Gita Cinta Dari Sma (1979)

Originally published on MOKINO:
http://mokino.co/features/detail/194/gita-cinta-dari-sma-1979-kisah-cinta-abadi--dalam-kemasan-romansa-populer/
Semenjak milenium gres AADC? menjadi sebuah ikon. Tidak hanya pergerakan film Indonesia, tapi juga ikon kisah cinta sampaumur beserta kehidupan masa SMA. Tapi lebih dari 20 tahun sebelum era Rangga dan Cinta, Indonesia sudah terlebih dulu punya Galih dan Ratna dengan kisah cinta yang masih terus melegenda hingga hari ini. Bagi generasi mudah, dua nama tersebut mungkin lebih lekat diasosiasikan sebagai judul lagu buatan Guruh Soekarnoputra yang dinyanyikan Chrisye. Namun rasanya sudah tidak banyak yang tahu bahwa fenomena itu diawali dari film karya Arizal yang diangkat dari novel berjudul sama karya Eddy D. Iskandar ini. Bahkan dari apa yang tersaji di layar, amat mungkin bahwa AADC? mengambil begitu banyak pandangan gres dari Gita Cinta dari SMA. Film ini yaitu pola tepat dari istilah "film klasik". Tidak peduli usianya sudah menginjak 36 tahun, romansa ala Galih dan Ratna masih begitu bersahabat dengan kehidupan sampaumur ketika ini.

Ratna (Yessi Gusman) yaitu siswi pindahan yang alasannya kecantikannya pribadi membuat banyak laki-laki mengantri untuk cintanya. Satu per satu dari mereka mencoba mendekati Ratna dengan bermodalkan modus "antar pulang". Tapi di tengah pria-pria dengan kendaraan beroda empat dan vespa tersebut, perhatian Ratna justru tertuju pada Galih (Rano Karno) yang hanya mampu mengayuh sepeda. Disini mulai terasa pembeda antara Gita Cinta dari SMA dengan kebanyakan romansa modern perfilman Indonesia. Formulanya klasik. Wanita dari keluarga "berada" jatuh cinta dengan laki-laki sederhana. Klise. Tapi hal klise ini justru sudah banyak ditinggalkan alasannya dianggap tidak logis. Tren pun berganti. Tengok saja kebanyakan film romantis sampaumur ketika ini, tidak peduli yang sampah ataupun yang lumayan. Kebanyakan membuat sosok laki-laki idaman dengan paras tampan, dandanan metroseksual, plus kendaraan beroda empat mewah. Tren yang makin usang makin berlebihan dan justru membuat "ketidak logisan" yang semakin parah.

Kalaupun ada yang menyoroti strata berbeda, hasilnya juga (tanpa bermaksud merendahkan kasta sosial tertentu) sama ngawur-nya. Entah si perempuan digambarkan sangat kaya dan si laki-laki sangat miskin (supir, pembantu, pengamen, tukang becak, dll) atau sebaliknya. Galih dan Ratna berbeda. Status sosial keduanya berbeda, tapi itu tidak jadi soal. Tidak pula dieksploitasi berlebihan. Ratna jatuh cinta alasannya Galih tidak ibarat laki-laki lain yang ngotot mendekati dia, bahkan cenderung memaksa. Galih terkesan cuek. Cuek yang bukan didasari sok cool tapi alasannya rasa aib dan tidak percaya diri. Alamiah, realistis. Kondisi semacam ini memang sering terjadi. Ratna pun mendekati Galih dengan cukup agresif, menggunakan salah satu trik pendekatan paling klasik, yaitu meminjam buku catatan. Cheesy-kah? Nyatanya tidak. Disaat "the oldest love story" dituturkan secara sederhana dan apa adanya, kejujuran lah yang terasa.
Kuncinya yaitu dua huruf utama yang tidak asing. Galih dan Ratna yaitu kita sendiri. Remaja biasa dengan problematika romansa yang jamak terjadi. Sebuah kisah cinta Sekolah Menengan Atas dengan bumbu konflik yang masuk akal hadir ibarat persaingan dan restu orang tua. Semakin tidak ajaib pula film ini berkat caranya menampilkan kehidupan Sekolah Menengan Atas yang ada. Kegiatan mencar ilmu mengajar, guru yang jadi materi lelucon, perkemahan penuh nyanyian beserta iringan gitar bahagia, semua itu ada. Semua itu nyata. Penonton dari kalangan usia manapun saya rasa akan terlempar memorinya ke masa sekolah dulu ketika menonton film ini. Satu lagi yang menyenangkan yaitu bagaimana film ini tidak melaksanakan glorifikasi terhadap kehidupan "sok gaul" remaja. Saya tidak tahu bagaimana hedonisme pada era 70-an, tapi terang bukan ibarat ini. Disaat romansa modern hobi mengatakan huruf dengan hidup glamor, Galih dan Ratna yaitu dua pelajar teladan, juara kelas, dan tetap bisa saling jatuh cinta. 
Tapi tidak ada rasa menggurui disini. Tidak ada pesan moral bahwa pelajar harus rajin dan sebagainya. Ada perjuangan untuk memasukkan kesenian Indonesia ibarat adegan tarian di program perpisahan atau ketika para siswa berkemah dan menyanyikan lagu-lagu anak yang riang gembira. Meski menghadirkan semua itu, lagi-lagi yang terasa yaitu kejujuran. Tidak ada niatan untuk "sok nasionalis" atau "sok melestarikan budaya". Semuanya murni ada disana alasannya Arizal memang merasa perlu memasukkan semua itu untuk menghadirkan sebuah kisah cinta yang "sehat" dalam lingkungan yang "sehat" pula. 

Dialog yang ditulis Eddy D. Iskandar secara umum dikuasai menggunakan bahasa baku. Sangat baku dan sebetulnya sedikit mengurangi kesan "abadi" film ini, alasannya jikalau ditengok lewat beling mata sekarang, kesan realistis akan berkurang. Tapi itu bukan pilihan yang salah. Jika ada yang kurang, lebih kearah bagaimana Arizal menangani dialog-dialog baku tersebut. Muncul banyak adegan yang tidak dihendaki lucu namun membuat saya tertawa lepas. Kebanyakan rasa lucu hadir alasannya kekauan yang begitu kuat. Banyak pemain drama khususnya dalam tugas pembantu kurang nyaman dengan pelontaran obrolan mereka. Kelucuan yang tidak diniati juga tidak hanya hadir alasannya pengemasan dialog. Disaat ceritanya bisa terhindar dari kesan cheesy, pengemasannya justru sering begitu dan terasa amat lucu. Contoh tepat yaitu adegan ketika ayah Ratna memergoki ia dan Galih tengah berduaan di malam hari. Bersamaan dengan teriakannya, muncul gambar petir yang menggelegar. Komedi.


Tapi kekuatan akting dua pemeran utamanya amat menolong. Disaat Yessi Gusman sering kaku pada pelafalan dialog, tidak begitu dengan curahan emosi dan ekspresinya. Mata sebagai jendela hati muncul dalam aktingnya. Setiap emosi tersaji kuat. Sedangkan untuk dialog, Rano Karno yaitu yang paling yummy didengar. Karakter yang hirau taacuh ia bawakan dengan kharisma berpengaruh dikombinasi dengan pengucapan obrolan yang lebih terasa "cair". Tentu saja chemistry mereka begitu kuat. Ikatan yang berada pada tingkatan tinggi, jauh di atas kekakuan dialognya. Mereka berpadu dengan hati, bukan semata-mata akting permukaan yang scripted. Jika pada akibatnya Galih dan Ratna menjadi ikon kisah cinta abadi, itu alasannya Rano Karno dan Yessi Gusman mampu menghidupkan kedua tokoh tersebut.

Verdict: Gita Cinta dari SMA adalah film pop, itu tidak perlu dipungkiri. Tapi sebuah film pop yang tampil jujur dan menjadikannya kisah romantis klasik. Ibarat makanan, film ini ringan tapi bergizi, bukanlah junk food.

Belum ada Komentar untuk "Gita Cinta Dari Sma (1979)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel