The Wind Rises (2013)

Hayao Miyazaki yakni legenda hidup dan itu tidak sanggup dibantah. Bersama Isao Takahata ia membuat Sutdio Ghibli yang menjadi salah satu studio film animasi terbaik yang pernah ada. Jika ada studio yang sanggup secara konsisten menandingi bahkan melebihi Pixar, Ghibli yakni studio tersebut. Hayao Miyazaki sendiri sebelum ini telah menyutradarai 10 film selama lebih dari 30 tahun karirnya. Film-film yang ia buat juga layak ditempatkan dalam daftar karya-karya terbaik Studi Ghibli, yaitu mulai dari Spirited Away, Princess Mononoke, sampai yang terakhir Ponyo. Lima tahun sesudah Ponyo, Miyazaki hasilnya kembali menyutradarai film, sebuah kabar bangga yang sayangnya harus dibarengi dengan kabar menyedihkan sebab film ini direncanakan bakal menjadi film terakhir Hayao Miyazaki. Tentu saja ini bukan pengumuman pensiun pertamanya, tapi kali ini Miyazaki terlihat sangat bersungguh-sungguh. Pada awalnya ia berniat membuat sekuel dari Ponyo sebelum produser Toshio Suzuki berhasil membujuknya untuk membuat The Wind Rises sebagai karya terakhir, yang juga merupakan pembiasaan dari manga berjudul Kaze Tachinu karangan Miyazaki sendiri. Tentu saja ekspektasi aku melambung tinggi sebab ini yakni film Ghibli, yang disutradarai Miyazaki sebagai film terakhirnya, dan mendapat nominasi Oscar untuk film animasi terbaik. 

Film ini berkisah perihal Jiro Horikoshi, seorang bocah yang bermimpi menjadi seorang pilot pesawat tempur. Tapi mimpi itu terpaksa ia kubur dalam-dalam sebab penglihatannya yang tergangu. Setelah bertemu dengan seorang desainer pesawat terbang dari Italia berjulukan Caprioni dalam mimpinya, Jiro pun tetapkan untuk bercita-cita menjadi seorang desainer pesawat. Lima tahun kemudian Jiro sudah berkuliah di sebuah universitas di Tokyo. Disanalah ia mulai membangun cita-citanya untuk membuat pesawat. Bersama sahabatnya, Honjo, pada hasilnya Jiro berhasil diterima bekerja di pabrik pesawat Mitsubishi. Petualangan dan usaha Jiro yang tidak gampang untuk membangun pesawat yang jago pun dimulai dari sini. Disisi lain, The Wind Rises juga akan bercerita perihal kehidupan percintaan Jiro dengan Naoko. Naoko yakni gadis yang ditemui Jiro di atas kereta api ketika ia sedang menuju ke Tokyo. Pada ketika itu Jiro menolong Naoko dan pembantunya untuk hingga kerumah ketika terjadi gemba besar Kanto tahun 1923. Semenjak itu keduanya tidak pernah lagi bertemu meski dalam hati mereka sama-sama memendam perasaan cinta. Sampai suatu hari takdir mempertemukan mereka kembali. Tapi ternyata kisah cinta Jiro tidak lebih gampang daripada usahanya membuat pesawat terbang.
The Wind Rises berbeda dari banyak film Ghibli yang aku tonton sebelumnya, khususnya yang disutradarai oleh Hayao Miyazaki. Jika biasanya Ghibli identik dengan fantasi dan makhluk-makhluk aneh, maka film ini justru mengambil penceritaan yang realis. Tapi itu bukan berarti film ini sama sekali tidak mempunyai daya magis sebab pada pada dasarnya The Wind Rises banyak bertutur perihal impian dan imajinasi karakternya dalam berkreasi membuat pesawat terbang. Hayao Miyazaki pun cukup berilmu untuk sanggup menyebabkan filmnya ini terasa penuh fantasi tanpa harus kehilangan unsur realisme yang ada. Dia menggunakan banyak sequence mimpi dari Jiro untuk menghadirkan fantasi bersenang-senang tersebut. Pertemuan antara Jiro dan Caprioni dalam mimpi jadi ajang untuk menampilkan hal tersebut. Melihat keduanya berjalan diatas pesawat yang tengah terbang tinggi di angkasa dan bercerita perihal mimpi dan impian mereka yakni hal yang menyenangkan. Tidak se-magis melihat abjad Ghbili bermain dengan monster-monster dalam dunia khayal memang tapi sudah cukup untuk membangkitkan rasa bahagia yang selalu muncul ketika menonton film animasi studio tersebut. Disinilah terlihat terang mengapa Hayao disebut sebagai master film animasi. Dia paham bahwa banyak batasan yang sanggup ditembus oleh genre ini, dan ia memakainya untuk menembus batasan-batasan penuh imaji tersebut.

Momen awal dari film ini sempat membuat aku berpikir bahwa The Wind Rises dipastikan bakal menjadi film terbaik tahun ini ketika Miyazaki membawa aku melihat banyak momen dramatis yang tidak hanya menarik tapi juga memperlihatkan ekspektasi bahwa nantinya akan terjadi banyak pergolakan emosi yang menyentuh. Mulai dari pertemuan Jiro dan Caprioni, pertemuan Jiro dan Naoko, gempa bumi yang dikemas dengan hebat, dramatis dan mengerikan, hingga awal usaha Jiro mengejar mimpinya. Semuanya hebat. Tapi sayang sesudah itu tensi film ini perlahan-lahan terus menurun bahkan hingga pada titik menjemukan. Banyak sekali momen proses yang dilewati oleh Miyazaki disini. Tiba-tiba kita sudah akan disuguhi sebuah hasil tanpa memperlihatkan proses yang dilalui. Saya pun tidak sanggup bersimpati sehebat apapun pencapaian yang diraih karakternya sebab tidak melihat bagaimana proses yang ia lalui untuk mencapai itu. Hal ini bukan saja terjadi sekali-dua kali tapi cukup sering, dan lebih banyak didominasi terjadi pada perjalanan Jiro dalam membuat pesawat terbang. Hal ini juga membuat alurnya terasa melompat-lompat, terasa tidak rapih dan membosankan. Kisah usaha Jiro menggapai mimpi pada hasilnya tidak membuat aku peduli. Belum lagi ketika alurnya tiba-tiba saja melupakan semua kisah pesawat terbang itu dan berubah sepenuhnya menjadi percintaan Jiro dan Naoko.
Bukannya menggabungkan kedua hal itu, di pertengahan yang terjadi justru film ini melupakan segala tetek bengek pesawat terbangnya dan 100% berfokus pada romansanya. Saya sendiri berharap pertemuan kembali Jiro dan Naoko akan terjadi dengan emosional, tapi sayang hasilnya yang muncul hanya sebuah reuni datar. Perjalanan awal romasanya pun sama datarnya dengan plot pembuatan pesawat terbangnya. Disitulah The Wind Rises berubah dari sebuah film yang akan menjadi film terbaik tahun ini menjadi film Haya Miyazaki yang paling mengecewakan. Untung semua kembali menarik ketika film mendekati akhir, disaat hasilnya korelasi Jiro dan Naoko mendapat rintangan terbesar yang tidak sanggup lagi mereka lawan. Disitulah Hayao Miyazaki membayar semua momen flat dan membosankan di pertengahan film dengan sebuah "epilog" yang berjalan emosional hingga ending yang benar-benar menguras air mata. Biasanya aku tidak akan termakan dengan hal semacam itu, disaat segala keburukan di pertengahan film dibayar dengan final yang bagus, biasanya aku akan tetap mencap film itu mengecewakan. Tapi paruh final dan konklusi The Wind Rises benar-benar luar biasa. Berkat abjad Naoko yang benar-benar lovable, film ini ditutup dengan begitu memuaskan. Saya pernah beberapa kali dibentuk meneteskan air mata menonton sebuah film, tapi gres The Wind Rises yang membuat air mata aku tidak kunjung berhenti. Bahkan sesudah filmnya usai pun aku masih sesenggukan, dan terus terbayang-bayang oleh adegan penuh haru yang meninggalkan kesan tragis sekaligus cinta luar biasa di akhirnya.

Pada hasilnya The Wind Rises mungkin tidak sebaik yang aku harapkan. Penuturannya yang realis dan begitu "serius" menghilangkan kesenangan yang identik dengan Ghibli dan tentunya Hayao Miyazaki. Penggunaan dream sequence-nya sempat terasa menyegarkan tapi sesudah diulang berkali-kali pun terasa membosankan juga. Secara keseluruhan, bila diibaratkan film ini mirip palung. Dimulai dengan daya tarik tinggi untuk kemudian terus menurun hingga terasa cukuo membosankan di pertengahan, tapi pada hasilnya kembali meningkat lagi mendekati final hingga hasilnya mencapai puncak kepuasan yang luar biasa di ending. Film ini berkisah perihal mimpi dan usaha tanpa kenal lelah untuk menggapainya. Tapi sayang kita hanya akan diperlihatkan mimpi itu terlaksana tanpa melihat usaha tanpa kenal lelah itu. Akhirnya kisah Jiro dan pesawat terbangnya dengan gampang aku lupakan akhir perjalanan dan konklusi yang mengecewakan. Tapi kisah cinta Jiro dan Naoko yang awalnya kurang menggigit ditutup dengan luar biasa. Saya dibentuk cukup yakin bahwa Hayao Miyazaki pernah ditinggalkan oleh cinta sejati untuk selama-lamanya. "Darling, you have to live" adalah obrolan terakhir Naoko yang tidak akan aku lupakan. Saat mengingat lagi ucapan tersebut dan senyum yang dimunculkan gadis manis bergaun kuning yang terbang bebas mirip angin itu, rasanya air mata tidak besar lengan berkuasa aku tahan lagi.

Belum ada Komentar untuk "The Wind Rises (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel