Crimson Peak (2015)

Beware..."Crimson Peak" isn't your typical horror movie. It's not even a horror movie. Well, kind of. Mungkin cara terbaik mendeskripsikan film ini yaitu sebagai "gothic romance filled with ghost as a metaphor of the past". Bahkan sedari awal lewat narasi Edith Cushing (Mia Wasikowska), filmnya sudah berusaha meyakinkan penonton bahwa tujuan utama kehadiran hantu disini bukan sebagai alat menakut-nakuti. Sutradara Guillermo del Toro pun berulang kali menegaskan filmnya lebih layak disebut romansa gothic daripada murni horor. Saya tidak akan menyalahkan penonton yang tiba mengharapkan sajian haunted house horror ala Insidious yang penuh jump scare. Tapi saya merasa perlu menegaskan, bagi anda yang belum (dan berniat) menonton Crimson Peak, buang jauh-jauh ekspektasi semacam itu...or you'll be disappointed.

Ceritanya berlokasi di New York (sebelum nanti berpindah ke Cumbria, Inggris) pada selesai kurun ke-19. Edith yaitu gadis muda, puteri seorang industriaist sukses di New York. Edith bermimpi untuk menjadi seorang penulis. Tapi pada masa dimana penulis perempuan menyerupai Jane Austen lebih dikenal lewat novel romansa, goresan pena Edith justru mengetengahkan kisah ihwal hantu. Hal itu pula yang sering menciptakan karyanya ditolak oleh penerbit. Cerita hantu dipilih Edith alasannya yaitu ia merasa erat dengan sosok kasat mata tersebut. Pengalaman yang masih terus terngiang yaitu ketika masih kecil, Edith sempat didatangi hantu mendiang ibunya yang berkata "beware of Crimson Peak". Kalimat yang tak pernah berhasil ia pahami. Edith sendiri memang bukan seorang perempuan yang terobsesi akan cinta, atau lebih tepatnya belum tertarik mengeksplorasi perasaan tersebut. 

Hingga suatu hari seorang ningrat dari Inggris berjulukan Sir Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) tiba meminta derma dana dari ayah Edith guna melancarkan proyek pertambangan miliknya. Thomas yaitu seorang gentleman. Dia tampan, penuh sopan santun, dan mempunyai mimpi besar akan kesuksesan. Sosok tersebut menarik perhatian Edith, apalagi ditambah rasa simpati sesudah permohonan Thomas ditolak oleh sang ayah. Keduanya pun mulai menunjukkan ketertarikan satu sama lain. Tapi terang ada diam-diam yang disembunyikan oleh Thomas dan kakaknya, Lady Lucille Sharpe (Jessica Chastain). Sebuah diam-diam kelam yang nantinya akan turut menyeret Edith jatuh ke dalamnya.
Crimson Peak masih tetap menampilkan hantu yang pastinya mempunyai bentuk del Toro-esque: weird body, floating blood or aura (or something), cracked pale face, etc. Meski dikatakan kehadiran mereka bukan ditujukan sekedar untuk menakut-nakuti, film ini terang masih berusaha menghadirkan jump scare untuk mengagetkan penonton. Saya menyayangkan itu. Guillermo del Toro bagai menyisakan kekhawatiran bahwa penontonnya akan keluar dari bioskop penuh kekecewaan alasannya yaitu tidak menerima horor sesuai ekspektasi mereka. Tapi disaat bersamaan, keputusan itu cukup menurunkan kualitas para hantu sebagai abjad yang "hidup". Hasil alhasil justru setengah matang. Sebagai alat menakuti mereka tidak punya cukup kuantitas, sebagai abjad dengan emosi pun mereka terasa hampa.

Berjalan dengan pace lambat, del Toro memang bermaksud menciptakan filmnya lebih kearah atmosphere driven daripada plot. Atmosfer yang dibangun berasal dari perpaduan setting dan sinematografi. Kita menerima sebuah kastil renta megah yang disaat bersamaan telah usang. Langitnya berlubang sehingga salju sanggup gampang masuk kedalam rumah, dan begitu angin bertiup kencang tercipta bunyi mengerikan seolah rumah tersebut tengah menghembuskan nafas panjang. Tapi kastil itu tidak ditampilkan layaknya rumah renta pada banyak film bertemakan haunted house. Tentu suasananya gelap, tapi del Toro dengan insting visual uniknya menentukan menghadirkan aneka macam warna di tengah kegelapan tersebut. Penonton tidak akan dihadapkan sekedar pada kegelapan pekat, tapi juga penggunaan lighting warna merah, kuning, hijau dan biru. Saya menyerupai tengah menonton Suspiria-nya Dario Argento atau sajian horor ekspresionisme klasik lainnya. 


Tercipta keindahan visual yang mensugesti hampir pada setiap momen, khususnya ketika film telah berpindah setting ke Cumbria. Sinematografi garapan Dan Laustsen menangkap tiap perpaduan warna itu dengan sempurna. Belum lagi ornamen-ornamen aksesori lain menyerupai salju yang turun lewat lubang-lubang di langit, atau ketika tanah liat di sekitar kastil milik Sharpe bersaudara menciptakan salju jadi berwarna merah menyerupai darah. Tidak hingga menghadirkan nuansa creepy mencekam, tapi keindahan rasa gothic pada visualnya begitu memukau.

Sebagai sebuah set-oriented movie, Crimson Peak memang alhasil mengorbankan aspek selain setting, termasuk cerita. Potensi dongeng dengan unsur psychosexual beserta romansa yang kental harus terpinggirkan. Kesan twisted dalam romansanya memang terpancar jelas, tapi tidak dengan emosinya. Saya tidak mencicipi luapan asmara dalam percintaan Edith dengan Thomas yang bisa menyentuh perasaan. Akhirnya ketika hadir suatu bencana romansa, saya pun tidak mencicipi apapun. Tapi lagi-lagi kekuatan visualnya menyelamatkan itu. Belum lagi kehadiran Jessica Chastain yang cukup mengangkat intensitas dongeng meski dramanya hampa. Dibalik kesan mewah yang menarik, tatapannya selalu menghadirkan kengerian yang menyedot atensi. Bahkan Tom Hiddleston yang biasanya menjadi scene stealer (he's charming as always in this movie), pun pesonanya kalah oleh Chastain. 

Meski kengerian horor tidak tampil, namun unsur gore cukup mendominasi. Klimaksnya menghadirkan cukup banyak darah serta kesadisan yang bisa memberi keseruan bertempo cepat sesudah sebelumnya kita dipaparkan tontonan lambat. This is the kind of style over substance movie that lack of emotional depth. Naskah goresan pena Guillermo del Toro dan Matthew Robbins Biasanya pun tidak hanya menggambarkan kedangkalan namun seringkali kebodohan (that "look it's a ghost" moment in the climax for example). Biasanya saya membenci jenis tontonan macam itu, namun terlalu banyak keindahan gambar yang mensugesti menciptakan sulit bagi saya membenci filmnya. Ibarat seorang wanita, Crimson Peak adalah perempuan anggun yang parasnya begitu menarik, namun tidak dengan hatinya. Tapi siapa yang tidak betah memandangi seorang perempuan anggun selama terus menerus?

Belum ada Komentar untuk "Crimson Peak (2015)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel