukup tragis, tetap ada beberapa momen yang membuat saya tertawa. Tidak hanya dari dialognya saja, kelucuan itu juga muncul dari beberapa visual menarik dalam tiap-tiap adegan. Aspek visual yang unik dan sedikit nyeleneh juga menjadi keunikan film ini. Sebut saja adegan seks antara Joe dan Jerome yang melibatkan angka "3+5", atau ketika dengan indahnya kita diperlihatkan tiga sisi yang mengisi lubang dalam kehidupan Joe lewat sebuah split screen berisikan gambar-gambar unik.
Saya juga suka bagaimana Lars Von Trier menempatkan begitu banyak visualisasi sebagai penggabaran dari apa yang dibicarakan oleh Joe dan Seligman. Hampir setiap hal yang muncul divisualisasikan dengan menarik meski hanya sekilas. Misalkan keduanya tengah membahas kaitan antara seks dengan memancing, maka akan ada citra adegan memancing bahkan hingga skema dimana aneka macam jenis ikan tinggal di sungai. Hal ini penting, sehingga pada risikonya walaupun tidak sedang menunjukkan adegan seks yang jadi andalan utamanya, Nymphomaniac tetaplah terasa menarik. Sebagai penonton, saya berasa menyerupai seorang anak yang tengah diperdengarkan sebuah dongeng yang sangat menarik, bahkan membuat adiksi tersendiri. Tentu saja yang paling ditunggu yakni bagaimana adegan seksnya diperlihatkan disini Jujur saja Nymphomaniac tidak segila yang saya harapkan. Jika dibandingkan promosinya yang menggembar-gemborkan adegan seksual yang faktual tanpa trik, hasil filmnya tidak segila itu meski dari segi kuantitas film ini terperinci kaya akan adegan seks. Mulai dari seks yang "standar", oral seks, bahkan sado masohicst dihadirkan dengan begitu nyata. Tapi meski tidak sevulgar itu, film ini cukup mengejutkan saya alasannya bisa menghadirkan kisah yang jauh lebih dalam dari yang saya perkirakan. Lars Von Trier benar-benar memanfaatkan durasi mendekati 4 jamnya untuk mengeksplorasi banyak hal perihal adiksi sekskual. Saya pernah membaca beberapa jurnal perihal sex addict, dan Nymphomaniac bagaikan pembiasaan lengkap dari jurnal tersebut, alasannya begitu luas dan mendalamnya penelusuran kisah yang dihadirkan.
Tentu saja cakupan luasnya yakni perihal bagaiana kelam dan kompleksnya kehidupan Joe sebagai seorang nympho. Dia harus bisa mengatur kehidupannya sembari terus berusaha memuaskan hasrat seks besar yang sulit dibendung dan bagaimana sulitnya untuk mengontrol hasrat tersebut. Seorang hiperseksual memang sulit untuk merasa puas dan cukup akan kehidupan seksnya, dan hal itulah yang menjadi salah satu konflik besar dalam hidup Joe. Karena itulah beliau selalu menginginkan lebih banyak dan terus mencari hal gres dalam kehidupan seksnya. Dari situlah kita akan diperlihatkan begitu banyak jenis kehidupan seksual yang dijalani oleh Joe semisal harapan bekerjasama seks dengan laki-laki dari ras yang berbeda, seks dengan sesama wanita, hingga yang paling gila dan menyakitkan yakni ketika Joe tertarik akan masokisme. Begitu banyaknya aspek seksual dalam film ini membuat Nymphomaniac layak disebut sebagai sebuah epic sex tale. Kita juga diajak untuk melihat duduk masalah dalam diri Joe berkaitan dengan anggapan masyarakat akan para pengidap adiksi seksual. Tentu saja masyarakat kebanyakan akan dengan gampang memberi cap jelek pada seorang sex addict "hanya" alasannya mereka punya hasrat seks yang besar. Disinilah Nymphomaniac mengajak kita berpikir dan memahami mereka, alasannya supaya bagaimanapun hasrat seks bukanlah hal yang gampang untuk dibendung. Kebanyakan dari mereka yang mempunyai perbedaan dalam kehidupan seksnya, tidak hanya sex addict tapi juga pemilik fetish bahkan pedofilia hidup dalam rasa malu, penuh duduk masalah dan menyembunyikan hasrat tersebut. Faktanya tidak semua dari mereka pada risikonya menyalurkan hasrat itu. 

Lars Von Trier mengajak penontonnya untuk tidak serta merta menawarkan cap jelek pada para sex addict tapi dengan tidak serta merta melaksanakan pembelaan buta pada mereka, alasannya Lars tetap menyajikan aneka macam sisi gelap dari para hiperseksual tersebut. Tentu saja bukan Lars Von Trier namanya kalau tidak mengungkapkan isi pikirannya dengan cara yang ekstrim. Disini Joe digambarkan seolah sebagai seorang yang terpilih dalam hal nymphomaniac. Layaknya seorang Nabi atau Rasul, beliau menyerupai diangkat sebagai sosok yang Istimewa dalam sebuah adegannya. Tapi film ini tidak hanya membahas soal seks semata, alasannya dalam naskahnya yang cerdas Lars juga menyelipkan aneka macam pemikirannya dalam hal lain mulai dari agama, filsafat, sains, sosial, hingga politik. Dengan banyak memasukkan rujukan dari aneka macam macam litertatur, film ini terasa semakin lengkap, kaya dan padat dalam ceritanya Dalam tiap-tiap chapternya, Lars Von Trier menyelipkan aneka macam fatwa yang berbeda-beda sehingga bisa membuat daya tarik dan ciri khas yang membedakan tiap-tiap chapter. Kedelapan chapternya memang punya keunikan masing-masing. Jelas ada chapter yang lebih unggul dan ada yang lebih lemah, tapi tidak ada yang hingga menjadi sebuah chapter yang buruk. Saya sendiri paling menyukai chapter 1 (The Compleat Angler), chapter 3 (Mrs. H) dan chapter 6 (The Eastern and the Western Church - The Silent Duck). Chapter 1 berhasil mengikat saya sebagai pembuka yang menarik, chapter 3 mampu menampilkan situasi canggung yang intens dan lucu, sedangkan chapter 6 punya kegilaan yang menyakitkan lewat kisah sado masokisnya.

Tentu saja film ini mempunyai akting yang mumpuni dari tiap-tiap pemainnya. Yang paling menonjol bagi saya yakni Charlotte Gainsbourg, Stacy Martin, Uma Thurman dan Jamie Bell. Charlotte dan Stacy mampu menghadirkan dua sisi dari Joe yang berbeda tanpa harus kehilangan benang merah karakternya. Stacy sebagai Joe muda yang polos berubah liar, sedangkan Charlotte yakni Joe yang lebih depresif, dewasa, dan mempertanyakan kehidupannya tanpa kehilangan sisi keliaran yang ia miliki. Jamie Bell dengan tatapannya yang hirau taacuh menghadirkan kengerian baik hanya lewat mata maupun tindakannya yang penuh kekerasan. Sedangkan Uma Thurman sebagai istri yang emosional bisa membuat adegan yang melibatkannya terasa begitu intens lewat dialog-dialog sarkas yang menusuk, hingga ditutup lewat teriakan emsoional yang mengejutkan. Overall, dua volume Nymphomaniac merupakan satu kesatuan epic yang begitu luar biasa, dalam, gila dan berani dalam mengungkap hal berkaitan dengan adiksi sekual. Masih terasa aura depresif yang kental dengan gambar-gambar sepi yang kelam, tapi ini yakni pendekatan yang berbeda dan paling kreatif dari Lars Von Trier dalam trilogi depresinya. Berisikan visual-visual unik dan selipan humor gelap yang efektif, melengkapi aspek-aspek yang mengakibatkan Nymphomaniac selalu terasa intens dan menarik meski berlangsung selama hampir 4 jam. 


Belum ada Komentar untuk "Nymphomaniac (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel