Cake (2014)
Claire (Jennifer Aniston) duduk di tengah-tengah support group untuk para penderita chronic pain. Mereka sedang membicarakan salah satu anggota mereka yang gres saja tewas bunuh diri, Nina (Anna Kendrick). Disaat perempuan lain mengutarakan perasaan mereka dengan emosional, penuh penyesalan dan simpati, Claire tampak tidak mempedulikan semua itu. Saat diminta mengungkapkan pendapatnya, ia justru mendeskripsikan proses maut Nina hingga pengiriman jenazahnya pada sang suami yang begitu tragis, sambil menutup kalimatnya dengan penuh sarkasme bahwa ia bahagia ketika seorang yang bunuh diri menyusahkan mereka yang ditinggalkan. Berada di support group, punya wajah penuh bekas luka dan bersikap ketus. Dari semua deskripsi itu kita tahu bahwa Claire gres mengalami sebuah insiden traumatis yang menempatkannya dalam kesulitan hidup. Peristiwa itu yakni kecelakaan yang berujung pada maut puteranya yang masih kecil. Claire sendiri menjalani hidup dengan ketergantungan akan obat untuk menghilangkan depresi serta rasa sakit tubuhnya.
Dengan judul ambigu, saya tidak akan menyalahkan penonton yang berharapan bahwa ini yakni komedi romantis. Jika anda tidak tahu premis atau belum melihat posternya tapi mengetahui keberadaan Aniston sebagai bintang film utama, masuk akal jikalau muncul ekspektasi semacam itu. But this isn't another boring (un)romantic (unfunny) comedy from Jennifer Aniston. Cake adalah satu dari beberapa perjuangan sang aktris untuk berakting drama. Tidak terlalu mengejutkan sesudah beberapa tugas terakhirnya (Horrible Bosses & We're the Millers) sedikit berbeda dari yang biasa ia mainkan meski masih bergenre komedi. Bahkan tema film ini sangat berkebalikan dari komedi romantis, yaitu membawa kisah tendensi bunuh diri. Seiring berjalannya waktu, Claire semakin memperlihatkan ketertarikan pada sosok Nina. Mulai dari halusinasi kemunculan hantu Nina, hingga mendatangi suaminya, Roy (Sam Worthington). Obsesi Claire untuk bunuh diri semakin menjadi sesudah mendatangi jempatan kawasan Nina melompat, bahkan melaksanakan perjuangan itu di sebuah bak renang yang bukan percobaan terakhirnya.
It's all about pain. Bukan sekedar sakit fisik, tapi rasa sakit yang menusuk perasaan. Karakter Claire memperlihatkan semua itu. Kemarahan senantiasa hadir dan berujung pada ketidak ramahan yang ia tunjukkan pada orang-orang di sekitar. Trauma menguasai pikirannya, terlihat dari keengganan Claire untuk berada dalam posisi duduk di dalam mobil. Disaat semua perasaan sakit itu mencapai puncak, saya pun bisa memahami kehadiran obsesi untuk mengakhiri hidupnya. Saya yakin, niscaya dalam pikiran semua orang (termasuk saya) pernah terlintas pikiran untuk mencoba perjuangan bunuh diri ketika sedang berada dalam permasalahan berat. Meski pada kesudahannya tidak pernah dilakukan, setidaknya keinginan itu pernah terbersit sekali atau dua kali dalam pikiran kita. Hal itulah yang membuat motivasi Claire jadi gampang dipahami. Tapi Cake tidak pernah terasa benar-benar depresif meski tema yang diusung bergotong-royong berpotensi menyerupai itu. Film ini masi menjadi kisah yang positif, dan itu diwujudkan dengan hubungan antara Claire dan Roy.
Bukan hubungan romansa yang hadir, melainkan rasa saling peduli satu sama lain. Apa yang muncul yakni hubungan antara dua orang dalam tahapan terberat sekaligus terendah pada kehidupan mereka. Jalinan pertemanan Claire dan Roy dibentuk untuk memperlihatkan cita-cita dalam film, tapi sayangnya saya tidak pernah bisa mencicipi itu. Tentu saja niatan untuk membuat kesan itu cukup terasa, tapi tidak lebih dari itu. Bahkan secara keseluruha Cake tidak terasa konsisten dalam membangun tone cerita. Tendensi bunuh diri yakni kisah yang cukup kelam. Tapi saya yakin sutradara Daniel Barnz dan penulis naskah Patrick Tobin tidak ingin mengambil resiko dengan membuat fim depresif. Alhasil, dijadikanlah film ini sebagai dongeng wacana seorang abjad yang menderita, tapi menemui banyak sekali macam hal yang membuatnya semakin kuat. Cake adalah wacana penerimaan. Tapi kembali lagi, Barnz dan Tobin juga tampak tidak ingin filmnya terlalu ringan. Kebingungan itu pula yang menghasilkan ketidak puasan dalam menonton. Saya tidak tersentuh dengan kisah "perbaikan hidup" yang ada, tidak pula hingga tercekat dengan sisi depresifnya.
Dramanya mungkin tidak mencapai potensi terbaik, tapi Jennifer Aniston terang sebaliknya. Hilang sudah kesan queen of romantic comedy disini, alasannya yang hadir yakni akting realistis dan apa adanya dari sang aktris. Aniston memperlihatkan rasa sakit luar dalam yang dirasakan Claire dengan begitu nyata. Gesturnya memperlihatkan betapa tersiksanya abjad ini meski hanya untuk berjalan. Lebih dari itu yakni bagaimana ia memperlihatkan sakit dalam batin Claire. Tanpa adegan dramatis yang mengumbar air mata atau teriakan untuk merepresentasikan semua itu. Well, sebenarnya ada satu adegan ketika Aniston harus goes wild, tapi toh ia luar biasa ketika harus mengeluarkan campur aduk kemarahan dan kesedihan ketika itu, so that's fine. Jennifer Aniston membuat saya bisa menyadari segala kesakitan yang Claire alami, tapi filmnya sendiri tidak sekuat itu. Not a bad movie, though.
Belum ada Komentar untuk "Cake (2014)"
Posting Komentar