Flutter Echoes And Notes Concerning Nature (2015)
Saya menyukai slow cinema. Sajian arthouse lambat yang bagi sebagian orang mungkin terasa membosankan kerap memberi kepuasan hasil dari kontemplasi mendalam sekaligus observasi mendetail. Untuk film Indonesia, "Another Trip to the Moon" karya Ismail Basbeth yaitu pola tepat dan hingga ketika ini masih menjadi film Indonesia favorit saya untuk tahun 2015. Tapi disaat suatu slow cinema gagal mencapai tujuannya, tak jarang justru kebosanan serta kesan pretensius yang hadir. "Flutter Echoes and Notes Concerning Nature" garapan Amir Pohan ini salah satunya. Selama 90 menit pemutarannya pada event JAFF, saya mendapati banyak penonton yang menguap bahkan bermain handphone entah lantaran bosan atau tak mengerti makna alur film yang tidak linier. Bahkan begitu credit bergulir ada keraguan dari audience untuk memberi applause. Mungkin lantaran memang tak terpuaskan atau tidak yakin film telah usai. Wajar saja, alasannya yaitu sepanjang film (pasti) banyak yang tidak yakin filmnya bertutur perihal apa.
Gagasan dalam film ini sebenarnya sederhana saja: kecintaan terhadap alam. Hanya saja cara bernarasi Amir Pohan yang begitu lambat dan sunyi serta alur penuh abstraksi tanpa kejelasan setting waktu bakal menghadirkan kebingungan untuk banyak penonton. Terdapat dua garis besar cerita. Pertama perihal perekam bunyi (Ladya Cheryl) yang berjalan menyusuri alam bebas untuk merekam ambience disana. Hasil rekaman itu ia gunakan untuk "terapi" bagi tumbuhan yang ia tanam di rumahnya. Kedua, yaitu mengenai empat orang Guerrilla Gardeners (Tara Basro, Ismail Basbeth, Putri Ayudya & Ralmond Karundeng) yang menanam tumbuhan di aneka macam sudut kota yang sudah "tenggelam" oleh beton dan semen. Untuk mengemas dua kisah itu, Amir Pohan bereksperimen dengan berfokus pada audiovisual. Kamera lebih sering menyoroti landscape pemandangan diiringi voice over Ladya Cheryl sedangkan ambience alam menggantikan scoring musik yang biasanya mengiringi suatu film.
Normally, saya menyukai film semacam ini dan akan menyebutnya tontonan kontemplatif, indah, puitis, dan sebagainya. Tapi "Flutter Echoes and Notes Concerning Nature" tak pernah berhasil mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai tontonan yang mengedepankan olah rasa daripada pergerakan alur, filmnya gagal membawa saya terhanyut kedalam keindahan alam negara agraris yang dimaksudkan. Sinematografi-nya tak pernah memukau untuk film yang ingin mengeksploitasi keindahan visual. Begitu pula imbas bunyi yang bahkan nyaris tak terdengar. Mungkin saja kekurangan audio ini cukup dipengaruhi oleh bunyi AC yang begitu kencang di dalam ruangan, tapi faktanya saya tak mendengar ambience apapun yang sanggup menghipnotis. Disaat dua aspek "unggulan" ini sama sekali tidak unggul, jatuhlah filmnya. Dengan alur lambat nan sunyi (sering penonton hanya disuguhi adegan "artsy" ketika huruf tak "melakukan apapun") juga sisi surealisme, perlu ada poin yang mengikat penonton biar bersedia menemukan makna lebih dalam. Film ini tak punya poin tersebut, dan saya pun mengalah dalam kebosanan.
Pada sesi Q&A, sempat ada penonton mengutarakan statement bahwa film ini layak diapresiasi lantaran tidak meng-underestimate penontonnya. Saya justru ragu. Apakah filmnya memang tidak menganggap penonton terbelakang hingga berani mengambil jalur artsy, ataukah filmnya sok pintar. Karena beberapa adegan seolah diselipkan hanya demi memberi absurditas alur. Sebagai pola pada adegan pembuka (dan sedikit di tengah) ada subplot yang menyinggung ranah mistis tapi kemudian tak pernah dibahas lagi, sehingga terkesan random. Bukannya tanpa benang merah, lantaran mistis yang disinggung masih berkaitan dengan sisi lain dari alam, tapi dibandingkan momen lain, bab ini terasa out-of-place. Bahkan Amir Pohan sendiri menuturkan bahwa adegan ini diambil dari dokumenter yang tengah ia garap sehingga "tidak etis" bila dimasukkan terlalu banyak dalam film ini. Pertanyaannya, "kalau begitu kenapa harus dimasukkan?" Karena toh bab ini tidaklah signifikan.
Banyak bakat berbakat mengisi jajaran cast, sebut saja Ladya Cheryl, Tara Basro dan Putri Ayudya. Ketiga aktris itu tersia-siakan potensinya. Tara dan Putri dengan kemampuan pendalaman huruf serta kesubtilan emosi yang dimiliki hanya ditugaskan menanam tumbuhan. Sedangkan Ladya Cheryl lebih "beruntung", verbal kedamaiannya sebagai mother nature yang menikmati nyanyian alam memang memberi keindahan. Adegan ketika ia menyiram tumbuhan sambil mengajak mereka bicara pun menjadi spotlight film ini. Ya, ketika adegan Ladya Cheryl menyiram tumbuhan yaitu bab terbaik, pastinya ada yang salah dalam film tersebut. Begitu ingin saya mencintai "Flutter Echoes and Notes Concerning Nature" dengan potensi keindahan kisah puitis serta eksperimen bertuturnya. Sungguh. Tapi apa daya, disaat secara umum dikuasai "senjata utama" tak bekerja dengan baik, filmnya pun hanya berakhir sebagai satu setengah jam yang melelahkan. Punya niatan yang baik dan berbeda dengan film-film lokal lainnya, tapi niat baik dan berbeda saja tidak cukup.
Belum ada Komentar untuk "Flutter Echoes And Notes Concerning Nature (2015)"
Posting Komentar