Nay (2015)

Begitu trailer dan sinopsis resminya dirilis, banyak pihak berkomentar bahwa karya penyutradaraan terbaru Djenar Maesa Ayu ini menggandakan "Locke" yang dibintangi Tom Hardy. Anggapan yang masuk akal sesungguhnya, sebab konsep pengemasan "Nay" memang serupa. Kedua film sama-sama hanya menunjukkan satu abjad yang tengah melaksanakan perjalanan dengan mobilnya di malam hari sambil menelepon beberapa kerabatnya. Bedanya, film milik Djenar ini punya tokoh utama seorang perempuan berjulukan Nay yang diperankan oleh Sha Ine Febriyanti. Mirip, tapi memberi cap "menjiplak" atau "carbon copy" sebelum menonton terperinci prematur. Saya pun berusaha memasang ekspektasi senetral mungkin. Tidak penuh sinisme, tidak pula membela secara buta. Perjalanan Nay dengan kendaraan beroda empat mini cooper berwarna kuningya pun dimulai, dan alangkah terkejutnya saya begitu mendapati film ini mempunyai kesamaan dengan "Locke" jauh lebih banyak dari dugaan.

Ada konflik perihal cinta dan kehamilan, problem pekerjaan, juga perselisihan keluarga yang menampilkan sang abjad utama bicara dengan sosok imajiner orang tuanya. Jika Locke membayangkan sang ayah ada di bangku penumpang, maka Nay berulang kali "mengobrol" dengan ibunya. It's all there. Tak bisa dipungkiri saya terkejut. Apakah Djenar Maesa Ayu memang telah membuat karya jiplakan? Namun saya memutuskan terus ikut bersama Nay mengelilingi pemandangan malam hari Jakarta. Penonton menjadi saksi tak bertanggung jawabnya Ben, pacar Nay yang selalu bersembunyi di balik sang ibu. Hal tersebut membuat Nay yang memang tak stabil emosinya berulang kali lepas kontrol. Sahabat dari kecil sekaligus manajernya, Adjeng turut jadi korban amukannya. Semakin jauh saya dibawa mengenal Nay dengan segala permasalahannya, semakin pula saya dibentuk terkesima oleh bagaimana beberapa modifikasi sederhana bisa membuat dua film serupa berakhir sebagai tontonan yang tak sama.

Basically, film ini merupakan monolog berdurasi kurang lebih 80 menit. Konflik-konflik tersaji lewat obrolan lewat telepon. Tapi sebagai "dialogue-driven" yang penuh luapan emosional dalam barisan kalimat, film ini nyatanya kental nuansa kontemplasi dalam diam. Sadar atau tidak, kita sering melaksanakan apa yang Nay lakukan. Di tengah himpitan permasalahan, di tengah kesendirian kita lebih banyak karam dalam perenungan. Dari luar ibarat air danau yang tenang, tapi dalam hati terdapat deburan ombak besar. Djenar membawa tokoh Nay dalam ruang kesendiriannya. Ruang privasi berupa kendaraan beroda empat dimana Nay menjadi seorang Nay yang kompleks, pula terhimpit permasalahan tak kalah kompleks. Suasana malam hari juga tepat menjadi wadah kontemplasi seseorang. Saya pun hanyut dalam perjalanan ini. Pembicaraan antara Nay dengan kerabat-kerabatnya tidak sebegitu menariknya sebagai konstruksi. Kesan lebih menarik justru tiba dari eksplorasi informasi yang disiratkan pembicaraan tersebut. Namun tak bisa disangkal, banyaknya adegan tanpa hal signifikan terjadi sering membuat kekosongan alur. 
Perbedaan paling esensial antara "Locke" dengan film ini yakni gender. "Nay" masih membicarakan karir, keluarga dan kehamilan, tapi fakta bahwa karakternya yakni seorang perempuan telah menjadi penegas bahwa Djenar tidak sedang menjiplak. Pintu keberhasilan karir telah terbuka bagi Nay, kesempatan yang mungkin takkan tiba untuk kedua kali. Tapi bagaimana bila peluang emas itu bisa hancur seketika sebab kehamilan yang notabene merupakan (salah satu) penggalan esensial seorang wanita? Satunya yakni film perihal laki-laki yang harus berkonfrontasi dengan harga diri serta tanggung jawab, sedangkan satunya berupa eksplorasi feminisme perihal perempuan yang berurusan dengan takdirnya, serta teriakan kaum hawa yang kerapkali dijadikan alat pelampiasan nafsu. Sungguh berbeda, bahkan layak disebut satu kesatuan puzzle yang saling melengkapi. 

Film ini turut mengangkat salah satu konsep yang paling sulit untuk dicari definisinya, yakni "kebenaran". Dalam salah satu adegan terbaik filmnya, Nay bermonolog, seolah terjadi pembicaraan dua arah antara ia dengan sang ibu. Disitu terucap dua sudut pandang akan kebenaran mengenai masa kemudian Nay. Adegan itu sudah cukup untuk menggambarkan betapa rumitnya kepribadian Nay, betapa rumitnya konsep kebenaran, betapa rumitnya insan itu sendiri. Kita sering berada dalam situasi serupa, dimana ada satu perpsektif kebenaran yang kita pegang, tapi disisi lain kita memahami alasan pendapat yang berlawanan dengan kita. Pada balasannya kita akan menentukan salah satu. Pertanyaannya apakah itu hasil proses pencarian kebenaran? Ataukah sekedar pemaksaan gengsi sehingga kita ngotot mempertahankan pendapat? Penelusuran Djenar Maesa Ayu akan suatu informasi mencapai kulminasinya pada penggalan ini. Akhirnya kita melihat bahwa semua ini tak ubahnya ouroboros saat Djenar kembali "bermain-main" lewat ending yang "nakal".
Selain diisi eksplorasi mendalam, "Nay" juga emosional. Untuk kelebihan ini, Sha Ine Febriyanti layak menerima sanjungan setinggi langit. Saya sempat menyinggung kekurangan film ini yang banyak terdapat kekosongan. Berkat sang aktris, kekosongan itu tak menjelma kehampaan cuek nihil emosi. Kita berada di dalam mobil, dan pastinya secara umum dikuasai fokus kamera ada pada Sha Ine. Telah mengetahui potensi aktrisnya semenjak "Monolog 3 Perempuan", Djenar tampak mengeksploitasi tiap sisi Sha Ine, mulai dari ekspresi, gestur, pelafalan dialog, baik yang sifatnya besar maupun kecil. Setiap aspek kecil menawarkan makna, dan tiap aspek besar terasa mengguncang. Apa yang Sha Ine Febriyanti munculkan yakni bentuk totalitas akting, dalam artian setiap jengkal diri, seutuhnya bertransformasi. Hidup. Emosi-emosi yang diluapkan membuat saya mencicipi hal sama dan makin terikat dengan sosok Nay. Apalagi ia tengah berada dalam kondisi jelek dan harus menghadapinya sendiri baik secara fisik maupun batin. It's the best performance from Indonesian actress of the year!

Saya sengaja banyak melaksanakan perbandingan antara film ini dengan "Locke" sebab hal itu memang tak bisa dikesampingkan. Secara penggarapan memang mirip, dan saya yakin kemiripan itu akan tetap jadi perdebatan. Saya cukup khawatir akan banyak pihak segan menonton film ini sebab dianggap "menjiplak", sebab itulah dalam review kali ini saya meluangkan banyak waktu untuk membandingkan. Kemiripan itu memang mengakibatkan "Nay" tidak groundbreaking secara konsep teknis, tapi coba tengok berapa banyak film diluar sana (ex: komedi romantis) menggunakan template sama berulang-ulang. Djenar melaksanakan hal yang sering diterapkan (misalnya) Tarantino, yakni mengambil aspek sebuah film, kemudian mengaplikasikan tema/isu berbeda kedalamnya. Sama ibarat titular character-nya "Nay" yakni film yang tak segan menyuarakan isi hati dn pikirannya secara lantang, tak peduli meski hal itu terlalu tabu, kasar, atau kontroversial. Dari situlah eksplorasi konflik dan kedalaman emosi tersaji dengan maksimal.

Belum ada Komentar untuk "Nay (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel