Sabtu Bersama Bapak (2016)

Film merupakan produk kolektif yang tersusun atas banyak sekali unsur. Berangkat dari situ sanggup terbentuk situasi di mana satu (atau beberapa) aspek tampil begitu baik sehingga bisa menutupi setumpuk kekurangan lainnya. Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Adhitya Mulya (turut menjadi penulis naskah), Sabtu Bersama Bapak garapan sutradara Monty Tiwa ini merupakan referensi kesekian untuk situasi di atas. Bermodalkan penampilan memukau jajaran cast-nya pula ikatan personal penonton  termasuk saya  dengan kisahnya, this highly anticipated movie ended up as one of the most satisfying movie of the year so far even with some of its flaws.

Tanpa berbasa-basi, Monty pribadi membuka filmnya dengan adegan emosional berbalut musik mendayu gubahan Andhika Triyadi, berharap penonton seketika mengharu biru ketika Gunawan Gamida (Abimana Aryasatya) mendapati hidupnya takkan usang lagi akhir kanker. Menyadari ia tidak menerima kesempatan melihat kedua puteranya, Satya dan Cakra tumbuh dewasa, Gunawan tetapkan merekam banyak video yang satu per satu bakal diputar bagi anak-anaknya tiap hari Sabtu. Awalnya saya bertanya-tanya, apa maksud tindakan dan konten video tersebut. Apakah sekedar demi mengobati rasa rindu atau memperlihatkan pembekalan bagi Satya dan Cakra yang tak sempat Gunawan lakukan?
Seiring kisah bergulir, ternyata jawabannya ialah hal kedua. Satya (Arifin Putra) dan Cakra (Deva Mahenra) tumbuh arif balig cukup akal berbekal wejangan-wejangan sang bapak yang mereka tonton setiap Sabtu, dan berusaha menerapkan ilmu pemikiran Gunawan dalam segala permasalahan mereka. Satya sekarang telah menikah dengan Rissa (Acha Septriasa), memliki dua anak dan tinggal di Prancis. Sebagaimana sang bapak, Satya turut menyusun rencana jangka panjang terstruktur walau sayangnya ia tak pernah hadir untuk keluarganya akhir pekerjaan. Sedangkan Cakra walau karirnya juga sukses, mengalami kesulitan mencari pacar akhir kecanggungannya yang mana sering jadi materi olok-olokan para anak buahnya di kantor. 

Bagaimana seorang anak melaksanakan mirroring terhadap bapaknya merupakan salah satu pembangun dinamika utama Sabtu Bersama Bapak. Normalnya, kondisi itu masuk akal terjadi, apalagi pada kondisi dalam film ini, ketika kerinduan atas sosok yang amat mereka cintai mendorong Satya dan Cakra menelan seutuhnya rangkaian pesan sang bapak. Pembangunan aksara jadi believable karena itu meski kurang dipaparkan mengapa Cakra berujung lebih bijak menyikapi pelajaran yang ia terima. Setidaknya kita memperoleh alasan di balik segala keputusan mereka berdua. Pesan mengenai tidak pernah hilangnya sosok bapak walau ia telah tiada pun bisa tersampaikan seutuhnya.
Sayang, sebagai film berjudul Sabtu Bersama Bapak, kuantitas penonton ikut menghabiskan hari Sabtu bersama sosok bapak terasa begitu minim akibat lompatan setting waktu antara masa Satya dan Cakra kecil menuju arif balig cukup akal terlampau cepat. Kita sekedar diperlihatkan hasil, hasil dan hasil tanpa diajak mengamati prosesnya secara mendetail. Risikonya, penonton bakal berjarak dengan karakter, menghalangi terciptanya keterikatan emosi yang mana penting dimiliki oleh suguhan melodrama semacam ini. Sinematografinya yang berusaha terlalu keras biar nampak manis pun berujung kekurangan serupa. Pemakaian lens flare berlebihan tak pada tempatnya acapkali mengganggu hadirnya gejolak emosi. I was really annoyed, it often prevented me from being emotionally invested. 

Untungnya hadir penyelamat berupa kesuksesan akting para pemain menghantarkan rasa. Acha Septriasa kembali capable menghidupkan aksara likeable penggaet simpati sekaligus piawai menangani adegan emosional dengan kokoh tanpa berlebihan. Satu momen berisi pertengkaran Satya dan Rissa yang berkat luapan emosi Acha  dan Arifin Putra  akan menciptakan penonton tertegun membisu. Sabtu Bersama Bapak juga menghadirkan sentuhan komedi dalam story arc Cakra. Deva Mahenra tepat menangani awkward-nya Carka kala mesti berhadapan dengan perempuan. Ekspresi, kecanggungan gerak, hingga lontaran kalimatnya konsisten memunculkan gelak tawa. Jennifer Arnelita pun sanggup mencuri perhatian lewat keabsurdan kocak sosoknya, hal yang sudah sering ia capai sebagai supporting actress di banyak film.

Kemudian ada Abimana Aryasatya yang meski dalam kapasitas terbatas (mostly bicara lewat video) berhasil mencuatkan kehangatan seorang bapak. Setiap tutur katanya terdengar penuh kasih sayang yang bahkan sedari awal sudah mengalirkan air mata saya. Kedekatan emosional itu memang lebih gampang dirasakan oleh penonton pemilik "story" dengan sosok bapak, entah pernah terlibat perselisihan atau telah ditinggal pergi untuk selamanya. Terdengar subjektif? Tentu saja, alasannya ialah menonton film merupakan pengalaman spiritual personal yang akan meninggalkan pengaruh berbeda pada tiap penonton tergantung kisah hidup masing-masing. 

Belum ada Komentar untuk "Sabtu Bersama Bapak (2016)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel