Tangerines (2013)

Apakah perbedaan kewarganegaraan sanggup menjadi alasan untuk saling bermusuhan? Apakah perbedaan agama membuat insan sah-sah saja untuk saling bermusuhan bahkan membunuh? Tentu saja harga nyawa seseorang jauh lebih mahal daripada itu, tapi sayangnya begitulah wajah dunia kini ini. Terjadi permusuhan dan peperangan dimana-mana yang ironisnya dilandasi oleh perbedaan kepercayaan dan asal negara/suku. Bahkan dua orang sanggup saling memusuhi hanya alasannya ialah perbedaan itu tanpa mempedulikan kepribadiaan masing-masing. Keprihatinan akan informasi tersebut yang pada jadinya melandasi sutradara sekaligus penulis naskah Zaza Urushadze membuat film ini, yang sekaligus merupakan wakil Estonia dalam ajang Oscar tahun 2015 nanti. Tangerines atau yang memiliki judul orisinil Mandariniid ini mengambil setting pada ketika meletusnya perang di pemukiman warga Estonia di Abkhazia, Georgia tahun 1992-1993. Karena perang itulah banyak orang Estonia yang menentukan pulang ke negara mereka. Tapi tidak dengan Ivo (Lembit Ulfsak) dan Margus (Elmo Nuganen) yang menentukan tinggal untuk mengurus perkebunan jeruk mandarin milik Margus.

Disaat mereka tengah berharap menerima derma dari sejumlah tentara untuk menjaga semoga perkebunan jeruk itu tidak hancur oleh perang, Ivo dan Margus justru mendapati sebuah baku tembak antara dua pasukan kecil di bersahabat rumah mereka. Dalam baku tembak yang terjadi antara pasukan Chechen dan Georgia tersebut, hanya dua orang yang berhasil selamat. Mereka ialah Ahmed (Giorgi Nakashidze) dari pasukan Chechen dan Niko (Michael Meskhi) dari pasukan Georgia. Jadilah Ivo merawat dua orang yang saling bermusuhan itu di dalam rumahnya. Karena mereka sama-sama mengancam untuk membunuh satu sama lain, maka Ivo memberlakukan perjanjian yang melarang terjadinya pembunuhan di dalam rumahnya. Pada jadinya Ivo harus merawat mereka sembari menjaga semoga keduanya tidak saling bunuh. Kisahnya memang sederhana, tidak gres dan punya pesan yang juga sudah sering diangkat kedalam film. Tapi dengan durasinya yang hanya 86 menit, Tangerines punya kekuatan lebih berkat suasana yang lebih intim, huruf yang tidak banyak tapi berpengaruh dan terkesplorasi, serta konflik sederhana yang sudah cukup untuk mewakili pesan-pesan tersebut.
Lewat huruf Ivo sebagai perantara, Zaza Urushadze coba mempertunjukkan sisi kemanusiaan yang seharusnya ada dalam diri setiap manusia. Ivo bukanlah seorang laki-laki yang suci. Dia punya sebuah luka masa kemudian terpendam yang gres diungkap ketika filmnya akan berakhir, dan luka itu sudah cukup sanggup diraba sedari awal ketika ia berkata tidak ingin meninggalkan Georgia alasannya ialah itu ialah kawasan yang cintai sekaligus ia benci. Ivo bukan malaikat yang amat baik hati, bukan juga seorang laki-laki yang ramah, alasannya ialah ia bahkan seringkali bersikap ketus. Dia hanya laki-laki renta yang menjadi insan biasa sebagaimana seharusnya insan itu. Manusia selayaknya bersedia saling menolong tanpa peduli agama, asal negara atau berada di pihak mana seseorang itu ketika berperang. Penting untuk menjadikan sosok Ivo tetap tidak terlalu "putih" dan jauh dari kata tepat menyerupai ini, sehingga pada jadinya pesan yang coba disampaikan oleh Zaza Urushadze tidak terasa dipaksakan ataupun menggurui. Momen paling menarik pun terjadi ketika kita diajak untuk mengamati bagaimana interaksi antara Ahmed dan Niko selama beberapa hari mereka harus tinggal bersama dan menahan hasrat untuk saling membunuh.
Bersama dengan proses itulah saya berhasil dibentuk bertahap memahami pesan Tangerine yang terkandung dalam ideologi yang dibawa oleh Ivo. Dengan perlahan tapi niscaya dan melalui pengemasan yang sederhana namun begitu rapih Zaza Urushadze membuat saya jadinya menyetujui apa yang coba disampaikan, sama menyerupai bagaimana Ivo dengan begitu sabar "memaksa" Ahmed dan Niko untuk tidak saling membunuh bahkan bermusuhan. Urushadze pun sanggup membuat banyak sekali momen hangat yang sederhana lewat dialog santai antar karakternya, menyerupai ketika mereka duduk bersama menikmati daging bakar dan bersulang untuk kematian. Adegan itu juga menjadi teladan tepat bagaimana kehebatan Urushadze dalam menjaga tensi filmnya. Meski lebih banyak didominasi berjalan dengan tempo lambat dan atmosfer yang sunyi, tapi ketegangan dan tensi selalu berhasil dijaga, khususnya berkat kemunculan letupan-letupan mengejutkan yang hadir tiba-tiba. Musik tema garapan Niaz Diasamidze pun turut berkontribusi besar dalam membangun suasana dingin. Meski diputar berulang-ulang, scoring-nya tidak mengakibatkan kesan repetitif.

Dengan titik puncak yang menegangkan plus jadinya ditutup dengan ending yang menyentuh dengan campuran rasa tragis dan optimis, Tangerine adalah drama yang masbodoh diluar tapi begitu hangat di dalam. Film ini tidak pernah sekalipun dengan lantang meneriakkan untuk menolak perang. Film ini tidak pernah "melarang" untuk melaksanakan sesuatu, tapi dengan cara yang lebih "lembut" dan persuasif mengajak penontonnya untuk memahami sisi kemanusiaan seorang manusia. Tangerine begitu sederhana diluar, sesederhana alasan kedua huruf utamanya untuk bertahan di Georgia yaitu mempertahankan kebun jeruk mereka. Tapi ada kompleksitas dan kedalaman rasa di dalam, sama menyerupai apa yang disimpan dan ditutup rapat oleh Ivo wacana kenangan dan memori kelamnya.

Belum ada Komentar untuk "Tangerines (2013)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel