Paranormal Activity: The Ghost Dimension (2015)
Beberapa hari kemudian ketika menonton 99 Homes, trailer Paranormal Activity: The Ghost Dimension menjadi salah satu yang diputar. Respon lebih banyak didominasi penonon di dalam ruangan bioskop lebih dari sekedar positif. Mereka antusias, khususnya beberapa cukup umur wanita (sekitar 7-8 orang) di depan saya. Ada yang sepanjang trailer menjerit tiap kali muncul scare jump, ada yang bertepuk tangan begitu trailer usai, ada yang ribut mengajak temannya untuk menonton film itu, bahkan ada yang beranjak dari daerah duduk sambil mengacungkan kedua jempol tangannya tinggi-tinggi. Apa yang menciptakan mereka begitu antusias? Pengemasan trailernya memang bertempo tinggi. Bukan hanya scare jump, beberapa adegan menyiratkan misteri menarik menyerupai ketika Kristi dari dalam video bisa menyadari keberadaan dua orang yang tengah menonton rekaman dirinya.
The Ghost Dimension dipromosikan sebagai installment terakhir untuk franchise ini. Menjanjikan tanggapan atas banyak pertanyaan dalam lima film sebelumnya yang sejatinya bisa dijawab hanya lewat 2 film saja. Tagline di posternya pun berbunyi "for the first time you will see the activity". Konyol memang, alasannya ialah bukankah dari film pertama kita sudah diperlihatkan aktifitas diluar kewajaran (paranormal)? Hingga alhasil terungkap bahwa "activity" yang dimaksud, yang gres akan kita lihat untuk pertama kalinya ialah kegiatan Toby, iblis yang telah menjadi "kawan" bagi Kristi dan Katie sedari mereka kecil. Ingat bayangan hitam menyerupai cairan di trailer-nya? Itulah Toby. Film ini alhasil menjawab sosok bahu-membahu dari Toby: bayangan hitam. atau cairan hitam? Entahlah. Visualisasi yang dipilih terlalu jelek sampai saya malas menerka-nerka bentuk apa itu.
Tentu saja kisah yang diberikan oleh The Ghost Dimension masih sama dengan installment sebelumnya. Sebuah keluarga gres saja pindah ke sebuah rumah, dan disitulah mereka menerima teror makhluk gaib. Siapa saja dan bagaimana karakterisasi anggota keluarga tersebut tidaklah penting. Saya tidak mengenal apalagi peduli pada mereka. Well, tidak semuanya, alasannya ialah Skyler yang diperankan Olivia Taylor Dudley berhasil mencuri perhatian. Bukan alasannya ialah akting, tapi kiprahnya sebagai eye candy yang efektif. Skyler memang hanya berperan sebagai tambahan mata. Dia diceritakan sebagai andal feng shui, kemudian apa? Apakah ia mempertunjukkan keahliannya itu? Tentu tidak. Sutradara Gregory Plotkin hanya ingin mengeksploitasi "ukuran besar" sang aktris yang tak kuasa ditutupi oleh pakaian tipis nan sempit. She's the best part of this movie. Boobs everyone, boobs.
Bagaimana dengan horornya? The Ghost Dimension turut berpartisipasi dalam pembodohan banyak penonton mainstream saat ini. Membuat mereka tanpa sadar keliru menyamakan arti "kaget" sebagai "takut". Sering saya bertanya pada seseorang apakah film horor "A" mengerikan, yang ia jawab dengan "iya, serem, ngagetin sih penampakan hantunya". Eksploitasi yang dilakukan oleh Plotkin tidak hanya terhadap boobs tapi juga scare jump. Bedanya kalau kemunculan boobs Olivia Taylor Dudley seringkali unpredictable dan efektif, scare jump-nya sangat bisa ditebak. Efektifitas pun berkurang alasannya ialah sekeras apapun dentuman musiknya saya sudah tahu kapan akan coba dibentuk kaget. Semakin parah ketika pada lebih banyak didominasi bagian, tidak terlihat terperinci apa yang muncul kecuali bayangan berkecepatan tinggi dan pergerakan kamera shaky. Bahkan video amatir detik-detik peristiwa di YouTube saja pergerakannya lebih halus.
Tapi bahu-membahu terdapat poin positif dalam scare jump film ini. Dibandingkan seluruh installment sebelumnya, The Ghost Dimension bergerak jauh lebih cepat dan lebih berisik. Tidak perlu menunggu setengah jam untuk dentuman signifikan. Adegan statik tanpa terjadi apapun yang kesunyiannya mengalahkan film-film arthouse pun porsinya berkurang. Lebih banyak aksi. Mungkin sang kreator sekaligus produser Oren Peli sudah mengalah menggali filosofi "di tengah kesunyian ada sesuatu yang lebih bermakna kalau kau melihat lebih dalam". Atau mungkin bujet yang lebih besar ($10 juta, dua kali bujet film sebelumnya) memungkinkan ia menampilkan banyak hal menyerupai CGI Toby. Tapi yang manapun, progresi lebih itu bisa menciptakan saya terjaga dari rasa kantuk. Menonton film ini terasa menyerupai hadir dalam perkuliahan membosankan bersama seorang sahabat yang tiap menit setia mengingatkan saya untuk tetap terjaga. Bukan kelas yang menyenangkan, tapi saya alhasil tidak tertidur.
Melalui The Ghost Dimension pula franchise Paranormal Activity berusaha mendobrak batasan found footage horror. Esensi sub-genre satu ini ialah menciptakan apa yang tersaji di layar nampak senyata mungkin (selain penghematan biaya). Film ini dengan berani mendobrak esensi tersebut. Karena dengan kemunculan Toby yang full CGI, kesan faktual pun sama sekali tidak saya rasakan. Disaat film-film sebelumnya masih mengandalkan practical effect seperti selimut yang tiba-tiba berdiri, The Ghost Dimension ingin menyaingi Mama dengan menghadirkan sosok hantu lewat CGI. Oren Peli mungkin sosok paling hebat di dunia horor ketika ini. Setelah film pertama memperlihatkan bagaimana mengemas found footage yang benar, dalam artian terkesan faktual meski sederhana, maka film terakhirnya berhasil memberi pola bagaimana menciptakan found footage yang keliru. Bukankah hebat disaat sebuah franchise mampu memperlihatkan dua standar yang begitu bertolak belakang?
Saya tidak pernah mempermasalahkan penulisan naskah maupun karakteriasi dalam film horor, alasannya ialah tujuan utamanya bukanlah itu. Apalagi kalau filmnya memang sadar diri dan sengaja menjadi bodoh. Tapi khusus untuk film ini, naskahnya yang ditulis berkelompok oleh empat orang sudah melampaui batas kebodohan. Ditambah lagi menutup mata dan tidak ingin mengakui kebodohannya. Tindakan tiap abjad bukan hanya kolot tapi sering berkontradiksi antara momen satu dengan lainnya. Mike diawal nampak begitu antusias dan meyakini kehadiran hantu di dalam rumah, sedangkan Ryan mencoba berpikir lebih "positif". Tapi beberapa menit kemudian yang terjadi sebaliknya. Hal sama terjadi ketika Skyler coba membawa Emily berpikiran lebih rasional, padahal sebelumnya Skyler menjadi abjad yang paling percaya terhadap hal gaib. Atau lihat sewaktu Skyler dan Mike kembali ke rumah untuk mengambil beberapa barang sehabis sebelumnya "mengungsi" ke hotel. Ketika hendak pergi dan sudah sempurna di depan pintu, mereka mendengar bunyi aneh. Daripada keluar, mereka justru menutup pintu dan mengecek ke dalam. Bukankah sebelumnya mereka sudah begitu ketakutan?
Kembali ke kisah awal wacana sekumpulan cukup umur wanita yang antusias melihat trailer film ini, saya yakin mereka pulang dengan penuh kepuasan begitu usai menonton. Saat menonton 99 Homes pun, fokus mereka lebih tertuju pada kegantengan Andrew Garfield daripada kekuatan drama yang tersaji. Bagi golongan penonton menyerupai itu, Paranormal Activity: The Ghost Dimension kemungkinan besar bakal memuaskan. Tidak peduli apakah mereka bisa merangkai banyak sekali jalinan tanggapan terhadap banyak sekali pertanyaan mengenai alur Paranormal Activity yang dipaparkan film ini atau tidak. Untuk mereka yang mengakibatkan kegiatan menonton sebagai pengisi waktu luang disela jeda kuliah film ini akan memuaskan. Untuk mereka yang menonton horor hanya semoga bisa berpegangan tangan dengan pacar film ini akan memuaskan. Untuk mereka yang menyamakan definisi "kaget" dan "takut", film ini akan memuaskan. Seusai film, banyak penonton menghela nafas dengan senyuman tanda lega alasannya ialah teror selama 88 menit itu telah berakhir. Saya pun memperlihatkan respon serupa. Karena alhasil siksaan mengerikan 88 menit sudah berakhir. Lebih dari itu, franchise yang diulur perjalanannya selama delapan tahun ini sudah selesai. Semoga.
(Maafkan beberapa sarkasme di goresan pena ini. Saya masih muak dengan filmya)
(Maafkan beberapa sarkasme di goresan pena ini. Saya masih muak dengan filmya)
Belum ada Komentar untuk "Paranormal Activity: The Ghost Dimension (2015)"
Posting Komentar