Poltergeist (2015)

Fungsi sebuah remake setidaknya ada dua. Pertama sebagai sarana memperbaiki kekurangan yang dimiliki film aslinya. Dahulu, John Carpenter menyetujui pembuatan ulang The Fog karena bujet yang lebih besar untuk menghadirkan CGI mumpuni (meski hasil kesannya justru jauh lebih buruk). Sedangkan alasan kedua sekaligus yang paling sering, yakni membawa sebuah tontonan klasik menuju setting modern guna memperkenalkannya pada penonton masa kini. Sebenarnya ada alasan ketiga sebagai usaha tidak kreatif studio untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya, tapi mari berpura-pura alasan itu tidak ada. Poltergeist yang film aslinya rilis 33 tahun kemudian terang tidak butuh perbaikan. Mungkinkah film ini dibentuk sebagai usaha modernisasi? Jawabannya "ya". Sutradara Gil Kenan membawa film yang aslinya yaitu kombinasi haunted house horror dengan family drama ini menuju destinasi gres untuk penonton ketika ini. Kenan tidak berusaha melaksanakan modifikasi pada aspek cerita, tidak pula berusaha menciptakan horor yang lebih mengerikan. Dia hanya berfokus menciptakan Poltergeist versinya menjadi lebih modern meski dibungkus dalam template yang sama dengan versi original. 

Saya mulai benar-benar menyadari itu pada beberapa hari kemudian sewaktu menonton Minions. Saat trailer Poltergeist ditayangkan, saya mendengar dua wanita di samping saya coba menebak trailer untuk film macam apa yang tengah mereka lihat. Awalnya saya tidak terlalu ambil pusing alasannya yaitu sudah pernah melihat trailer itu. Tapi mendadak perhatian saya teralih ketika seorang dari mereka berkata "pasti film alien." Mendengar itu saya putuskan mengamati trailer sekali lagi, dan menyadari bahwa dugaan bahwa itu merupakan film alien terdengar menggelikan alasannya yaitu saya sudah tahu film horor macam apa Poltergeist. Tapi ketika coba memposisikan diri sebagai "penonton baru", banyak sekali unsur menyerupai glitch pada handphone, layar televisi yang buram, "Sutet" dengan pemikiran listrik tinggi, hingga rambut yang bangkit ketika menyentuh lemari terang lebih bersahabat pada sci-fi/thriller daripada haunted house horror.
Ceritanya masih serupa, disaat satu keluarga pindah ke rumah gres dan mendapati rumah tersebut dipenuhi oleh roh-roh jahat. Gangguan yang dihadirkan bertahap, mulai dari pergerakan benda secara perlahan, hingga perabotan yang terlembar kesana-kemari hingga menghilangnya Madison (Kennedi Clements) sang puteri sulung. Hampir semuanya tampak serupa. Mulai dari cerita, karakter, hingga adegan. Tentu saja momen-momen ikonik menyerupai ketika Madison bangkit terpaku di depan televisi atau pohon yang mendadak hidup masih dipertahankan sebagai bentuk penghormatan terhadap film original. Tapi segala persamaan itu bantu-membantu hanya di atas kertas. Mari tengok adegan ketika Eric (Sam Rockwell) mengalami sesuatu yang mengerikan dengan wajahnya. Pada versi Hooper, adegan tersebut punya tingkat gore yang terasa menyakitkan bagi penonton sekaligus mewakili esensi bahwa roh jahat yang ada mengetahui ketakutan tiap anggota keluarga, kemudian mengeksploitasinya. Gil Kenan juga memunculkan adegan itu, tapi bab paling "menyakitkan" tidak tersaji eksplisit. Begitu pula esensi adegan yang disini tidak lebih dari jump scare murahan.

Poltergeist juga identik dengan drama keluarga, alasannya yaitu huruf yang besar lengan berkuasa pada masing-masing dari mereka. Tidak hanya itu, teror yang hadir turut menciptakan keluarga tersebut bersatu, menghadirkan ikatan besar lengan berkuasa yang berujung pada kehangatan dramatis. Potensi kearah sana bantu-membantu dimiliki film ini. Sam Rockwell mengkombinasikan kedalaman akting dramatik dengan kehebatannya mengemas tugas komedik. Eric pun menjadi huruf yang menarik dan mempunyai jiwa. Begitu pula Madison si gadis kecil menggemaskan yang gampang dicintai penonton. Sehingga ketika ia harus terkurung bersama roh-roh itu, kita akan peduli padanya. Hal serupa terjadi pada huruf lain, kecuali Kendra yang mencuri perhatian hanya alasannya yaitu kecantikan Saxon Sharbino. Seharusnya ikatan diantara mereka menjadi modal bagi Gil Kenan untuk menghadirkan titik puncak yang pumping bukan saja alasannya yaitu keseruannya, tapi juga alasannya yaitu penonton sudah bersimpati pada keluarga tersebut, dan mendukung usaha mereka. Begitu besar potensi film ini untuk mempunyai titik puncak yang epic, namun berakhir menyia-nyiakan itu semua.
Tidak sanggup disangkal klimaksnya begitu intens, cepat, berisik, sangat seru. Bahkan Poltergeist nampak lebih baik dalam menghadirkan adegan agresi daripada horor menyeramkan. Tapi Kenan kurang piawai menggabungkan segala potensi filmnya. Dia kebingungan menempatkan fokus antara agresi dan spotlight bagi huruf yang jumlahnya tidak sedikit. Dia pun menentukan jalan tengah dengan berusaha menyeimbangkan porsi mereka semua, termasuk bagi Carrigan Burke (Jared Harris) beserta sekelompok hebat paranormal lainnya. Bagi saya itu kesalahan, alasannya yaitu menkhianati esensi bantu-membantu dari Poltergeist yang mengedepankan drama keluarga beriringan dengan horor. Semakin "keliru" lagi disaat film ini berhasil menawarkan keseruan tapi gagal tampil seram. Kali ini bukan saja melenceng dari pakem franchise-nya, tapi dari film horor itu sendiri. Untuk apa adrenaline penonton berhasil dipacu lewat rentetan agresi super cepat tapi sama sekali tidak dibentuk takut ketika horor-nya lagi-lagi hanya berisikan jump scare yang sudah basi? 

Tapi mau bagaimana lagi? Poltergeist versi remake ini memang bentuk seutuhnya dari masyarakat modern. Dari sisi pembuatnya, menyerupai inilah interpretasi dengan memakai "kaca mata" masa kini. Dipenuhi glitch pada barang-barang elektronik, alur cepat, dominasi CGI, bahkan Gil Kenan beberapa kali memakai lens flare. Tidak akan terlalu mengejutkan kalau tiba-tiba Kenan memasukkan titik puncak The Amazing Spider-Man 2 lengkap dengan scoringnya. Saya pun mengamini perkataan seorang wanita yang saya sebut di atas, bahwa Potergeist lebih nampak menyerupai film alien, atau lebih tepatnya thriller yang kental dengan unsur sci-fi penuh sorotan lampu menyilaukan dan teknologi mutakhir. Saya tidak menyukainya, tapi bisakah sepenuhnya film ini disalahkan? Ternyata tidak juga, alasannya yaitu seusai filmnya berakhir, beberapa anak Sekolah Menengan Atas memasang wajah puas. Salah seorang dari mereka kemudian berkata, "keren ya, bagusan ini daripada film-film Insidious" yang pribadi disetujui oleh teman-temannya. Nampaknya film ini mewakili jiwa belum dewasa muda pada masa modern menyerupai sekarang, dan saya tidak termasuk dalam golongan anak muda tersebut.

Verdict: Poltergeist sebagai film horor yaitu sebagaimana dubstep sebagai salah satu genre musik paling terkenal ketika ini. Disukai alasannya yaitu upbeat, noisy, penuh gimmick elektronika, melaju kencang tapi tanpa jiwa. This techno-remake is that kind of not-so-scary-but-fun horror movie.


Belum ada Komentar untuk "Poltergeist (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel